Entah kenapa rasanya ingin menangis, setiap tetes yang sirna, sukar dicerna, dan berlalu tanpa pamrih.
Berlekas menuju masa kanak-kanak, tak terluput dari nostalgia masa lalu yang penuh gejolak, kenangan itu masih membekas diam dalam benak.
Menangislah sekarang, dengan suara keras, kamu akan mengerti betapa berartinya menangis
Safari baru saja dimulai, kuatkan hati, tarik napas dalam-dalam, keluarkan air mata sebanyak yang bisa, bicaralah pada diri sendiri, tak acuh apa kata mereka.
Sekarang, kita tidak lagi sendirian di balik belenggu ini, Cendrawasih berkicau tiada henti-hentinya, peka terhadap suara tangisan dan tetesan.
Tak perlu membuktikan diri kuat dan bisa kepada siapapun. Bila gagal, mencobalah, bila lelah, rehatlah, jika piluh dan pedih, menangislah sekencangnya.
Pekikan sedih dan kecewa, tangisanmu sebagai bahasa ketabahan, bahwa kamu jauh lebih kuat dari yang kamu sangka, hujan tak turun kala awan kelabu digantikan pelangi.
Jenuh dengan keadaan, meski hati terusik, tak usahlah berpura-pura bahagia, seperti duri dalam daging yang semakin menyengat.
Menangislah bila memang berat, dengan luka yang teramat menyayat, menangislah di bawah hujan, banjir air matamu tak terlihat pandangan.
Jika diharuskan menangis, menangislah seperlunya, karena air mata yang jatuh tidak lebih kuat dari doa-doa yang panjang.
Meski sudah baca berkali-kali, tetap saja sesak di dada. Entah siapa penulisnya? Kebuka hati ini, air mata menetes hingga lelah, pantang menyerah.
Sampai di ujung jalan, tersenyum bersama Cendrawasih, berteduh dan berbenah. Berjuang dengan air mata tak mudah, hati membutuhkan cinta dan kesabaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H