Piso Surit adalah salah satu lagu asli asal Karo karya komponis nasional Djaga Sembiring Depari yang merupakan salah satu lagu daerah yang pernah popular dan eksis ditingkat nasional. Namun, dalam kesuksesan lagu dan syair Piso Surit itu, ternyata ada beberapa kekeliruan besar yang baik disengaja atau tidak yang kita temukan, dan, saya rasa perlu untuk diluruskan kembali. Berikut beberapa kekeliruan tentang piso surit:
1. Piso Surit adalah lagu tradisional dari daerah Aceh
Dalam beberapa tulisan, baik di buku pelajaran di sekolah(RPUL, geografi, kesenian, atau sejarah), majalah, dan media online, tidak jarang kita menemukan bacaan yang mengatakan kalau lagu Piso Surit adalah lagu tradisional asal Aceh. Memang, jika hanya didengar sepintas, logat(dialek) Karo sangatlah mirip dengan dialek-dialek yang ada di Aceh, dan, bahkan dikatakan 60% cakap(bahasa) Karo memiliki persamaan dengan bahasa Gayo dan Alas yang ada di Aceh. Namun, tidaklah baik jikalau hanya dengan mendengar sejenak tanpa mengidentifikasi lebih akurat, lantas kita memaku matikan sebuah hal dan kemudian disahkan melalui membangun opini publik baik melalui media maupun politik. Piso Surit adalah syair, lagu, serta drama tari yang berbahasakan Karo yang musiknya bernuansakan Karo dan dengan tarian tradisional Karo. Lagu dan syair piso surit sendiri merupakan karya seorang komponis nusantara asal Kuta(desa)Seberaya di dataran tinggi Karo, Sumatera Utara yang bernama: Djaga Sembiring Depari atau lebih sering dituliskan hanya dengan Djaga Depari.
Jadi, Piso Surit adalah lagu dan syair karya Djaga Depari dalam cakap(bahasa) Karo, dengan lagu yang bernuansa tradisional Karo dan dikemudian hari berkembang(dibuatkan) tariannya yang dikenal dengan tarian Piso Surit. Sehingga, dengan demikian, Piso Surit adalah asli dari Karo(Sumatera Utara), bukan dari Aceh!
2.Piso Surit adalah lagu Batak(dalam bahasa Batak; dalam dialek Karo)
Seperti yang telah saya jelaskan diatas, maka kembali saya pertegas kalau piso surit adalah asli dari Karo, baik komponisnya, lagunya, syairnya, maupun tariannya. Namun, ada juga beberapa orang yang berpendapat kalau piso surit adalah lagu Batak dalam dialek Karo. Banyak yang mengaku ahli bahasa(ahli tetapi perlu dipertanyakan kredibilitasnya) yang mengatakan kalau bahasa Batak itu terdiri dari beberapa dialek, yakni: dialek Karo, Toba, Simalungun(Timur), Pak-pak(Dairi), dan Mandailing. Benarkah hanya dialek? Saya rasa dalam hal ini perlu kita pertanyakan, mengingat cakap Karo sangatlah jauh bedanya baik arti kata maupun logat(dialeknya) dengan bahasa Batak(Simalungun, Toba, Mandailing), terkecuali Pak-pak(Dairi). Jika tidak percaya silahkan Anda belajar cakap Karo, Toba, Mandailing, Simalungun, dan Pak-pak(Dairi) atau setidaknya membandingkan kamus bahasa dari etnis-etnis yang disebut sebelumnya, kemudian cari berapa persamaan dan perbedaannya serta logat(dialeknya). Hehehe...
Kemudian, Djaga Depari yang merupakan komponis dari Piso Surit adalah putra Karo asli asal Kuta Seberaya, dari merga Sembiring dengan Sub-merga(cabang) Depari, sehingga ditulis Djaga Sembiring Depari. Jadi, tidaklah benar kalau Piso Surit adalah lagu Batak dalam dialek Karo, tetapi yang benar adalah, piso surit lagu asli Karo karya komponis Djaga Depari!
3.Piso Surit adalah senjata tradisional dari Sumatera Utara
Kembali jika kita membaca buku-buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial(IPS), terkhususnya mata pelajaran Geografi, maka tidak jarang kita menemukan pernyataan bahwa senjata asli asal Sumatera Utara, adalah Piso Surit! Dijelaskan, Piso Surit adalah senjata tradisional asal Sumatera Utara, khususnya dipakai oleh masyarakat di dataran tinggi Karo, berbentuk pisau panjang dengan gagang yang diukir sedemikian rupa. Namun, tahukah Anda jika piso surit yang dimaksud(senjata atau pisau) tersebut sebenarnya tidaklah pernah ada, dan itu hanyalah rekaan para penulis saja atau sebuah kekeliruan, mengingat kata awal piso yang jika diindonesiakan juga berarti pisau. Tetapi, dalam sejarah keberadaan masyarakat di dataran tinggi Karo, tidak pernahlah ada ditemukan piso surit dalam bentuk benda, dan ini merupakan sebuah kesalahan dan kekeliruan besar yang tidak tahu apa yang melatar belakangi kesalahan ini. Jika Anda tidak percaya, silahkan ke Taneh Karo(Deli-Serdang, Medan, Kab. Langkat, Kab. Karo, Binjai) dan tanyakan apakah pernah ada ditemukan piso surit dalam bentuk sebuah benda; atau tanyakan kepada pakar sejarah dan budaya Karo, apakah dalam sejarah keberadaan suku bangsa Karo pernah ditemukan piso surit sebuah senjata, maka Anda akan tercengang dan jika Anda dengar penjelasan sebenarnya akan tertawa terbahak-bahak! Hehehe…
Faktanya
Mungkin, bagi yang tidak mengetahui secara pasti akan menerima begitu saja, mengingat kata “piso = pisau” yang mengawalinya, akan tetapi bagi yang mengetahunya secara pasti mungkin akan tertawa terbahak-bahak dengan pernyataan itu.Piso Surit adalah salah satu lagu dari sekian banyak lagu, syair, serta tarian asal Karo. Lagu dan syair piso surit sendiri, merupakan karya komponis nusantara asal Seberaya, Taneh Karo, Sumatera Utara, bernama: Djaga Sembiring Depari.
Kata piso surit itu sendiri, sebenarnya jauhlah dari apa yang dikira(piso = pisau), karena sang komponis(Djaga Depari) sendiri, sebenarnya mengarang lagu yang bertemakan asmara muda/i Karo di zaman peperangan, ini menggambarkan seorang kekasih yang sedang mencurahkan isi hatinya(berbicara) kepada alam serta burung-burung yang hinggap di pepohonan tentang kekasih yang dinanti yang turun ke medan perang yang t’lah lama tak kunjung datang(pulang). Pit-cuit (cit-cuit) suara burung “pincala” yang memanggil-manggil digambarkan oleh Djaga Depari dengan kata piso surit sebagai seorang insan yang memanggil(menanti) dan meratapi kekasih. Berikut ini saya mencoba menuliskan kembali syair lagu piso surit serta terjemahanya dalam bahasa Indonesia.
Piso Surit, piso Surit
Syair/lagu: Djaga Depari
Piso Surit, piso Surit.
(Piso Surit, piso Surit).
Terdilo-dilo, terpingko-pingko
(Memanggil-manggil, meratapi!)
Lalap la jumpa ras atena ngena.
(Belum juga bertemu dengan kekasih hatinya)
I ja kel kena, tengahna gundari
(Dimana kah dikau, saat ini?)
Siang me enda turang atena wari.
(Hari hendak beranjak siang)
Entabeh naring mata kena tertunduh
(Nikmat kau rasa memejamkan mata)
Kami nimaisa turang tangis-teriluh.
(Kami yang menanti meneteskan air mata)
Reff:,,,,
Enggo-enggo me dagena
(Sudahlah, sudahlah demikian)
Mulihlah gelah kena
(Kembalilah dikau)
Bage me nindu rupa agi kakana.}2x
(Ku harapkan demikian kau berkata)
Tengah kesain, keri lengetna
(Di tegah beranda desa, sunyi senyap)
Rembang mekapal turang, sehkel bergehna.
(Embun yang tebal menambah dinginnya)
Terkuak manuk ibabo geligar
(Ayam berkokok diatas atap)
Enggo me selpat turang kite-kite kulepar.
(Terputuslah sudah titian penghubung)
Piso Surit, piso Surit.
(Piso Surit, piso Surit).
Terdilo-dilo, terpingko-pingko
(Memanggil-manggil, meratapi!)
Lalap la jumpa ras atena ngena.
(Belum juga bertemu dengan kekasih hatinya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H