Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Utopia Bumi Cendrawasih adalah Surga yang Hampa

11 Oktober 2023   16:50 Diperbarui: 2 Mei 2024   10:29 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Ilustrasi Utopia (The Roundhouse, STAR 4)

Saya sering bolak balik membaca buku tentang harapan dan kenyataan, tak banyak kata-kata indah yang membuat saya bahagia. Saya hanya menemukan satu kata yang membuat saya takjub bagaimana memahami arti hidup ideal. Saya penasaran, dan mencoba memahami sebuah kata yang maknanya sangat luas dan menarik.

Tempat dimana kekhawatiran lucut, tidak ada air mata dan kesedihan, masalah dan beban lenyap. Tempat inilah yang disebut "Utopia" saya selalu merindukan keindahan dan ketenangan dunia ini, perasaan tidak ada yang salah, setidaknya aku bisa merasa bahagia dan tersenyum. 

Jika dunia ini ada, mengapa kita tidak bisa merasakannya? Jika hampa, mengapa kita tidak bisa menciptakan dunia yang ideal? Apakah Utopia sebuah kegagalan atau bahkan mungkin terjadi?

Dari sini saya memahami betapa manusia mendambakan kehidupan di dunia yang lebih baik, damai, sangat adem, dan tenteram, penuh dengan keindahan, kemakmuran dan kebahagiaan tiada tara.

Dunia seperti ini, tentunya tidak jauh dari kita, hanya saja manusia seolah menciptakan ruang dan waktu tampak sangat jauh dari jangkauan kita.

Utopia adalah tempat paling ideal, surga dimana manusia hidup selaras dengan alam. Tempat ini adalah masyarakat teladan dengan segala yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup dan bahagia selamanya. 

Istilah "Utopia" diciptakan oleh penulis dan filsuf Sir Thomas More dalam bukunya yang berjudul "Utopia" adalah sebuah karya fiksi dan satire sosio-poitik yang diterbitkan dalam bahasa latin pada tahun 1516.

Secara etimologi, Outopos berasal dari kata Yunani Ou "tidak" dan Topos "tempat" yang berarti "tidak ada tempat". More mendirikan masyarakat yang tampaknya ideal di sebuah pulau dan memberinya nama "Utopia". 

Sejak itu, Utopia menjadi semacam singkatan untuk tempat yang ideal. Meskipun More tentu mengetahui dan menyadari bahwa tempat yang ditulisnya itu hanyalah khayalan belaka.

Memang "tidak ada tempat" di bumi dimana manusia hidup bersama dalam kedamaian sejati, hidup bebas dari berbagai belenggu. Permasalahan konkrit yang bisa kita rasakan antara lain kemiskinan, kekerasan, perang, kelaparan, penyakit, tangis dan ratapan.

Mengapa kita tidak bisa bebas dari kungkungan dan belenggu untuk menjalani hidup bahagia dan tersenyum? Pada hakikatnya dunia ini penuh dengan gejolak dan dinamika yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Mari kita coba merefleksikan harapan dan kenyataan, sedemikian rupa manusia menciptakan Utopia Papua bukan untuk membumi, hanya menggambarkan fantasi. 

Apakah benar surga kecil itu benar-benar ada? Tidak adakah pernyataan lain? Dimana kesadarannya? Dimana akal sehatnya? Bagaimana perasaanmu? Menghadirkan suasana surga di bumi dan mewujudkan masyarakat ideal.

Terminologi "surga kecil yang jatuh ke bumi" merupakan istilah Utopia yang diciptakan manusia dengan metafora dan sudut pandang filosofis, ekonomis, religius dan politis. 

Suatu pandangan yang dicaplok karena pesona, kekayaan, kemewahannya adalah konkritas dan realitas yang bisa kita lihat. Konsep pemahaman religius seoah-olah diidentikkan dengan taman Eden, Nirvana, Firdaus atau dunia yang akhirat sebagai suatau pemikiran yang terarahkan.

Ironisnya, berbagai keyakinan dan pemahaman tidak mencerminkan masyarakat Utopis. Papua merupakan contoh kelompok masyarakat ideal dalam paradigma manusia. 

Pandangan Papua sebagai "surga kecil yang jatuh ke bumi" adalah sebuah idealitas yang hanya diatur oleh bebagai perasaan, firasat, pandangan dan khayalan yang hampa.

Papua seolah hanya sebuah konsep yang dikonstruksi dengan tema Utopis ideal sebagai pedomannya. Kini akrab dengan surga kecil di bumi. Manusia sama sekali hidup tidak seperti Nirvana, malah yang terjadi adalah hal-hal di luar transendental yang dahsyat menyayat dan mencekam. Masyarakat Papua dipengaruhi oleh konsep pemikiran Utopis yang ambigu.

Penerapan bias ideologi dan konseptual pada dimensi masyarakat dan alam tidaklah sempurna. Idealisme Papua hanya ilusi konsep ekonomis dan politis, pada kenyataannya telah mempengaruhi ekspektasi masyarakat teladan karena ketidakadilan, pemerasan dan perampasan hak dan kebebasan berekspresi, surga seakan tidak begitu ideal dan nihil.

Istilah Utopia sangat berdampak dalam memandang Papua seperti sebuah pertanyaan paradoks. Apakah suga kecil ini benar-benar ada? Apakah keinginanmu sudah terkabul? Banyak dari konsep dan pemahaman ini tidak mencerminkan visi More tentang masyarakat teladan. 

Ini konsep Utopia yang bertentangan dengan pendekatan opini dan hipotesis religius dan filosofis. Utopia Papua merupakan paradoks yang diberdebatkan banyak orang.

Realitas kehancuran dan tragedi yang telah menimpa masyarakat melukiskan betap ekspansifnya masyarakat, dimana masyarakat ideal jauh dari realitas, hanya sekedar ilusi. 

Narasi dan fiksi dari Utopia Papua hanya bertujuan untuk mengeksplorasi struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat dalam entitas imajinasi, impresi, idiom dan manifestasi semu.

Lukisan tentang Utopia Papua, surga dimana manusia bebas dari ikatan hukum, manusia berhak hidup mengekspresikan potensinya dengan keakyaan alam, tanpa kekerasan, persekusi, ketidakadilan dan kemiskinan. 

Mengapa manusia mendalilkan bahwa Papua adalah masyarakat yang ideal? Padalah masih sangat jauh dari harapan dan kenyataan. Memang dunia yang satu ini hanyalah sekedar lelucon dan khayalan yang dipengaruhi oleh konstruksi sempit tentang Papua.

Setiap orang tentu membutuhkan ketenangan, kebahagian, kedamaian dan ingin melepaskan diri dari belenggu yang membuat hidup manusia semakin sengsara dan pelik. Kejahatan, kekerasan, tangisan dan ratapan tidak mungkin terjadi jika kehidupan manusia didasarkan cita-cita yang relatif dan esensial.

Interpretasikan suatu tempat yang nyaman, adem sekali, tenteram dan indah memang merupakan suatu hal menyenangkan bukan? Namun terkadang manusia melakukan kesalahan dalam mengartikan sesuatu diluar nalar dan logika dengan dalil-dalil yang tidak mencerminkan realitas.

Utopia itu dambaan, tapi mustahil dicapai. Manusia itu ideal, lalu bagaimana caranya mewujudkan Papua tempat ideal dari bagian yang belum lengkap?

Selama ini konsep Papua sebagai surga ideal berubah drastis menjadi menjadi neraka yang dramatis dan hampa. Asumsi masyarakat mengenai Utopia dan Distopia memang benar, namun ditentukan oleh propsek manusia melihat Papua dengan tingkat kebahagiaan dan kesedihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun