Akhir-akhir ini PT. KAI (Persero) harus berhadapan lagi dengan penyerobot aset negara di Palembang tepatnya di Desa Muara Gula, Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Muara Enim. Kasus ini bermula dari dua orang warga yakni Arbain dan Ucok yang mengklaim lahan tersebut milik mereka karena memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) diatas lahan PT. KAI (Persero) Divre III Palembang yang saat ini diperuntukkan membangun Dipo Gerbong dan Bubut dimana manfaatnya untuk perawatan gerbong yang akan digunakan untuk angkutan batubara.
Dasar kepemilikan yang di klaim oleh Arbain dan Ucok hanya SKT No 31/Kec/1976 yang hanya ditandatangani Camat dan Pemohon tanpa keterangan apapun dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku pihak yang berwenang. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan, Surat Kepemilikan Tanah (SKT) itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah bukan sebagai hak milik.
Dari fakta diatas bisa ditarik kesimpulan kalau bukti SKT yang dibawa Arbain dan Ucok bukan bukti yang kongkrit apalagi menjadi hak milik mereka. Setelah melewati proses yang panjang akhirnya pada tanggal  20 Maret 2018, PT. KAI (Persero) Divre III Palembang telah berhasil menertibkan lahan yang terletak di desa Muara Gula tersebut. Biarpun sempat terkendala karena protes dari mereka, proses penertiban berjalan lancar dipimpin langsung oleh Kabag Ops Muara Enim yakni Kompol Zulkarnain, SH.
PT. KAI (Persero) Divre III sendiri memiliki bukti kuat atas lahan tersebut yakni Grondkaart No 8, 9 dan 10 dan batas tanahnya 75 Meter dari as rel kereta. Grondkaart memiliki dua kekuatan yakni kekuatan Administratif berdasarkan arsip yang terpisah Surat Keputusannya dan kekuatan Yuridis yang memiliki dasar hukum dari tambahan berita negara No.4969 pasal 3 dan 4. Pada pasal 3 menyebutkan bahwa Grondkaart dibuat oleh pemerintah berdasarkan surat ukur yang diukur dan diterbitkan oleh Kadaster atau BPN pada masa itu. Dalam pasal 4 disebutkan dengan jelas, bahwa Grondkaart merujuk kepada pemegang hak atas tanah atau lahan. Disebutkan dalam Grondkaart telah diketahui oleh kepala Kadaster (BPN) atau minimal juru ukur tanah.
Pasca Indonesia Merdeka, Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN a/n Menteri Keuangan mengirimi surat kepada Menteri Negeri Agraria atau Kepala BPN bukti surat No. B-II/MK.16/1994 tanggal 24 Januari 1994 menyatakan, tanah-tanah yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasarnya adalah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai aktiva tetap Perumka atau PT. KAI (Persero) saat ini. Berkaitan dengan hal itu maka tanah-tanah tersebut perlu dimantapkan statusnya menjadi milik/kekayaan Perumka atau PT. KAI (Persero).
Bodohnya, banyak orang yang menyangkal lahan PT. KAI (Persero) dengan Undang Undang (UU) No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian padahal isi dari UU tersebut  bukan menyangkut tentang status kepemilikan tanah PT. KAI (Persero) tetapi menyangkut tentang prasarana perkeretaapian salah satunya adalah jalur kereta api dimana jalur kereta api tersebut terdiri dari Rumaja, Rumija, Ruwasja yang masing-masing ketentuan dan pemanfaatannya sudah diatur.
Penertiban dan pemasangan bantalan rel berjalan dengan lancar dan cepat berkat kerjasama antara PT. KAI Divre III Palembang dengan instansi terkait, dalam hal ini adalah pihak Kepolisian. Pembangunan Dipo ini untuk mendukung pengembangan angkutan PT KAI (Persero) Divre III Palembang sehingga kita harus bersama-sma menjaga aset negara dari orang-orang maupun kelompok-kelompok yang berusaha mencuri aset tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H