Mohon tunggu...
Sim Chung Wei
Sim Chung Wei Mohon Tunggu... Guru - Guru

blog : castleofwisdom7.blogspot.com youtube : https://www.youtube.com/@castleofwisdom2442 ig : @simchungwei Saya pria, lahir di kota Tahu, Sumedang, Jawa Barat, pada tanggal 24 Desember , anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini berprofesi sebagai tenaga pendidik di salah satu sekolah swasta di Jakarta, dan merintis sebagai seorang penulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Orang Tuaku Melihat Potensi Terdalamku

1 Maret 2023   12:01 Diperbarui: 1 Maret 2023   12:39 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang tuaku yang sejak kecil dididik di sekolah berbahasa mandarin, tetapi sejak terjadi pergolakan politik di tahun 1960-an. Semua sekolah yang tidak menggunakan bahasa Indonesia mengalami penutupan operasional. Maka, mereka dan generasinya mengalami kesulitan untuk melanjutkan sekolah, karena berbagai faktor. Beberapa memang  bisa melanjutkan pendidikan di sekolah berbahasa Indonesia. Namun kedua orang tua saya tidak dapat melakukannya, karena faktor ekonomi dan birokrasi saat itu.

Pendidikan yang mereka tempuh saat sekolah ditutup itu setingkat SMP. Dengan pedidikanya yang tidak terlalu tinggi ini, tentu sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Namun yang luar biasa yang dapat diteladani dari mereka, adalah daya juang yang tangguh. Mereka menjadi inspirasi bagi saya. Saya dihadapkan pada   jalan pendidikan yang harus saya rintis hingga meraih gelar sarjana. Mewujudkan salah satu impian mereka adalah memberikan pendidikan yang cukup bagai anak mereka. Bahkan lebih tinggi dari yang mereka dapat. Mungkin ini bukan hanya impian orang tua kami, tapi hampir semua orang tua mendambakan hal tersebut.

Kami dua bersudara dibesarkan dengan pola asuh yang sedikit berbeda, meski kami berdua sama-sama laki-laki. Dengan selilih usia 6 tahun,  ayah mungkin sudah melihat bakat saya sejak duduk di Bangku SD, dia tidak mengizikna saya membantunya di bengkel sepeda tempat dia berusaha.  Beberda dengan adik saya yang diperbolehkan membantunya sampai kadang kotor dengan oli. Sedangkan saya dibiarkan kotor bersama tanah dari pot dan tanaman yang ada di samping rumah. Pernah di saat masa kami saling iri satu dengan yang lain karena merasa dibedakan.

Saat ini ketika direnungkan, ternyata pengalamanan mengajarkan mereka cara membesarkan kami berdua dengan potensi, ketertarikan, karakter dan talenta kami yang berbeda. Saya pribadi dengan meiliki tingkat pendidikan lebih tinggi belum tentu bisa melihat potensi anak saya sebaik ayah saya melihat potensi kami berdua.

Saat menjelang lulus dari SMP,  saya mau melanjutkan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Dan secepatnya mencari kerja tanpa melanjutkan kuliah di perguran Tinggi, karena saya memahami kondisi ekonomi keluarga. Saya sempat berpikir untuk melanjutkan ke SPMA, karena itu salah satu bidang yang saya sukai dan berharap setelah lulus dapat langsung bekerja, tanpa mengetahui secara jelas juga akan bekerja dimana.

Namun, akhirnya saya malah melanjutkan ke SMAN terbaik di kota Sumedang, yaitu SMAN 1 Sumedang. Dan kemdian menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran. Tadinya saya sempat menyerah dalam menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi. Karena alasan biaya dan juga idealisme yang saya inginkan dalam menyelesaikannya.

Baca juga: Potensi Diri

Dengan dukungan yang mereka berikan dan didukung keinginan untuk meningkatkan derajat keluarga, akhirnya saya dapat menyelesaikan pendidikan sarjana saya dan lulus dengan IPK 3,22. Memang tidak mendapat predikat Cumlaude, tetapi setidaknya saya telah membuktikan perjuangan saya sampai meraih gelar Sarjana Pertanian.  Setidaknya saya telah menunjkkan bahwa dari keluarga sederhana seperti kami, dapat mengenyam pendidikan tinggi.

Dukungan yang mereka berikan dalam keterbatasan pendidikan mereka, lebih dirasakan dalam bentuk duakungan doa dan semangat. Mereka terus mendorong saya untuk berkembang, dan mengusahakan yang terbaik bagi kami.  Salah satu contohnya, adalah selalu menyediakan biaya saya untuk berangkat kuliah yang berjarak kurang lebih 35 Km. Entah bagaimana cara mereka bisa enyediakannya meski saya mengetahui bengkel dan warung dalam kondisi tidak baik.

Inspirasi yang bisa saya dapat, keterbatasan tingkat pendidikan ternyata tidak mempengaruhi pola asuh. Pelajaran kehidupan yang membentuk mereka menjadi sosok yang luar biasa bagi kami anak-anaknya. Orang mungkin hanya melihat mereka sebagai ornag tua bisa yang bekerja sebagai montir sepeda dan seorang ibu yang membantu ekonomi keluarga dengan membuka warung kecil disamping bengkel.

Bagi kami, anaknya kenangan yang mereka tinggalkan merupakan pendidikan kehidupan dan sumber inspirasi bagi kami dalam menjalani kehidupan ini. Kedua tokoh yang menjadi inspirasi bagi kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun