Saat melihat Mesin Tik ini, saya jadi teringat ayah, sepulang sekolah pasti kedengaran bunyik tok,,, tok,,, tok,,, pokoknya berisik bangat, di salah satu sudut ruang kerja, yang diapik sebaik mungkin.
Bila tidak bermain diluar rumah, saya lebih menyibukan diri dengan membantu ayah mengatur dan menyisipkan kertas putih dan kertas karbon hitam diantara silinder (platen)Â dan meja kertas di Mesin.
Meskipun untuk pemula pada waktu itu, memang yang paling rumit. Tapi ayahku sudah terbiasa dan maestro dalam mengoperasikan Mesin Tik.
Masing-masing tombol di papan ketik akan mencap permukaan kertas. Jadi ayah selalu menekan cukup keras supaya huruf-hurufnya muncul dengan jelas. Bila mengetik agak perlahan maka huruf-hurufnya terputus-putus dan tidak terlihat dengan jelas.
Pada zaman kuno, juru ketik merupakan suatu pekerjaan, karena bisa mengetik dengan cepat tanpa melakukan kesalahan. Kalau belum terbiasa, mengetik jadi lambat kayak siput saking belum hafal tata letak hurufnya, hmmm.
Ketika saya datang dengan khusyuk pada jam 11, ayah duduk di ruang Single Sideband (SSB). Barangkali yang istimewa dari SSB ini sebagai wahana untuk memberikan layanan informasi suara dengan variasi amplitudo sinyal.
Sekarang saatnya, giliran saya yang mengoperasikan Mesin Tik "Juru Tik Bocil" yaa,,, kira-kira ungkapan yang pantas untuk diriku saat itu.
Sebenarnya ayah tidak membiarkanku, saya kedapatan duduk depan Mesin Tik, ayah menatapku lama, mengatakan satu atau dua kata, ayah melihat tulisan saya yang berantakan.
Ayahku bukan pria pemarah, dia penuh cinta. Ayah mengoreksi tulisanku, karena menurutnya tidak memenuhi kaidah penulisan, dan pada saat yang persamaan ayah mengajariku cara menggunakan Mesin Tik. Meski peka sekarang, saya paham kalau dulu, penulisan dokumen harus dilakukan dengan tangan, terkadang menggunakan Mesin Tik.
Untuk menulis dokumen gereja, ayah menggunakan Mesin Tik ini, yang tidak bisa dihapus kayak Microsoft Word, jika dihapus menggunakan typex dianggap kasar, tapi lagi-lagi giliranku membantu ayah menghapusnya dengan typex, meniup sekencangnya agar cepat kering.
Jadi walaupun ada kesalahan penulisan! Ketik ulang lagi dari awal (ya ampun), rumit bangat, mulai mengembalikan posisi carriage dan memutar knop agar tidak ada kesalahan lagi.
Kadang alat, huruf dengan huruf lainnya nyangkut, tidak langsung "tok" jadinya huruf tidak nempel atau kelewatan, ngulang lagi, memang ini sebuah kerja keras yang payah.
Makanya kalau diketuk berulang kali, bikin mubazir kertas, kayak di film begitu, berulang kali mengetik, kertas akan diremet-remet dibuang ke belakang. Parahnya lagi, sudah mubazir, masih bisa disimpan untuk oret-oretan, (lelucon).
Rupanya begitu, baru membuka brankas masa lalu bersama ayah saat melihat Mesin Tik, meski saat ini sudah semakin langka, pada masa jayanya mesin ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H