Sering kami bersenda-gurau seperti itu, karena memang hujan menjadi sejawatku, terkadang ia lebih banyak berbicara dan membisingkan, tak jarang ia tuli dalam menyambut kata-kataku, bahkan ia peka dan mendengar omonganku. Dia sering menjengkelkan, tetapi juga membahagiakan.
Intinya rejeki itu, ibarat hujan yang turun dari langit. Begitu nyata dan jelas, manusia hanya perlu menjemputnya. Rejeki setiap orang itu berbeda, berbeda pada wadah yang disiapkan menampung airnya. Ada juga yang menyediakan wadah kecil, adapula wadah yang besar. Sesuai dengan ukuran dan takaran yang disiapkan masing-masing orang.
Setiap manusia itu mempunyai pemikiran dan pendapat dalam mendefinisikan maupun mengibaratkan hujan dengan pengalaman hidup dan kenyataannya masing-masing dalam menjalani dan menikmatinya. Bahkan tak jarang, jika ada yang berniat mengabadikan, tetapi juga ada ingin mengabaikan momen-momen termasyur itu.
Nikmatilah masa kecilmu dengan kenangan-kenangan yang ada. Karena menjadi dewasa ternyata tidak seindah yang dibayangkan dimasa kecil. Saat kecil  bahagia ketika hujan, sebab air mata yang jatuh di daratan lambat laun akan terbawa arus air hujan kemudian menepi ke sungai. Alhasil semuanya bermuara di luat dan akan menjadi permata.
Tentu saja, kita akan melihat pelangi sehabis hujan, walau hadirnya hanya sesaat. Hidup ini memang brengsek, tetapi dipaksakan untuk menikmatinya. Namun mesti bersyukur, karena hidup itu seni dan banyak warna-warni yang membuat harmoni. Semoga setiap percikan air hujan penuh rahmat dan keberkahan.
Penulis : Seno R. Pusop Jr.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H