Mohon tunggu...
Syahiid Nur Kamil
Syahiid Nur Kamil Mohon Tunggu... -

Tiada yang indah dalam kepalsuan Tentunya kau mengetahui itu kan?

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relativisme dan Hati Nurani

17 September 2012   10:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://brightmorningstar.blog.com

hanya copy paste dari http://rumahfilsafat.com/2012/02/25/relativisme-dan-hati-nurani Oleh Reza A.A Wattimena Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya Tema Extension Course Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya Agustus-Desember 2012 Dalam salah satu tayangan televisi swasta, seorang remaja perempuan diwawancarai. Pertanyaannya begini, bagaimana pendapat anda tentang kasus korupsi yang kini tengah menjadi perhatian masyarakat Indonesia? Jawab si remaja perempuan, “yah. Korupsi itu sih emang salah. Tapi kan tergantung orangnya. Korupsi itu kan relatif. Tiap orang punya pendapatnya sendiri-sendiri. Ga ada yang bener dan ga ada yang salah.” Jawaban yang amat mengagetkan. Remaja perempuan tersebut tidak mampu memberikan pertimbangan moral atas tindakan korupsi yang kini menjadi akar dari pelbagai permasalahan di Indonesia. Jawaban tersebut sebenarnya hanya puncak gunung es dari permasalahan yang lebih dalam, yakni badai relativisme yang kini melanda masyarakat kita, terutama anak muda. Relativisme membawa orang pada kebingungan, dan akhirnya pembiaran serta ketidakpedulian terhadap berbagai tindakan yang bisa merugikan orang lain, atau merugikan kepentingan bersama. Namun apakah yang sesungguhnya dimaksud dengan relativisme? Saya akan coba jelaskan lebih jauh. Relativisme Relativisme adalah suatu paham yang terdiri dari beragam argumen.[1] Di balik beragam argumen tersebut, ada satu yang sama, yakni bahwa realitas, dan seluruh aspeknya, termasuk pikiran, moralitas, pengalaman, dan penilaian manusia, tidaklah mutlak, melainkan relatif posisinya pada sesuatu yang lain. Yang paling sering ditemukan adalah relativisme dalam bidang moral. Argumen yang sering muncul adalah, apa yang baik dan buruk itu amat relatif pada kultur setempat. Di satu tempat satu tindakan dianggap baik. Sementara di tempat lain, tindakan yang sama dianggap tidak baik. Argumen-argumen relativisme sering membawa kita pada akhir yang membingungkan, karena kita seolah tidak lagi bisa memutuskan secara pasti apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan apa yang salah. Namun relativisme jelas memiliki pesonanya sendiri yang memikat para pemikir dunia, dan tak bisa begitu saja diabaikan. Nuansa relativistik bisa kita temukan hampir di setiap aliran filsafat. Tentu saja dalam beberapa hal, seperti dalam upaya memahami budaya masyarakat lain, nuansa relativistik semacam itu amatlah berguna, sehingga kita tidak memutlakkan nilai-nilai yang kita miliki. Nuansa relativistik juga bisa ditemukan di dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan, terutama dalam konsep paradigma yang dirumuskan Thomas Kuhn, maupun konsep “inkomensurabilitas”, yang juga berarti tak terbandingkan, yang dirumuskan oleh Ludwig Wittgenstein.[2] Filsafat posmodern juga dengan tegas menyebarkan nuansa relativisme atas nama kebebasan dan ekspresi diri. Di dalam sejarah filsafat, sudah sejak masa Yunani Kuno, kaum Sofis yang memegang erat relativisme bertarung argumentasi dengan Sokrates di pasar-pasar kota Athena. Pada level etika (filsafat moral), relativisme juga memiliki pengaruh besar. Pandangan ini mempertanyakan keabsahan tolok ukur moral dan hukum yang telah berlaku lama di masyarakat. Apa yang baik dan apa yang benar digoyang, dan dipertanyakan ulang. Pada satu sisi proses ini sebenarnya amat baik, sehingga seluruh masyarakat bisa merefleksikan ulang nilai-nilai yang mereka anut. Namun pada sisi lain, proses ini menciptakan ketidakpastian yang membawa orang pada kebingungan dan anarki sosial. Di dalam ranah ilmu pengetahuan, relativisme menggoyang arti obyektivitas ilmiah yang selama beradab-abad menjadi tolok ukur dari penelitian ilmiah di berbagai bidang keilmuan. Relativisme berpijak pada satu pengandaian dasar, bahwa manusia adalah mahluk yang terikat dengan akar historis dan budaya, sehingga ia tidak pernah bisa sampai pada kebenaran yang bersifat universal. Pengandaian ini sangat masuk akal, berjalan searah dengan paham relativisme, dan jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Semua upaya untuk memberi pendasaran pada kemampuan manusia untuk sampai pada kebenaran universal tidak bisa mengabaikan begitu saja argumen-argumen relativisme yang, harus diakui, amat memikat. Di dalam filsafat bahasa, manusia dianggap sebagai mahluk yang sudah selalu tertanam pada bahasa tertentu, dan tidak bisa begitu saja melepaskan bahasanya untuk memahami dan menjelaskan “kebenaran universal”. Paham-paham lain seperti pluralisme (hidup bersama dalam perbedaan tata nilai) dan konstruktivisme (realitas adalah bentukan pikiran manusia) juga kental dengan nuansa relativisme di jantung argumennya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, ada satu kelemahan yang amat mendasar dari relativisme, yakni paham tersebut mengajak kita memasuki alam ketidakpastian eksistensial diri dan anarki sosial, karena tidak ada lagi satu pijakan bersama yang mendasari makna hidup maupun relasi-relasi sosial politik masyarakat. Dari dua hal itu, yakni ketidakpastian makna hidup dan anarki sosial, kita bisa menurunkan banyak sekali hal-hal negatif, mulai dari kecenderungan bunuh diri yang amat tinggi di dalam masyarakat modern, negara otopilot di mana pemerintah tak lagi memegang otoritas yang diberikan kepadanya, sampai dengan anarki sosial yang menciptakan kekacauan serta beragam kejahatan lainnya, seperti penjarahan, pemerkosaan, penghancuran, pembunuhan, dan sebagainya. Relativisme sebenarnya juga memiliki wajah positif. Paham ini mengajak kita memikirkan ulang nilai-nilai yang kita anut selama ini, baik sebagai pribadi maupun masyarakat, dan bertanya, apakah nilai-nilai yang kita anut masih relevan untuk menanggapi perubahan jaman yang terus terjadi? Relativisme menjauhkan kita dari sikap otoriter dan terburu-buru di dalam membuat penilaian. Jika dipergunakan secara tepat, relativisme bisa membawa kita pada kebenaran yang lebih dalam, dan memastikan keadilan bisa terwujud di dalam kehidupan. Di dalam tekanan dua sisi relativisme, bahwa kita tidak bisa hidup tanpanya, tetapi juga tak bisa hidup bersamanya, apa yang mesti kita lakukan? Bisakah “kembali hati nurani kita sebagai manusia” menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut? Namun apakah yang dimaksud dengan hati nurani? Hati Nurani Hati nurani adalah kemampuan manusia untuk melihat ke dalam dirinya, dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk.[3] Lepas dari segala kekurangan dan cacatnya, manusia adalah mahluk yang mampu menentukan apa yang harus, yang baik, dilakukan, dan membuat keputusan berdasarkan pertimbangannya tersebut. Melatih dan mengembangkan kepekaan hati nurani adalah bagian dari keutamaan moral yang dianggap luhur oleh berbagai filsuf di dalam sejarah. Salah satunya adalah filsuf Eropa yang bernama Bonaventura. Bonaventura berpendapat hati nurani manusia terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah bagian dari hati nurani yang secara alamiah bisa sampai pada kebenaran-kebenaran dasar dalam hidup manusia, seperti kebenaran yang terkandung pada perintah-perintah moral dasar; hormati orang tuamu, dan jangan menyakiti mahluk hidup lain. Setiap orang bisa sepakat tentang hal ini, karena ini tertanam jauh di dalam diri manusia. Bahkan manusia-manusia yang sudah “korup” sekalipun tetap bisa mengenali, bahwa ini adalah perintah-perintah moral yang layak untuk dipatuhi. Bagian kedua dari hati nurani adalah kemampuannya untuk menerapkan perintah-perintah moral di atas di dalam konteks kehidupan sehari-hari manusia. Bagian kedua ini juga merupakan bagian yang alamiah dari hati nurani manusia, walaupun bisa mengalami kesalahan, karena berbagai hal, seperti kurangnya informasi, ataupun kesalahan penarikan kesimpulan di dalam berpikir. Dua hal inilah yang menurut Bonaventura menjadi awal dari kejahatan. Berpijak pada dua bagian dari hati nurani tersebut, Bonaventura menegaskan, bahwa manusia perlu terus untuk mengembangkan kepekaan hati nuraninya, terutama bagian kedua dari hati nuraninya, supaya ia tidak terjebak pada perilaku-perilaku jahat. Ia perlu untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, sebelum membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya, apalagi yang secara langsung berdampak pada orang lain. Ia juga perlu untuk berlatih berpikir logis, kritis, reflektif, dan analitis di dalam memahami dunia, sehingga tidak terjebak dalam penarikan kesimpulan yang salah. Dalam arti ini menurut Bonaventura, hati nurani manusia adalah sesuatu yang dinamis, yang bisa berkembang seturut dengan upaya dari manusia terkait. Filsuf Eropa lainnya, Thomas Aquinas, memiliki pandangan tentang hati nurani yang lebih bersifat rasional. Baginya hati nurani adalah penerapan dari pengetahuan rasional manusia ke dalam tindakan. Pengetahuan ini diperoleh manusia dari kodrat alamiah manusia yang selalu mengarahkannya pada kebenaran dan kebaikan. Pengetahuan ini lalu diterapkan dalam pelbagai konteks kehidupan manusia. Setiap orang memerlukan keutaman yang tepat untuk bisa menerapkan pengetahuan hati nuraninya di dalam berbagai konteks kehidupan yang amat dinamis. Salah satunya yang cukup penting, menurut Aquinas, adalah sikap bijaksana, atau yang disebutnya sebagai prudence. Di tengah himpitan relativisme, yang sekaligus baik namun juga berpotensi besar untuk merusak kehidupan, apa yang bisa disumbangkan oleh pemahaman kita tentang hati nurani? Mampukah hati nurani kita sebagai manusia menjadi makna hidup pribadi di tengah badai relativisme dewasa ini? Mampukah hati nurani kita sebagai manusia memberikan titik pijak untuk bisa hidup bersama dalam keadilan, harmoni, dan kemakmuran? Bagaimana cara mengasah kepekaan hati nurani? Ataukah ada alternatif selain berpijak pada hati nurani kita sebagai manusia? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang masih perlu terus menjadi pergulatan kita bersama di dalam Extension Course dan Simposium Filsafat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun