Dinamki dan kontestasi politik di Papua sangat ekstrem, mengapa demikian? Sebuah kausal yang harus dilambekan secara fundamental, bukan semata-mata karena kepentingan, tetapi proses demokrasi yang tidak fair dan pro-edukatif terhadap masyarakat.
Bukan sebagai peronda lokal untuk berspekulasi seperti itu, memang hal ini ternyata dalam keberlangsungan politik praktis di Papua, kita bisa menyaksikan itu dengan kasatmata.
Sebuah hajatan yang sebenarnya cukup memukau, meskipun diperhadapkan pada situasi tertentu, namun sangat menyudutkan, dalam artian bahwasannya sesuatu yang bersifat dinamis independen, relatif berlebihan terhadap perspektif politik yang radikal.
Landasan pacu politik yang sangat sarat bertepas dan melekat dengan paradigma yang lebih radikal. Membuat pesta demokrasi disuguhkan dengan secangkir kopi tanpa gula. Memang pahit rasanya jika diteguk lagi, sikon ini memicu potensi polaritas yang sulit teratasi.
Bukan hal baru untuk diperbincangkan, dalam beberapa tenggang demokrasi di Papua, nampaknya politik identitas dan polarisasi yang ekstrem masih familier dan kadar tersebut tidak terluput dari setiap kontestasi yang berlangsung.Â
Cekaman ini menjadi tamparan dan pukulan berat yang menghantam dinamika kehidupan sosial dan budaya masyarakat di Papua. Biang dari praktik kongkalikong yang merusak moralitas bangsa dalam proses demokrasi di mata masyarakat internasional.
Sebagai bangsa yang berdemokrasi, bukanlah sesuatu yang cukup "absolut". Pada sisi lain dari demokrasi, setidaknya ada kedewasaan dalam manifestasi politik bangsa yang harus berdaulat di atas harkat dan martabat warga negara.
Masyarakat mesti diberikan edukasi bahwa politik itu bukan hanya sekedar retorika janji dan pilihan. Orasi yang muluk-muluk itu tidak ada faedahnya. Sejatinya politik itu hadir untuk memberikan masyarakatnya eksposisi bagaimana mereka bisa makan, minum, berpendidikan dan hidup sehat, selayaknya bangsa lain di dunia yang lebih maju dan sehat berpolitik.
Selama ini, yang terjadi di hampir seluruh Papua berbanding terbalik dari realitas politik yang sebenarnya. Sangat miris sekali, berbagai pencaplokan dan implementasi sistem pendidikan politik yang tidak menyentuh kelangsungan hidup rakyat Papua seutuhnya.
Akibatnya, pemahaman masyarakat kian berbeda jauh dengan realitas yang sesungguhnya dari pengejawantahan politik. Mereka sudah memiliki kemampuan mempersepsi yang masuk dalam kategori "Negative Thinking". Kelak kita bisa menilai kontestasi politik akan seperti apa, kapan dan dimana.