masyarakat Indonesia, layaknya makan dan minum, bahkan menjadi komoditas utama dan target utama dalam menaikkan pajak untuk kas negara. Namun tampaknya sebatang rokok lebih penting daripada setangkai daun pohon. Padahal pohon menghasilkan buah yang kita asup dan oksigen yang kita hirup, suasana rileks nan rindang pun dihasilkan pohon secara gratis. Tetapi masyarakat lebih memilih rokok yang ditukar dengan uang dan dibuang secara lapang. Pelarangan rokok demi lestarinya lingkungan menyimbolkan antagonistik publik, "pembatasan kebutuhan masyarakat": Alam hijau memberikan kita rahmat tembakau untuk dinikmati, tetapi engkau melarang untuk kita nikmati agar alam tidak mati. Sungguh nista, bahwa ia yang memberi akan mati!
Rokok menjadi kebutuhan dasarDi masa kontemporer, krisis iklim bersama krisis energi dan fiskal menghantui benak manusia. Apakah sebatang rokok sepadan dengan seluruh umat dan alam di bumi ini? Ketakterbatasan kita dalam mengolah sumber daya alam menjadi kemabukan manusia, justru kemabukan itu menyandang keterbatasan. Dalam laporan Tobacco Atlas, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah perokok tertinggi, mendapati peringkat ketiga setelah negara India dan Republik Rakyat China. Sedangkan menurut data World of Statistics, Indonesia menempati urutan pertama dengan presentase 70,5 persen. Adapun hasil survei GATS atau Global Adult Tobacco Survey oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2021, terdapat 69 juta perokok di Indonesia. Jumlah perokok tersebut lebih besar dari total jumlah masyarakat Singapura dan Swiss, dua negara dengan lingkungan paling bersih. Masyarakat Indonesia sendiri lebih membutuhkan rokok daripada makanan dan minuman, sebab rokok dapat memberikan ketenangan sesaat ketika diri diterpa masalah, apalagi ditambah secangkir kopi. Rokok dan kopi dipandang sebagai dua teman di segala aktifitas, entah berkontemplasi, berdiskusi, hingga bekerja. Padahal kedua kombinasi itu kontras dan berbahaya, lebih berbahaya dari sebatang pena dan secarik kertas, lebih dari seorang wanita dan sebuah kekuasaan.
Untuk menghilangkan candu rokok, perlu kita tinjau lebih seksama. Mungkin para Freudian menganggap bahwa kebiasaan merokok merupakan akibat dari proses oral ketika masa balita, bagaimana kepuasaan dari aktifitas inti seorang anak bersumber dari mulut, entah aktifitas seperti menghisap, disusui ASI, belajar berbicara, dan sebagainya. Jika balita tidak terpenuhi akan kebutuhan oral, maka akan terjadi sebuah fiksasi. Artinya ketika balita tumbuh menjadi orang dewasa, ia akan memenuhi kebutuhan oral yang dulu tidak terpenuhi. Lantas bagaimana dengan rasa puas yang dihasilkan ketika menarik dan menghembuskan asap rokok saat kepala konyong? Itu akan bersambung kepada fase anal, satu tingkat fase setelah fase oral. Bagi masyarakat umum, kebiasaan merokok muncul dari lingkungan perokok, entah keluarga atau teman. Seseorang tidak akan tahu akan kurang atau tidak terpenuhinya kebutuhan oral, seperti merasakan dahaga atau ketidakgairahan sebuah mulut, bahkan ia tidak tahu ilmu yang disampaikan oleh gurunya Lacan dan Jung. Jadi lingkungan merupakan salah satu faktor utama, bagaimana lingkungan menjadi produksi dan konsumsi dari konstruksi jiwa dan raga manusia, mungkin Nietzsche akan berkata "sebab kehendak muncul".
Godaan dari teman sekolah, kolega kuliah, dan rekan kerja perokok merupakan sumber utama seseorang menjadi perokok. Belum lagi saat munculnya suasana jenuh dan bosan dalam waktu luang yang membuat diri ingin melakukan suatu hal, hanya untuk mengisi luang waktu. Vladimir Lenin menggunakan waktu luangnya untuk membaca, menulis, berpidato, dan menyebarkan pamflet partai bolshevik, Ozzy Osbourne menggunakan waktu luangnya untuk menghisap kokain sambil memikirkan ketenaran dirinya, barangkali Joe Biden pasti menggunakannya untuk makan es krim coklat sambil berbincang dengan gadis cilik, kemudian menyerahkan sisa tugasnya kepada Kamala Harris dan staff khusus. Bung Karno menyatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa ia lebih senang kepada pemuda yang merokok dan minum kopi sambil berdiskusi tentang bangsa, ketimbang pemuda kutu buku yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Konsumsi rokok dan kopi saat berdiskusi tentang bangsa sepertinya menjadi masalah. Pembakaran rokok menjadi polusi udara dan puntung rokok menumpuk menjadi gundukan sampah. Memang secara hermeneutics, pernyataan Bung Karno hadir di zaman dan kondisi yang berbeda dengan kita.
Pada pertengahan abad 20, kondisi lingkungan alam tidak separah sekarang, dimana muncul gelombang panas, penipisan atmosfer, pencemaran air laut, perubahan iklim, dan sebagainya. Apalagi dampak kapitalisme yang Erich Fromm sebut sebagai berhala modern, telah merenggut alam dari akar hingga ujung daun, dari tanah hingga udara. Rokok sendiri berisikan daun tembakau atau tobacco, yang pada awalnya digunakan oleh suku Maya untuk seremoni upacara relijius dan sakral.Â
Di tempat lain, kaum Indian menggunakannya untuk hal serupa serta pengobatan alternatif. Tembakau dibawa ke dataran Eropa oleh Chritopher Columbus saat ia menjelajahi dataran Amerika, mencari ilham diantara dilema Gold, Gospel, Glory. Apakah kaum Maya dan Indian pernah berpikir bahwa pembakaran tembakau dapat merusak lingkungan? Setiap aktifitas yang dilakukan manusia untuk manusia pasti memiliki dampak terhadap alam. Peternakan sapi menghasilkan emisi karbon, pembabatan hutan tembakau untuk tambak ikan menimbulkan abrasi pantai, perluasan lahan guna pembangunan sebuah negara turut memenggal banyak pohon berakibat erosi dan banjir, hingga buah-buahan importir yang diangkut menggunakan pesawat menyumbang emisi karbon pula, padahal buah tersebut ditujukan kepada masyarakat vegan.
Dewa Itzamn sudah menyampaikan risalahnya kepada suku Maya terkait problematika ini. Sebagai Dewa pencipta sekaligus penyembuh dan pembangkit dari kematian, ia menahbiskan suku Maya dengan daun tembakau sebagai simbol syukur dan ikhlas, transendensi atas tiga pilar. Pembakaran tembakau saat upacara ditujukan vertikal ke atas sebagaimana asap mengepul: Itzamn, Ix Chel, dan Ah Puch. Kemudian sembari mengepul ke atas, asap juga menebar ke sekitar secara horizontal: masyarakat Maya, dan kemudian abu dari hasil pembakaran tembakau jatuh vertikal ke bawah: tanah dan bumi. Asap tersebut mengajarkan tiga hal dari tiga pilar, sesuai dengan konsep Sustainable Development Goals atau SDGs. Tak heran jika asap menjadi zat sakral dalam Alkimia dan dunia perdukunan, shaman. Namun distribusi nilai dari penggunaan tembakau tidak dapat diterapkan seperti ritual Suku Maya, rokok sigaret modern memiliki filter berbahan asetat dari olahan kayu guna menyaring zat tar dan nikotin, berbeda dengan kretek. Walau filter rokok dapat diolah, proses tersebut membutuhkan satu dekade untuk terurai, jumlah waktu untuk dua pemilihan umum suatu negara. Jadi bagaimanapun juga, filter sigaret tetap menjadi salah satu sumber limbah di lingkungan masyarakat.
Produk apapun itu, terlepas dari perspektif Philip Morris tentang nilai tukar dan nilai guna, perspektif FDA tentang sehat atau tidak, dan perspektif MUI akan labelisasi halal atau haram, lingkungan alam harus dijaga dan dilestarikan, nature security. Alam semesta hadir didunia ini dan mengabdikan dirinya sebagai kebutuhan untuk sesuatu: entah manusia, binatang, makhluk ektraterestrial, atau sesuatu yang melampaui kita semua. Ketika alam hijau murka, kita tidak bisa mencari 1001 alasan dibalik sebatang rokok, kita tidak bisa bersembunyi dibalik asap rokok. Barang siapa yang beriman kepada alam, maka ia akan merasakan nikmat hidup lebih dari sebatang rokok, perjalanan hidup lebih dari setangkai daun dan makna hidup lebih dari sebait puisi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H