Untuk memberikan bobot pada pernyataan ini, saya kutip dari seorang negarawan sejati dan orang yang paling jujur di mata bapak pendiri bangsa Bung Karno, beliau tidak asing lagi, sering disapa Om Jho, menuturkan demikian bahwa "Politik bukanlah alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani".
Persoalannya, para pemangku kebijakan lebih mengutamakan hasrat identitas, tanpa memikirkan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum. Kejanggalan ini sangat luar biasa dan langka di tanah Papua. Kononnya "langka", karena hal yang sama tidak lagi dijumpai di berbagai daerah lain yang masih menerapkan keadilan dan kearifan dalam perhelatan politik.
Konotasi ini, rupanya berambigu karena motif politik yang diperagakan para elit lokal tidak selaras dalam mengutamakan kepentingan bersama, tampaknya sudah lumrah dan tidak bisa dibendung lagi.
Politik lokal yang berkarakter kedaerahan sesungguhnya masih sangat jauh dari harapan. Bukan hanya itu, kita bisa telaah dinamika politik nasional yang hampir tumbang tindih. Hal ini berarti pula bahwa kita harus berbenah dalam memajukan moralitas politik bangsa ke depan.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa progres bangsa dalam perjuangan politik generasi sekarang lebih mengutamakan identitas dan polaritas. Tanpa pamrih dan membedakan "sesuatu yang harus terjadi dan sesuatu yang harus berhasil".
Seiring dengan politik identitas yang masih ramai, berkekuatan sangat besar mengundang polarisasi ekstrem. Namun, masih ada kesempatan untuk membenahi persoalan politik di tanah Papua, termasuk mencegah perpecahan akibat gerakan politik yang kian redup-redam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H