Menolong masa depan dengan hati
Menjadi agen Asuransi di Indonesia beberapa tahun lalu masih dijadikan profesi kelas dua, dan dianggap sebagai pekerjaan yang dianggap hanya sebagai sampingan, atau sekedar mencari pengalaman. Mungkin profesi ini mulai banyak dicari saat pandemi, akibat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingan perlindungan, dan jaminan kesehatan. Selain itu, secara internal profesi agen asuransi telah banyak membenahi diri dengan adanya berbagai pelatihan dari AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia), sehingga para tenaga pemasaran Asuransi dibekali dengan berbagai pengetahuan yang cukup dalam menjelasakan produk Asurasi dan secara tidak langsung memberikan pemahaman tentang pentingnya asuransi kepada masyarakat.
Penulis sendiri pernah bekerja sebagai agen asuransi, awalnya karena belum mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah, dan berpikir untuk mencari pengalaman. Profesi ini saya jalani dengan sedikit menantang diri, dengan alasan seandainya bisa menjual kepercayaan lewat sebuah buku polis, maka dikemudian hari akan lebih mudah menjual produk barang.
Dipikiran saya kala itu adalah ketika saya bisa menjual produk jasa, tentu saya akan lebih mudah menjual produk berupa barang. Namun ternyata tidaklah demikian, pemasaran produk barang juga memiliki keunikannya tersendiri. Tidak bisa menjadi patokan ketika kita sukses menjula jasa asurasnsi, kita akan lebih mudahmenjual produk barang.
Kembali ke produk asuransi yang lebih menitik beratkan pada faktor kepercayaan dalam proses pemasarannya. Memberikan penjelasan dan pencerahan tentang pengalihan resiko. Sebagai makhluk yang memiliki perasaan, ketika seorang agen asuransi menjelaskan produknya dengan hati yang tulus, maka akan memberikan penjelasanya tersampaikan dengan baik, selain dilengkapi juga dengan kemampuan teknis presentasi yang baik. Berbeda jika seorang agen menjalakan profesinya hanya demi keuntungan semata, tentu akan terasa oleh calon nasabah, sehingga aktivitas dan respon yang dilakukan  akan berbeda dengan agen yang menjalaninya dengan niat dasar menolong dan melayani sesama.Â
Untuk  menentukan besarnya uang pertangungan (UP) selain berdasarkanhitungan teknis, posisikan diri kita juga sebagai tertanggung. Miliki empati sehingga kita bisa lebih memberikan produk dan proteksi yang tepat. Serta kita juga perlu belajar menaksi/memproyeksikan masa depan sebuah keluarga.
Berdasarkan pengalaman selama menjadi agen asuransi di dua perusahan asuransi jiwa ternama di Indonesia. Penulis berlajar untuk memberikan pelayanan dan penjelasan dengan melibatkan hati nurani dalam menjalankan profesi ini. Dalam memasarkan produk asuransi, seorang agen bukan hanya menjual produk yang persahaan asuransi punya, melainkan perlu melihat dan menganalisis kebutuhan dari calon nasabah, sehingga nasabah mengerti dengan pasti apa yang mereka butuhkan untuk pengalihan resiko yang mungkin akan terjadi dikemudian hari. Meskipun tidak ada seorangpun yang mengharapkan musibah terjadi, namun satu hal yang pasti adalah kematian.
Hal ini nyata sekali manfaatnya terutama bagi keluarga yang ditinggalkan oleh kepala keluarga atau orang yang menjadi tulang punggung keluarga. Nyawa memang tidak kembali, dan tak tergantikan, tapi kelangsungan hidup anggota keluarga yang ditinggalkan perlu mendapat jaminan. Jaminan finansial bisa didapat salah satunya dari klaim uang pertenggungan yang sesuai dengan kebutuhan
Terkadang untuk membuat calon nasabah mengerti dan merasa perlu, para tenaga pemasar asuransi terkesan memaksa. Maka dari itu perlu ketulusan hati dan empati dari para tenaga pemasar untuk menjelaskan dengan baik, hingga calon nasabah mengerti akan pentingnya asuransi. Â
Hasil dari aktivitas menolong dan melayani dengan hati, dapat memberikan kentungan finasial yang menjanjikan. Maka jika dijalankan dengan hati dan profesional, profesi sebagai agen asuransi memberikan prospek yang luar biasa menjanjikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H