Pendahuluan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sekitar 5 persen menjadi isu hangat. Indonesia ternyata mempunyai tingkat utang yang dianggap masih rendah, hanya sekitar 28 persen PDB. Ini digunakan pemerintah untuk menentang pendapat bahwa utang Indonesia telah terlalu banyak. Masalah aliran modal dalam tingkat internasional telah lama menjadi diskusi hangat diantara para ekonom. Teori ekonomi pembangunan menyatakan bahwa untuk pertumbuhan ekonomi, negara berkembang harus menabung lebih dulu sebelum membangun melalui investasi baru. Teori ini misalnya dianut oleh Harrod-Domar, Samuelson-Swan. Debraj Ray, ekonom asal India menulis, "bahwa pertumbuhan ekonomi negara berkembang adalah hasil dari kegiatan pengurangan konsumsi saat ini".Â
Samuelson-Swan menyatakan bahwa dalam situasi saat ini di dunia, intensitas modal negara maju telah tinggi, sehingga, imbal-balik atau rate of return investasi lebih rendah dibanding dengan bila dana itu diinvestasikan di negara berkembang. Ini sejalan dengan pemikiran yang mendukung teori aliran modal dari negara maju ke negara berkembang.
Tetapi Robert Lucas pada tahun 1990 mengungkapkan bahwa aliran modal dari negara maju ke negara berkembang ternyata kecil, dan malah terjadi aliran modal dari negara berkembang ke negara maju. Anehnya, justru negara berkembang yang mengekspor modal tumbuh lebih baik dibanding negara pengimpor modal. Ini menjadi satu paradoks. Ada ungkapan bahwa modal justru "going uphill", lawan prediksi Samuelson-Swan.
Demikianlah, banyak riset menelususi isu tersebut, dan kelompok Prasad et al, Â menemukan dari studi pada banyak negara bahwa umumnya tingkat pertumbuhan negara yang mengimpor modal dari negara maju tidak lebih baik dari negara yang tidak. Di sisi lain, Gourinchas et al menyebut bahwa modal bukannya pergi ke negara dengan pertumbuhan tinggi, malah pergi ke negara dengan pertumbuhan rendah. Situasi ini menjadi teka-teki alokasi (allocation puzzles) dari aliran modal. Ini menimbulkan keraguan pada tesis neoklasik tentang aliran modal global: akan mengalir dari negara maju yang telah padat modal dan dengan imbal balik rendah ke negara berkembang yang berpotensi imbal balik tinggi sebab intensitas modal masih rendah.
Bertentangan dengan teori di atas, Schumpeter menyatakan lain berdasarkan teori perbankan, yakni sistem kreasi moneter oleh bank komersil. Teori bank itu dia jadikan dasar sumber dana dalam anjurannya pada inovasi teknologi sebagai akar dari pertumbuhan ekonomi, tertulis dalam bukunya tahun 1911. Teori itu telah dinyatakan oleh ekonom Inggeris MacLeod tahun 1855. Tetapi ada teori lain, yang menyebut bank sebagai lembaga intermediasi. Konsep yang dianut Bank Indonesia. Tetapi teori lain muncul, teori bank dengan cadangan fraksional, fractioanal reserve, yang telah dinyatakan oleh Alfred Marshall, dikembangkan oleh Samuelson dari MIT. Konsep ini dianut oleh BI sebagaimana adanya ketentuan GWM (Giro Wajib Minimum) dalam perbankan Indonesia.
Utang dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
Dalam salah satu media massa, disebut tingkat bunga utang Indonesia 10,44 %. Dengan informasi itu, penulis menghitung berapa pembayaran cicilan utang dengan penyederhanaan asumsi. Tingkat utang adalah 28 persen menurut informasi pemerintah. Jangka waktu jatuh tempo penu
lis sebut 20 tahun. Hasil perhitungan penulis menyatakan bahwa besar cicilan akan sama dengan 4,3 % PDB. Â Tingkat bunga ini mungkin terlalu tinggi, sehingga penulis mengambil beberapa harga asumsi. Misalkan tingkat bunga adalah 8 %, maka cicilan utang menjadi 2,85 % PDB. Bila suku bunga adalah 5 %, cicilan menjadi 2,24 % PDB. Cicilan mengurangi tingkat pertumbuhan sebesar itu. Berarti sebenarnya, bila tidak ada cicilan utang, tingkat pertumbuhan lebih dari 7%. Artinya bila suku bunga pinjaman luar negeri, sebenarnya tanpa cicilan utang, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai 7,85%. Analog, bila bunga pinjaman saat ini adalah 5%, maka tingkat pertumbuhan adalah 7,24% tanpa bayar cicilan utang luar negeri. Ini sungguh perbedaan besar.
Lalu bagaimana ke depannya? Yang jelas, telah ada stock utang yang berasal dari era sebelumnya ataupun yang terbentuk pada zaman Pak Jokowi. Dalam hal ini, maka pemerintah tidak lagi mengambil utang baru, dan bayar cicilan yang telah jatuh tempo. Sumber dana dari mana? Gunakanlah dana yang telah tersedia di Bank Indonesia. Atau hasil valuta ekspor dibeli dalam rupiah, dan itu digunakan untuk membayar cicilan. Hendaknya pemerintah tidak melakukan Ponzi game. Pembangunan selanjutnya, ikutlah metode QE (quantitative easing) yang ditunakan oleh USA tahun 2019, dan juga telah digunakan Jepang tahun 1990-an, setelah krisis finansil Jepang tahun 1990.
Pada masa mendatang, kebutuhan investasi dalam berbagai sektor, seperti prasarana, gunakanlah skim Schumpeter. Teori perbankan yang menggunakan konsep bank sebagai lembaga intermediasi dan juga sebagai lembaga ikut prinsip fractional reserve, yang disebut sebagai GWM, hendaknya ditinggalkan, dan mengikuti bank sebagai pencipta uang dari ruang hampa (money creation from thin air). Konsep ini telah diakui secara tidak langsung oleh IMF, terbukti dengan diterbitkannya working paper tentang isu itu dari lembaga itu, tahun 2019. Bila menggunakan teori bank yang menganggap bank sebagai pencipta uang atau QE, maka Bank Indonesia harus ikut serta dan mengamankannya dari potensi gangguan dari kebijakan itu, sehingga inflasi tidak timbul, dan kestabilan moneter tetap dapat terjaga.
Sekian ulasan ini dengan maksud dapat memperbaiki kebijakan ekonomi Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H