Saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus, jantung berdebar kencang. Apa yang harus dibicarakan, ketika dosen bertanya apa yang dijawab. Bagaimana berhadapan dengan kakak tingkat?
Pertanyaan semacam itu menyelimuti pikiran. Apalagi kelas yang dihadapi sekarang berbeda dari yang sebelumnya. Pasti akan merasakannya saat berada di posisi ini. Baru masuk area, sensasinya berbeda. Belum lagi bangunannya, komunitas ilmiahnya dan segala dinamika yang ada di dalamnya.
Akan menjadi kebanggaan tersendiri, bila mengatakan bahwa diterima dan menjadi mahasiswa di kampus idola. seperti yang muncul di SMA saat mengisi soal UN, di pojok kanan atas yang tertulis "Dokumen Negera Sangat Rahasia". Mungkin itulah rahasia yang menjadi kenyataan untuk kuliah.
Biasa, itu adalah ekspresi untuk mengungkapkan hak, pilihan dan keuntungan untuk merasakan hiruk pikuk bergabung dengan komunitas ilmiah sebagai sebuah nama. Bukankah seperti itu?
Tentu menyenangkan menjadi mahasiswa, apalagi lengkap dengan profit dan benefit yang cukup mapan selama perkuliahan, dalam jangka waktu yang ditargetkan, the end secepatnya atau paling lambat.
Semua proses akan berjalan dengan baik, merasa santai dan nyaman dengan kehidupan di kampus. Pada satu titik, berangsur-angsur menyatu dan akhirnya jatuh cinta. Saking terhanyut dalam asmara! Terkadang orang menyebut "Mahasiswa Abadi", bestu (besi tua) dan berbagai aneksasi akan muncul.
Namun, setiap mahasiswa yang telah sukses dari perguruan tinggi dimulai dari kesalahan fatal yang lazim. Minder pada awalnya, akhirnya menjadi lebih pintar, yang sering gugup, reputasinya makin meningkat. Acungan jempol untuk perkara sekecil ini. Karena proses tidak pernah mengkhianati hasil.
Pada sisi lain dalam konteks ini, yang mesti diingat adalah bahwa kaum intelektual tidak selalu temperamental, tetapi hanya gentlemen. Karena di sana diajarkan untuk memiliki kepribadian intelek yang mumpuni. Supaya disanjung di masyarakat umum, sebagai corong berkualitas.
Sementara itu, kisah menarik lainnya datang ketika masih menjadi mahasiswa yang menjodohkan sebuah sapaan "Mahasusah", alias yang pas, bagi yang "Fakir". Wajar jika disebut karena bagian yang tak terpisahkan dari proses perkuliahan yang berlangsung.
Di kampus, semua mahasiswa elit. Namun yang membedakan hanyalah isi dompetnya. Terbukti, dengan sendirinya siapa mahasiswa abadi dan mahasiswa yang sujadi. Dalih-dalih untuk mempertahankan eksistensi semakin jelas, bisa ditebak apa hasrat mahasiswa yang menuntut ilmu di sana.
Itu saja, yang paling membosankan lagi adalah menunggu dosen datang untuk memberikan tugas, tanda tangan, konsultasi dan sebagainya. Parahnya lagi, malas dengan dua kata yang menjijikkan "DO" (Drop Out), meski hanya dua kata, tapi sakitnya sungguh menyiksa.
Susah bangat, memasuki nominasi intelektual, giliran sakit yang datang, yang paling terkenal di kampus adalah maag. Kadang-kadang disebut "Penyakit Mahasiswa". Apa yang bisa dibenarkan dan yang harus disalahkan? Sekali lagi, para pakar dinamika selalu berkontemplasi.
Sebenarnya, sungkan untuk berbagi rumor tentang kehidupan kampus. Tidak diajak untuk membenamkan sifat temperamental. Apalagi dengan judul di atas, bukan berarti mengukir cerita yang berbelit-belit. Berdasarkan fakta dari bagian tersebut, tajuk artikel yang muluk-muluk itu tidak banyak faedahnya.
Sama sekali tidak ada motif lain yang menonjolkan kausalitas ini. Mau bagaimana lagi, jika doi nihil sama sekali. Segala upaya hanya mubazir, sudah begitu proposal akan diremet-remet dan dibuang ke belakang, maka mustahil biayanya mahal.
Tapi tidak terdampar dalam posisi itu untuk bertemperamen. Bukan mahasiswa tanpa perjuangan. Harus agresif dan obsesif dalam mencari jalan keluar dari belenggu finansial. Padahal, kuliah dan perjuangan bukan untuk dirinya sendiri. Meskipun nantinya akan berguna bagi banyak orang.
Barangkali itu cukup. Selebihnya ada tangan lain yang terbuka menyambut dan memberikan kelegaan. Sang Khalik tentu mengetahui setiap pinta dan rintihan umatnya dalam menempuh perjuangan sejauh ini.
Tidak dihiraukannya pun, tidak masalah. Tapi jangan sungkan untuk mendengarkan drama, toh sering jadi bahan tontonan, ocehan dan luapan emosi di kampus. Berpura-pura tuli dan acuh tak acuh, menjadi diri sendiri tanpa berusaha menjadi orang lain.
Banyak energi yang terkuras berargumen dengan bagian keuangan, membuang-buang waktu tanpa titik temu. Meski lelah berjuang, asal pantang menyerah. Cukup, Be Yourself untuk mendidik diri sendiri. Jadilah kampus dengan bangunan hidup
Payah-payah dilamun ombak, tercapai juga tanah tepi
Petitih ini memberikan refleksi yang membangkitkan spirit untuk terus bertahan perjuangan. Bahwa "tidak ada yang seperti itu, tidak ada masalah, ada masalah dengan diri sendiri, hanya akan ada".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H