Namun, sebaliknya ketidakterbukaan terhadap dimensi ilahi ini justru membuat manusia terkurung dalam ruang lingkup dunia material, tanpa ada suatu tujuan yang jelas.
Pada dasarnya perspektif orang Meck terhadap eksistensinya bersua membuat hidup manusia itu terarah ke depan. Tidak ada orang yang mau "berjalan di tempat" saja, apalagi mundur ke masa lalu dengan kebudayaan yang lama.
Bukankah segala yang di upayakan oleh Injil saat pemberitaan adalah demi masa depan yang lebih baik dari pada masa lalu?
Orang Meck meyakini bahwa masa depan yang sesungguhnya sesuai dengan pesan yang tersirat dalam Injil itu tertentu, tidak terletak pada dunia yang ternyata tak mampu memberikan kebahagiaan sejati baginya.
Jelas bahwasannya masa depan yang paling diharapkan manusia selama hidupnya di dunia ini terletak di seberang ruang dan waktu duniawi. Ke "sana"-lah seluruh proses hidup manusia mengarah.
Interpretasi teologis dalam kebudayaan orang Meck sebagai motif utama dari tindakan kedatangan atau penggenapan tentang pewartaan "Injil" yang memanifestasikan seni kekristenan.
Sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan terhadap suatu realitas yang lebih besar, yang melampaui taraf keberadaannya. Maka realitas inilah yang kemudian menunjukkan perwujudannya.
Meskipun kebanyakan orang Kristen dewasa ini enggan untuk bersikap negatif sepenuhnya terhadad orang-orang dari kepercayaan-kepercayaan kebudayaan lain di sekitarnya.
Nampaknya, masih banyak keraguan di dalam diri banyak orang untuk memeriksa kembali dasar dari pernyataan-pernyataan eksklusif mereka atas nama Kristus yang sudah dinyatakan dalam kebudayaan.
Karena itu, tempat Kristus di dalam kebudayaan suku Meck yang sudah dinyatakan dalam bentuk "Injil" yang telah menjadi suatu pokok penting dalam menggapai suatu teologi baru mengenai Imakhne dalam kebudayaan.
Keberadaan Injil memang sesuai dengan tuntutan kodrat agama sebagai suatu gejalah universal dan sebagai salah satu ajaran yang sudah mutlak terdapat dalam kekristenan yang di wartakan kepada orang Meck.