Pembicaraan Awal Ekonomi Indonesia
Hari ini, tanggal 15 Juni 2017, Kompas menerbitkan hasil diskusi panel ekonomi yang membicarakan masalah pembangunan yang kekurangan dana. Salah satu yang diangkat ialah penerimaan pajak sangat kurang. Tax ratio ditengarai sekitar 10 %, dibanding dengan negara tetangga yang lebih tinggi sampai 60%. Di dalam sektor finansial, perbankan mendominasi asset hingga 90%, menunjukkan keadidayaan perbankan di Indonesia. Sistem pajak masih menempatkan pajak nilai tambah kurang berperan dibanding dengan pajak penghasilan. Satu tren baru di dunia ialah peningkatan jumlah negara yang memperluas penggunaan PPn atau VAT, setelah melihat kekurangan sistem PPh.Â
Negara-negara yang telah lebih dulu menerapkannya, seperti Perancis yang dapat dikatakan merupakan negara pelopor, menunjukkan penerimaan PPn lebih tinggi dari PPh. Namun apakah ada hal lain yang kiranya perlu memperoleh kajian lebih mendalam dalam sistem fiskal dan moneter secara umum? Tetapi isu besar saat ini di dunia ialah melihat adanya sumber penghasilan negara dari pencetakan uang, yang selama ini dinikmati oleh sistem perbankan komersil. Inilah yang terlihat juga oleh penulis dalam situasi ekonomi global, terjadinya peningkatan ketimpangan, baik dalam negeri tetapi juga dalam ruang lingkup global.
Perkembangan Baru
Setelah krisis besar tahun 2008, maka banyak kritikan ditujukan kepada sistem moneter yang secara implisit menyentuh sistem fiskal. Sebagai contoh, bank sentral mencetak yang kartal yang menikmati apa yang disebut sebagaiseigniorage,yang secara sumir dapat dikatakan sebagai selisih dari nilai nominal uang dengan biaya produksinya. Ini adalah pemerimaan negara, sehingga seharusnya merupakan bagian dari fiskal. Tetapi di Indonesia, situasi ini tidak secara jelas ditunjukkan dalam laporan Bank Indonesia.Â
Bila yang menikmati penerimaan tadi bukan lembaga negara, maka di sinilah terjadi distorsi besar, sebab bila menggunakan terminologi Maurice Allais, penerima hadiah Nobel ilmu ekonomi tahun 1988 dari Perancis, maka itu disebut sebagai le revenu non-gagne, artinya penghasilan yang tidak punya counterpart produksi atau pelayanan riil, sehingga sebenarnya adalah rente ekonomi. Dalam sistem perbankan yang berlaku sekarang sesuai dengan prinsip reserve ratio, yang menimbulkan adanya money mulriplier, maka sebagian besar dari yang namanya uang beredar, misalnya M2 berada dalam konteks ini.
Apa yang disebut fungsi intermediasi dari bank, pada hakekatnya tidak seluruhnya benar. Saat satu bank mulai beroperasi, ketika ada proses pemberian awal kredit, disitulah perlunya ada tabungan masyarakat yang harus ada dalam bank bersangkutan. Selanjutnya dari sifat money multiplier, kredit yang dapat diberi telah berlipat jumlahnya dari tabungan awal tadi, yang menjadi ada yang kita sebut deposito. Sehingga yang berlaku ialah bank melakukan penciptaan uang, yang tentunya tidak dalam bentuk yang dicetak oleh PERURI.Â
Dalam sistem lama, bank memberikan cek pada nasabahnya, yang berfungsi sebagai uang, dipakai sebagai alat pembayaran. Ini disebut juga sebagai inside money bagi bank, sedang uang yang dicetak BI melalui Peruri ialah outside money. Berarti dari jumlah uang beredar (M2) yang besarnya mendekati 4000 trilyun rupiah, maka sekitar 90 persen adalah merupakan inside money sistem perbankan, atau adalah uang ciptaan bank.
Dalam sistem moneter Inggeris, 97% dari uang beredar tidak lain dari inside money. Dan penerimaan berupa seigniorage di dalamnya menjadi milik perbankan, tanpa ada produksi yang dihasilkan sebelumnya sebagai lawan (counterproduction). Dalam sistem sekarang, di mana tidak lagi menggunakan cek, maka biaya pengadaan inside money tadi hanyalah biaya pengetikan bit komputer dan biaya orang pengetiknya, yang hampir tak berarti dibanding dengan besarnya jumlah uang beredar.Â
Dalam perkiraan kasar tadi, 90% dari 4000 trilyun rupiah adalah sebesar 3600 trilyun rupiah. Sesuai konteks pembicaraan tadi, maka sistem perbankan komersial telah menikmati rente ekonomi. Inilah yang setelah krisis finansial besar tahun 2008 mendapat kritikan tajam dari banyak pihak luar bank. Sudahpun bank memperoleh penghasilan seigniorage, bila ada kesalahan yang mereka buat baik sendiri maupun kolektif, mereka harus mendapat bail-out dari pajak rakyat yang tidak tau apa-apa. Ini adalah tuntutan keadilan, hak mencetak uang harus menjadi barang publik, seperti awal dalam sejarah kuno.
Dalam diskursus umum dunia pengamat moneter/perbankan sekarang, orang mempersoalkan agar hak pengadaan uang itu semua dikembalikan pada negara, sebagaimana dulu juga dalam negara-negara tua di Mesopotamia, Babilonia, Mesir Kuno. Beberapa negara dari era lebih dekat waktunya ialah dari Sparta dengan rajanya Lycurgus, kekaisaran Romawi dengan rajanya Numa, dinasti Song di China, semuanya mengalami zaman keemasan ekonomi dengan manggunakan sistem serupa, di mana negara mempunyai hak cetak pada uang, dan negara adalah yang menikmati seigniorage.Â
Bahan uang yang digunakan bukan mas, tetapi besi dalam kasus Lycurgus, dan bronze dalam kasus Numa. Ini dianggap sebagai fiat money. Â Pajak yang harus dibayar rakyat jadi menurun, terutama dari akibat kebutuhan uang beredar terkait pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan penduduk. Tidak kurang dari tokoh besar Mervyn King, mantan Gubernur Bank of England juga menyuarakan perlunya melakukan kaji ulang sistem pengadaan uang dalam negara modern. Kajian dari Inggeris menyatakan bahwa 73 % dari keuntungan bank adalah akibat dari penciptaan uang dalam bank komersil, bukan dari hasil kerja riil pelayanan.
Dengan sistem baru, di mana pengadaan uang seluruhnya berada di tangan negara, maka apa yang terjadi dengan bank komersil saat ini? Bank-bank itu tetap beroperasi seperti biasa, tetapi uang yang digunakan semua harus dari ciptaan pemerintah cq Bank Indonesia melalui Peruri bila itu uang kartal. Tetapi bila uang itu adalah dalam bentuk bit komputer, maka pengadaannya berada di tangan BI, yang tidak dibebani bunga.
 Uang ciptaan dari bank komersial saat ini telah terbebani bunga setiap dia diciptakan. Inilah yang memaksa bahwa ekonomi harus tumbuh agar dapat membiaya bunga bank tersebut. Itulah maka disebut sistem moneter kini telah terbebani bunga, berarti utang yang harus dilunasi melalui pertumbuhan ekonomi.Â
Dalam sistem uang yang dicetak negara, situasi tanpa bunga akan dapat menggiring ekonnomi pada situasi yang disebut steady state, inflasi nol. Bank komersil tidak lagi menikmati money multiplier, tidak ada uang lagi yang tidak didukung oleh cadangan, dan potensi krisis hilang akibat dari bank runs yang telah menghilang. Bank tidak dapat lagi meminjamkan uang yang tidak dimiliki, sama seperti orang per orang yang tidak dapat meminjamkan uang yang tidak dimilikinya.Â
Suara yang sama diungkapkan oleh Joseph Stiglitz. Sebenarnya para ekonom raksasa seperti Irving Fisher dari Yale University, Henry Simon dari Chicago University yang merupakan konseptor awal, Paul Douglas dari California University, Frank Graham dan Charles Whittlesley dari Princeton, Earl Hamilton of Duke, Willford King dari New York University, dan sebagainya. Mereka ini adalah tokoh-tokoh ekonom terbaik saat itu di AS, saat Depresi Besar tahun 1930.
 Dan mereka menyadari sepenuhnya apa yang mereka usulkan. Namun oleh kekuatan masyarakat tertentu, rencana yang disebut Chicago Plan saat itu tidak jadi diberlakukan. Tetapi sekarang, usaha itu makin mendapat dukungan, seperti di Inggeris, Swiss, Jerman,  Amerika Serikat, dan masih banyak lagi negara lain. Di Amerika Serikat, gerakan itu di bawah dorongan Stephen Zarlenga penulis buku The Lost Science of Money, yang menelusuri sejarah uang secara mendalam  sampai negara-negara tua yang disebut tadi.
Quantative Easing
Dalam menghadapi krisis finansial Amerika Serikat bank sentral negara itu The Fed menjalankan apa yang sekarang dikenal sebagai Quantitative Easing, disngkat QE yang pada intinya mencetak uang untuk menanggulangi krisis yang sudah mendekati situasi Depresi Besar tahun 1930. Sebagai akibat dari kebijakan yang dilakukan maka suku bunga bank sudah hampir mendekat nol persen. Kebijakan ini sebenarnya adalah menyerupai kebijakan Jepang yang terkena krisis ganda tahun 1990, properti dan saham. Kebjakan itu telah mampu mencegah situasi krisis menyerupai yang terjadi pada tahun 1930.
 Situasi ekonomi yang dihasilkan belum  mencapai hasil seperti diharapkan, berhubung likuiditas yang diperoleh disalurkan lagi pada lembaga finansial, dengan harapan akan mendorong masyarakat bisnis meningkatkan investasi, yang lalu menciptakan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru likuiditas digunakan baik untuk melunasi utang atau deleveraging atau digunakan untuk membeli aset sehingga terjadi pemulihan harga aset, tetapi bukan pemulihan ekonomi. Terjadi peningkatan nilai asset, tetapi tidak bukan penambahan aset riil, namun terjadi penambahan nilai asset finansial.
Dalam konteks ekonomi Indonesia, maka kebijakan yang ditawarkan ialah meniru pelaksanaan QE di Amerika Serikat, tetapi dengan target penggunaan jelas, yang merupakan kebutuhan vital negara saat ini, pembangunan prasarana. Tetapi bahwa kriteria ketepatan prasarana, lokasi, kapasitas, jenis, mutu yang tepat harus tetap dipenuhi, sesuai dengan kegiatan yang harus dilayani. Pembangunan prasarana yang tepat dari semua sisi di Indonesia akan segera dapat meningkatkan produksi nasional sehingga akan bersifat produktif secara ekonomi.
 Situasi tersebut  hendaknya bersifat transisi sampai kebijakan final berikutnya tercapai. Konsep yang digunakan berdasarkan pada situasi di mana dengan sistem perbankan sistem reserve fraksional, maka perbankan telah menikmati seigniorage yang dari sejarah merupakan hak negara. Sistem perbankan saat ini adalah apa yang disebut Maurice Allais sebagai sistem le revenu non gagne.Â
Sistem perbankan yang baru ialah bersifat full reserve banking, sehingga semua penghasilan perbankan diperoleh melalui pelayanan yang tepat, dan bukan dari penciptaan uang. Inilah yang menjadi keistimewaan luar biasa dari lembaga perbankan, tidak setara dengan sektor riil dan pelayanan lain dalam ekonomi. Inilah salah satu cikal bakal ketimpangan, tetapi juga krisis finansial yang kembali memicu ketimpangan. Pengalihan pendapatan bank komersial ke negara akan memperbaiki banyak hal dalam ekonomi dengan hasil kerja riil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H