Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kepemimpinan Perempuan Papua dan Budaya Patriarki

10 April 2023   19:32 Diperbarui: 10 November 2023   10:29 1339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin Perempuan Papua Yustina Ogoney Bersama Masyarakat Suku Moskona (mongabay.co.id)

Sejak pemerintah Indonesia mengklaim wilayah Irian Barat pada tahun 1956 sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Irian Barat.

Selama itu, perjuangan panjang kaum perempuan Papua menjadi pemimpin menghadapi banyak kendala atau kontroversi yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan gender yang melahirkan marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotip dan beban ganda.

Di masa-masa awal pemerintahan memang sangat memprihatinkan sekali dan sukar untuk perempuan Papua menjadi pemimpin, melihat adanya dekonsolidasi demokrasi dan politik identitas yang seringkali juga tidak positif dalam mempresentasikan citra perempuan. Kedudukan status sosial perempuan dianggap sebagai kaum lemah yang diperparah oleh adat.

Perempuan Papua mengalami tantangan dan diskriminasi yang lebih berat, baik secara politik maupun hukum. Masalah paling serius yang dihadapi perempuan Papua adalah kendala nilai sosial budaya yang tidak memberikan akses dan kesempatan untuk menduduki posisi sentral dalam lembaga politk.

Secara khusus, budaya patriarki di Papua tentang malapetaka perempuan digariskan sebagai kodrat bagi perempuan yang dilegitimasi oleh adat-istiadat, dogma agama, kebijakan politik dan sebagainya.

Namun juga, kemiskinan yang mencengkeram masyarakat, buruknya pelayanan pemerintah di bidang kesehatan dan pendidikan, kebijakan politik-keamanan mengakibatkan pelanggaran HAM yang berkontribusi bagi lahirnya diskriminasi terhadap perempuan.

Budaya patriarki ini menjadi momok bagi perempuan Papua sebagai stigma kelam dan belenggu yang menjadi tuntutan utama bahwa perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan domestik seperti merajut noken, menyusui anak, mencuci, memasak dan hal-hal lain yang masih sangat melekat dan bisa dilakukan. Namun, itu bisa berubah menjadi cibiran yang tak terhindarkan akibat tidak bisa melakukan pekerjaan domestik dan lebih cenderung ke pekerjaan publik.

Dalam masyarakat patriarki pandangan kolektif masyarakat memperlakukan perempuan sebagai objek dan menempatkan laki-laki pada posisi istimewa.

Suatu sistem sosial dan label yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan sebagai orang besar, kepala suku atau ondoafi, baik dalam kasta adat, kepemimpinan politik maupun otoritas moral dan sebagainya. Patriarki ini juga bersifat patrilineal, yang artinya bahwa segala properti dan gelar hanya diwariskan kepada keturunan laki-laki.

Namun demikian, masih terdapat fakta kurang menyenangkan bagi perempuan Papua, seperti masih tingginya tingkat kekerasan pada perempuan, ketimpangan pembangunan antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap fasilitas kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang tinggi, minimnya peran perempuan dalam lembaga publik untuk mendapatkan posisi strategis di   sektor pemerintahan.

Perempuan Papua berada dalam tepian yang sangat dilematis, di satu sisi ingin mengembangkan diri maju sejajar dengan laki-laki. Namun di sisi lain, perempuan Papua masih terjebak dalam keterkungkungan budaya patriarkal yang hanya menunggu dan menjamu sang kekasih. Bahkan perempuan kini menghadapi berbagai tantangan untuk menobrak batas eklusivisme yang naif menjadi perempuan yang inklusif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa partisipasi perempuan Papua dalam pendidikan tinggi menjadi kunci kesuksesan dan satu-satunya jalan keluar dari permasalahan perempuan serta mendukung independensi perempuan, sehingga tidak bergantung pada laki-laki dalam hal emansipasi atau upaya mewujudkan kesetaraan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Pentingnya pendidikan ini sebenarnya juga memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mengekspresikan dan mengembangkan potensi diri serta memperoleh pengetahuan yang luas untuk dapat melatih pola pikir secara kritis, tetapi juga sebagai upaya untuk menjadi pemimpin serta mendapatkan pekerjaan atau karir yang lebih layak dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

Belakangan ini, perempuan Papua mulai ikut meramaikan perpolitikan, termasuk banyak yang berhasil menjadi pemimpin di Indonesia maupun Papua. Semakin terbukanya kesempatan bagi perempuan Papua untuk mengenyam pendidikan tinggi mendorong perempuan Papua untuk lebih terlibat dalam sektor pembangunan. Terutama partisipasi perempuan Papua dalam politik dan pemerintahan yang semakin meningkat.

Banyak perempuan Papua yang sudah menduduki jabatan sebagai pemimpin, tetapi tidak semudah itu untuk tampil sebagai pemimpin, melalui berbagai hambatan yang seolah tidak terlihat namun nyatanya merintangi akses menuju kepemimpinan puncak seperti isu gender dan ketidakadilan yang sifatnya melekat dan dikonstruksi secara sosial maupun kultural karena dianggap sebagai pendamping bukan pesaing.

Namun, emansipasi dan partisipasi perempuan Papua dalam pembangunan dan sektor publik perlahan mulai bangkit dan berhasil membuktikan bahwa perempuan juga patut diperhitungkan.

Kecerdasan dan kepiawaian perempuan Papua, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata karena berkontribusi pada pembangunan. Dalam dua dasawarsa terakhir, keterlibatan perempuan dalam peran publik sangat terlihat.

Kualitas pemimpin perempuan Papua perlahan membaik, walaupun berjibaku dengan stigma yang kelam dan kerangka budaya patriarki. Ini merupakan tantangan yang harus dijawab oleh perempuan di berbagai bidang. Peluang yang ada telah mendorong dan meningkatkan kualitas perempuan Papua secara mandiri dan menjadi moto penggerak dalam dimensi kehidupan dan pembangunan daerah.

Perempuan Papua telah menjalani lonjakan perubahan yang melintasi jalan bebas hambatan, mereka kini tidak hanya menjelajahi dunia tetapi mampu menciptakan karya melalui dunia nyata.

Secara kasat mata dapat dilihat pada penempatan posisi-posisi strategis di berbagai bidang pembangunan di Tanah Papua. Inilah perempuan Papua di tengah fenomena pembangunan.

Semakin banyak pemimpin perempuan, maka akan semakin maju daerah ini. Pemimpin perempuan yang baik akan melahirkan anak-anak yang cerdas dan berkarakter yang akan menjadi pemimpin masa depan yang jujur, adil dan amanah.

Kepemimpinan perempuan Papua ternyata sangat esensial bagi kesejahteraan daerah karena tidak hanya dijadikan sebagai objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan itu sendiri.

Perempuan harus diberi kesempatan untuk dapat menentukan pilihan dalam hidupnya baik dalam mengenyam pendidikan, pilihan berkarir, maupun plihan pengabdian sebagai ibu rumah tangga. Pilihan ini harus dihormati dan dihargai. Masyarakat seharusnya dapat mendukung pilihan hidupnya sebagai perempuan Papua yang berkarya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun