Mohon tunggu...
Risonly Simbolon
Risonly Simbolon Mohon Tunggu... profesional -

Do nothing and gain nothing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pekerjaan, Demi Nafkah atau Demi Hidup?

20 November 2014   22:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:17 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu yang lalu ayah saya terpaksa dilarikan ke RS. Sebelum tiba di RS kami sudah konsultasi dengan dokternya, dan disarankan untuk langsung dilakukan tindakan operasi.
Ternyata ada beberapa proses yang mutlak dikakukan sebelum operasi. Pihak RS harus memastikan bahwa ayah saya "SANGGUP" menerima operasi.
Tapi bukan itu yang hendak saya soroti. Pelayanan tim medis, perawat dan staff RSlah yang hendak saya soroti. Saya membawa ayah saya ke RS pada hari minggu sore menjelang malam. Saya tiba di RS dengan situasi yang agak panik dan tegang serta gelisah. Ketika sampai di RS, saya langsung melapor ke bagian informasi dan menjelaskan bahwa ayah saya sudah buat janji dengan dokter x untuk pelaksanaan operasi. Suster yang menjaga informasi menanggapi dengan santai dan menyuruh saya menunggu. Saya dan ayah saya menunggu, tidak tahu apa yang harus ditunggu. Beberapa belas menit kemudian saya datangi lagi petugas informasi itu. Orangnya sama, tapi dia malah menanyakan kepentingan saya. Padahal tadi saya sudah jelaskan, dan penjelasan saya membuat dia menyuruh saya menunggu, padahal ayah saya sudah meringis kesakitan daritadi.
Dengan nada suara yang meninggi saya menjelaskan kembali situasi saya, dan hasilnya dengan nada suara yang tak tinggi dia menyuruh saya menunggu. Kali ini saya tidak akan tertipu lagi. Saya tanya apa yang saya tunggu dan sampai kapan saya harus menunggu. Si suster bilang bahwa dia harus mencari dokter x dulu.
Sembari menunggu saya menelepon dokter x untuk memberitahu bahwa saya sudah di RS. Si dokter menyuruh saya menghadap ke bagian informasi dan meminta pihak RS menelepon dokter x.
Saya kembali menghadap ke suster yang tadi dan meminta mereka melakukan sesuai instruksi dokter x. Jawaban yang saya terima sungguh di luar dugaan saya. Si suster mengatakan bahwa jalur telepon RS tidak bisa melakukan panggilan keluar!!!!! Terpaksa saya menyerahkan HP saya supaya si suster menelepon dokter x.
Saya masih harus menunggu.
Beberapa belas menit kemudian, seorang perawat dengan pakaian perawat bertuliskan IGD datang ke saya bersama dengan suster yang pertama. Dia tiba-tiba marah-marah sama saya lantaran tidak mengkomunikasikan situasi saya dengan baik!!!! Saya disalahkan karena saya bicara kepada suster yang ternyata mahasiswi akper yang sedang praktek. Saya mengatakan saya tidak tahu dia mahasiswa atau apapun. Yang saya tahu, dia berpakaian perawat dan dia duduk di meja informasi. Saya disalahkan karena tidak mendaftar ke bagian Rawat Inap dan tidak langsung masuk ke IGD. Saya bilang bahwa seandainya saya disuruh rebah di parkiranpun akan saya turuti jika SAYA DIMINTA DEMIKIAN untuk kesembuhan ayah saya. Kenyataannya saya hanya diminta menunggu!!!!! Padahal saya sudah menjelaskan situasi saya. Terakhir saya disalahkan karena dokter x sudah memarahi seluruh staff RS yang terkait karena membiarkan ayah saya yang kesakitan menunggu terlalu lama. Untuk hal ini saya hanya bisa katakan, "Jadi karena kalian dimarahi dokter x, maka sekarang kalian menghabiskan waktu untuk memarahi saya dan menunda menolong bapak saya?"
Tampaknya mereka sadar lalu kemudian mengurus bapak saya. Kemudian dengan ketus mereka menyuruh saya mendaftar ke bagian admin.
Selama ayah saya dirawat, sulit menemukan kenyamanan bila harus berurusan dengan perawat. Hal ini mulai dari cara mereka bicara yang jauh dari lembut, menarik sprei dengan kasar, menyuruh ayah saya ini itu dengan kasar, dan lainnya. Saya jadi malas berurusan dengan mereka. Ayah sayapun mendesak lekas-lekas pulang karena dia tidak nyaman dengan sikap para perawat.
Bukankah pekerjaan seharusnya menjadi aktualisasi diri, penyerahan diri, pernyataan diri, dan panggilan hidup?
Bukankah perolehan nafkah seharusnya HANYALAH efek samping positif dari pekerjaan itu?
Okelah. Katakanlah tuntutan jaman menjadikan manusia memikirkan nafkah dulu baru memikirkan hal lain. Tapi bukankah harus disadari bahwa setiap pekerjaan, apapun itu, memiliki tanggung jawab moral sebagai efeknya?
Seorang perawat, bukankah selama bekerja dia akan menghadapi orang sakit? Hal ini mengakibatkan tugasnya bukan hanya merawat secara prosedural atau teori. Lebih daripada itu, cara bicaranya, sikapnya, sapaannya, seluruh kediriannya seharusnya membantu MERAWAT.
Saya menemukan ini bukan hanya di dunia perawat. Tapi di banyak pekerjaan lain.
Seorang guru yang tingkahnya ternyata tidak menggurui.
Seorang polisi yang sikapnya bukan mengayomi, malah memanfaatkan profesi sebagai tameng untuk berbuat semena-mena.
Seorang TNI yang seharusnya melindungi negara dan isinya, malah membuat rakyat ingin menjauh dari negeri sendiri.
Seorang pemuka agama yang justru mencabuli anak asuhnya.
Seorang wakil rakyat yang memeras pihak yang dia wakili.
Dan masih banyak lagi.
Homo laborans. Artinya Manusia (tertakdir) untuk bekerja.
Bukan pekerjaan (tertakdir) untuk manusia.
Pekerjaan seharusnya membuat seorang menusia menjadi mulia. Sungguh sangat disayangkan jika justru pekerjaan semakin merendahkan apalagi memakan manusia.
Salam sesama pekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun