Mohon tunggu...
Bastanta Permana Sembiring
Bastanta Permana Sembiring Mohon Tunggu... -

Mejuah-juah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tulisan (aksara) Karo

4 Februari 2012   13:10 Diperbarui: 4 April 2017   16:35 4392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar tahun 1918 muncul sebuah gerakan yang didorong atas ketertinggalan khususnya dibidang pendidikan “bangsa Karo” dengan bangsa-bangsa lainnya, yang juga menstimulus tumbuhnya perasaan pada penduduk asli(Karo) bahwa memiliki aksara sendiri adalah suatu tanda “bangsa” yang maju, maka di tahun 1922 atas usaha sendiri penduduk dataran tinggi Karo mendirikan sekolah dasar(volksscholen) karena sebelumnya(1917) sekolah-sekolah dibawah misi Belanda (Nederlansche Zendelinggenootschap) ditutup, selain itu atas prakarsa seorang pemimpin tradisional Karo dari Lingga, yakni sibayak Lingga, Pa Sendi yang sangat berperan dalam memajukan daerah dan rakyatnya sehingga atas prakrsanya mendorong berdiringya N. H. I. S. (Neutrale Hollandsche Islandsche School) di Kabanjahe, juga sekolah kerajinan tekstil(tenun) dan bengkel besi di Lingga, juga bank-bank koperasi rakyat desa(dorpbanken)untuk mendukung kemajuan di wilayahnya. Setahun kemudian(1923) pemerintah kolonial Belanda mendirikan H. I. S. (Hollandsche Inlandshce School).

Antara priode 1920’an – 1930’an di Karo, adat, bahasa, “aksara”, dan tradisi-tradisi daerah lainnya dianggap menjadi “kekayaan nasional”, namun sayang hal ini tidak berlangsung lama. Kemajuan ekonomi, transportasi, komunikasi, dan pendidikan di dataran tinggi Karo memicu gelombang migrasi baik dari Minang, Jawa,  Aceh, Deli-Serdang, Langkat, Tapanuli, dan derah nusantara lainnya yang pada akhirnya juga memicu percepatan moderenisasi, islamnisasi, dan kristenisasi yang menguatkan ketertarikan atas identitas-identitas baru, sehingga akibat kemajuan yang membentuk gaya hidup(salah satunya perpaduan golongan aristokrat dan adat yang oleh Geertz disebut golongan priyayi) , karakter, bahkan identitas baru( Karo terlebih semua yang dikaitka dengan kebatakan oleh masyarakat Melayu(melayu = ruang lingkup yang dipengaruhi oleh budaya islam yang dianggap lebih beradap) divonis identik dengan pemakan babi, kanibalisme, manusia yang biadap(verwilderde menschen), sehigga ada rasa malu dengan identitas aslinya), maka sekali lagi tradisi-tradisi adat Karo dipandang sebagai prodak “masyarakat(kebudayaan) dari masa kegelapan”(duitsternisfe der alloudheit), begitu juga “aksara” Karo!

Untuk tulisan selanjutnya yang berkaitan dengan aksara Karo atau jika Anda berminat belajar Tulisen(aksara) Karo! Silahkan kunjungi link berikut: Tulisen (aksara) Karo (full).

Mejuah-juah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun