Agustus 2023 merupakan awal aku hijrah ke Jakarta. Aku berani mencoba dan bangga memulai hidup baru di tengah kebisingan yang tidak menentu.
Setiap orang pasti mempunyai pengalaman tak terlupakan di berbagai tempat yang dikunjunginya. Ada kebanggaan dan kepedihan yang tentunya dirasakan sebagai bagian dari lingkungan tersebut. Aku juga punya cara tersendiri dalam memaknai suasana dan dinamika kehidupan di tempat yang aku kunjungi.
Berawal dari sebuah pertanyaan kecil yang membawaku lebih jauh melihat sisi lain kehidupan yang tak pernah hengkang, aku duduk dan berpikir sejenak.
Menurutku apa yang cukup untuk membawaku sejauh ini? Akankah kita terus hidup seperti ini hari demi hari? Bagaimana cara kita menghilangkan negative thinking? Pertanyaan-pertanyaan ini terus bermunculan di kepala kecilku.
Apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari merupakan konsekuensi logis yang harus dihadapi. Ketika kehidupan semakin kompleks dan terus berubah dari waktu ke waktu, kita harus siap menghadapi dan menyikapi peristiwa dan kenyataan hidup yang terjadi.
Tetapi, satu hal yang sulit diubah dan disatukan adalah "gelap dan terang", sehingga rasisme akan tetap menjadi pelangi yang sangat indah yang terus terlihat dan sulit lenyap dari muka bumi.
Tajuk "Terbiasa dengan Arang" mungkin bisa menjadi sketsa yang cocok untuk orang berkulit hitam yang mengalami diskriminasi, rasisme, stigma dan stereotip. Ini merupakan kondisi tidak menyenangkan yang selalu datang dan pergi.
Karena terbiasa dengan arang, aku memposisikan diri sebagai bagian dari pelangi untuk menelaah kenyataan yang aku terima dan alami. Aku tidak buta warna, jadi aku mungkin bisa menyuruh orang melihat pelangi.
Namun soal kehidupan, sejauh ini aku sangat bersyukur bisa mendapatkan tempat yang layak, harapan yang terpenuhi, doa yang terkabul, banyak teman dari berbagai daerah yang berbeda, bahkan tantangan yang selalu menanti.
Aku harus mengatakan demikian, meskipun hidup tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena sebagai umat Kristen kita diajarkan untuk selalu bersyukur dalam keadaan susah maupun senang tanpa mengeluh dan khawatir.
Selama 25 tahun aku sering berpindah-pindah, meski dalam suasana baru, tempat ini masih terasa sama seperti tempat lain yang terus memberikan inspirasi tersendiri untuk menulis tentang rasisme terhadap manusia setengah binatang yang hidup di surga yang terlantar.
Kemana pun kita pergi, identitas kita tidak akan pernah berubah. Orang berkulit hitam tidak bisa merubah warna kulitnya menjadi putih, merah atau biru, itu adalah ciptaan Tuhan yang universal dan langgeng, kita patut mensyukuri apa yang melekat pada diri kita.
Setiap orang dengan warna kulitnya tidak bisa mengadu pada Tuhan. Mengapa menciptakan aku dengan arang? Ataukah Tuhan ubah warna kulitku? Ataukah menciptakan aku lagi dalam rupa lain? Itu pertanyaan diluar akal sehat, kita tidak bisa mengubah kodrat manusia dengan sesuka hati atau menghina kodrat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tidak baik.
Terlepas dari itu, ada cerita menarik di balik warna kulit yang ofensif. Aneh rasanya, ketika aku yang tidak terbiasa dengan kereta api bertemu dengan mereka yang tidak terbiasa dengan pesawat terbang. Itu sesuatu yang membuatku tertawa bahagia. Perbedaan yang mencolok memang bisa kita temukan, namun ada pemikiran yang sangat sulit diatasi dalam melihat perbedaan tersebut.
Setelah berkemas aku meninggalkan rumah dan berjalan di alun-alun kota. Nampaknya orang-orang ramah berseliweran di sana, namun pikiran dan perasaan mereka sangat destruktif. Saat aku lewat, aku mendengar kata-kata yang tidak asing di telingaku, kata-katanya terdengar seperti ini "Ehh... Ada Kereta Hitam Lewat". Aku berusaha membahagiakan diri dengan kata-kata yang kudengar sebagai sajak indah yang menyambutku di tempat ini.
Aku tak ambil pusing memikirkan kata-kata itu, tapi aku justru menikmati menebar senyuman kepada mereka, setiap hari aku terbiasa dengan kata-kata itu.
Bagi aku, stereotip, stigma, rasis dan diskriminasi ibarat lagu yang harus diputar, didengar atau bahkan dinyanyikan. Kalaupun dirasa bosan, Anda bisa menggantinya atau jika dirasa sama sekali tidak ada faedahya, Anda bisa membuangnya begitu saja.
Citra putih mungkin merupakan sesuatu yang baik, sedangkan citra negatif "hitam" adalah sesuatu yang buruk dan asing, atau bahkan dianggap alien. Jika ada orang yang merasa bahwa "kita" bersama adalah bagian dari dunia yang ideal, bersama sebagai manusia yang sama di mata Tuhan dan dunia.
Harus ada langkah untuk membangun kembali perspektif kita terhadap kesetaraan manusia yang sengaja dihilangkan oleh konsep ras. Karena ras bukanlah takdir yang harus diterima, melainkan konstruksi sosial yang harus di bongkar.
Rupanya, pikiran negatif dan perasaan beracun yang keluar dari mulut sangat problematis karena melambangkan "Black Label" yang mengandung unsur rasis. Ujaran kebencian sangat sensitif menyerang seseorang. Sebuah sudut pandang yang sangat konyol dan mendiskreditkan, semua orang di dunia harus tahu bahwa diskriminasi rasial adalah musuh kita bersama.
Meskipun mungkin mudah untuk menganggap ungkapan itu bodoh, dalam banyak hal, memang demikian. Sayangnya, terkadang masalah rasisme lebih buruk dari yang kita bayangkan dan berbahaya.
Lagi pula, meratapi rasisme tidak menyurutkan semangat orang mendengarkan tudingan tersebut. Rasisme yang selalu terjadi merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang harus direkonstruksi.
Aku senang bisa merasakan secara langsung segala sesuatu yang tidak bisa lepas dari diriku, dan bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang aku alami. Sebagai seorang musafir, aku tidak kesulitan beradaptasi dengan lingkungan dan manusia.
Aku suka mendengar kata-kata indah yang diucapkan oleh orang-orang di sekitar aku dan mengutipnya serta berikhtisar bahwa kebanyakan orang di dunia ini sangat aneh.
Tentu kebencian dan perundungan selalu eksis, diamana pun dan kapanpun kita berada, ketika orang meyambut kita dengan tangan tertutup. Tapi aku suka dengan semua celoteh dan obrolan tentang "Kereta Hitam". Itu brillian, aku sudah terbiasa dengan semua keanehan.
Jadi jika mereka berpikir positif, mereka akan mengubah pola pikirnya dan mendapatkan hikmah dari setiap perjalanan yang aku lalui. Aku tidak punya alasan untuk mengatakan aku tidak menyukai mereka.
Ketika orang mencengap kita dengan pernyataan negatif maka mereka akan mempermalukan dirinya sendiri, sebaliknya ketika kita berpikir positif kita akan menjadi seperti apa yang kita pikirkan.
Untuk itu kita perlu mengubah pola berpikir sebagai cara terbaik mengatasi berbagai kondisi dalam hidup dan terus bersyukur dan bahagia dengan keadaan apapun yang kita hadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H