Mohon tunggu...
Maria Yollanda
Maria Yollanda Mohon Tunggu... -

a geek.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Nasionalisme Musiman

22 Juni 2014   05:16 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:51 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit bingung tulisan harus dimasukkan ke rubrik apa.

Catatan harian? Rasanya tidak pas. Politik? Bah, mana berani saya berpolitik. Jadi 'muda' sajalah, haha.

Nasionalisme Musiman. Judulnya mungkin tidak sedap didengar. Musiman? Memang buah?

Tapi makin mendekati pemilu, cuma ini yang selalu melintas di kepala setiap kali membaca komentar-komentar di artikel seputar Pencalonan Presiden.

Ke mana kita selama ini? Sudah bisa berbuat apa kita buat negara? Sudah mendapati temuan apa yang bisa bikin Indonesia bangga? sudah memberikan kontribusi apa, selain hujatan pada pemerintah dan kabinet yang kita nilai tidak berhasil?

Selama ini ke mana kita? selama tahun 2010-2013, coba lihat timeline kita. Apa yang kita lakukan? Dan sekarang, menjelang pemilu, mendadak semua jadi paling cinta Indonesia. Paling memikirkan bagaimana nasib bangsa kalau kubu yang menang bukanlah kubu yang kita dukung.

Kembali lagi ke judul saya. Nasionalisme musiman.

Rasanya miris aja, kalau pendukung salah satu kubu sudah mulai berapi-api dan menjelek-jelekkan kubu yang lain. Saling mengorek borok lawan, walaupun saya tidak yakin itu bisa disebut lawan. Bukankah keduanya, setidaknya menurut visi misi mereka, sama-sama berniat memperbaiki Indonesia?Terlepas dari apakah visi misi dan semua kata-kata yang keluar dari mulut mereka adalah jujur atau hanya pencitraan belaka, karena hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Ah, pencitraan. Kata yang dulu sama sekali tidak saya ketahui artinya, tapi sekarang selalu terdengar di mana-mana.

Presiden yang tertegun karena ditinggal pergi oleh menterinya sewaktu dia baru saja pulang dari luar negeri, kita tuduh cuma cari simpati. Si A turun langsung ke lapangan dan berinteraksi dengan rakyat, kita langsung panas dan bilang itu pencitraan. Si B ngomong berapi-api dan memberikan janjinya pada rakyat, kita tepis mentah-mentah karena kita yakin itu cuma janji manis di muka.

Wah, sombong sekali saya, menghakimi masyarakat seolah saya paling benar.

Apakah saya termasuk di antara manusia semacam itu? Saya akui, ya. Setidaknya sesekali.

Pada pemilu lalu, saya adalah satu dari masyarakat yang memilih SBY sebagai presiden.

Apakah saya menyesal sudah menggunakan suara saya pada pemilu lalu untuk pak SBY? well, daripada menyesal, mungkin lebih tepat dikatakan terkadang saya berandai-andai, bagaimana kira-kira Indonesia sekarang kalau saja waktu itu bukan Pak SBY yang menang.

Apakah saya menghujat kinerja pak SBY? Yah, terkadang saya suka gemas sendiri kalau respon Pak SBY yang emosional dalam menanggapi sesuatu seringkali mandeg pada tahap 'prihatin'. Saya suka miris pada ibu negara yang entah kenapa begitu berapi-api merespon komentar yang ditinggalkan orang-orang di instagramnya, walaupun kalau mau dilihat lebih jauh, tentu saja itu hak beliau, karena akun itu kan akun pribadinya.

Ah, saya melantur.

Mungkin kita apatis. Mungkin kita capek dengan semua angin surga yang dijanjikan pemerintah. Mungkin kita lelah menunggu orang yang benar-benar tulus ingin memperbaiki Indonesia. Mungkin, sikap kritis kita itu adalah bentuk nasionalisme kita, dan mungkin, sebenarnya bukan musiman juga, hanya saja selama ini memang dirasa lebih baik disimpan sendiri saja.

Jadi apa intinya sih tulisan ini?

Mungkin tidak ada inti apa-apa. Saya cuma capek saja melihat komentar saling menjatuhkan di setiap kolom tanggapan artikel seputar pemilu, yang terkadang terasa seperti anak SMP yang sedang tawuran via dunia maya. Dan mungkin, saya cuma takut, kalau fanatisme berlebihan ini malah akan membuat orang lain jadi apatis, dan memutuskan bahwa mungkin yang terbaik adalah tidak memilih siapapun.

Terlalu banyak kemungkinan dalam tulisan saya. Tapi bukankah hidup itu memang penuh kemungkinan?

*kemudian melipir*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun