Mohon tunggu...
Djamester A. Simarmata
Djamester A. Simarmata Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Otomatisasi dan Ketimpangan Ancam Ekonomi

20 April 2015   16:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Demi efisiensi, semua berlomba menggunakan perangkat otomatis, swasta dan pemerintah. Di pintu tol tertulis GTO atau gerbang tol otomatis; parkir menggunakan palang otomatis; bank-bank dilengkapi ATM, dan sebagainya. Otomatisasi tidak lain dari penggantian tenaga manusia oleh alat otomatis. TV menyuguhkan pertunjukan robot yang dapat meniru gerak manusia, dan orang terkagum-kagum, tanpa sadar atas potensi penghancurnya pada lapangan kerja manusia. Pendapat umum percaya bahwa robot hanya menggantikan pekerjaan kasar rutin. Ternyata pekerjaan otak pun direbut oleh AI dalam sistem komputer. Kemajuan teknologi komputer tidak saja mengancam tenaga kerja kerah biru tetapi juga kerah putih, tenaga terdidik-universitas. Kemajuan teknologi mengancam dunia kerja manusia.

Demikianlah kita sering mendengar istilah: robot, cetak 3-D, otomatisasi, e-banking, tele-surgery, AI atau artificial intelligence, dan sebagainya. Semua menyatakan hebatnya kemajuan teknologi yang berporos pada komputer. Kata kuncinya dalam ekonomi ialah efisiensi, yang dapat berarti biaya satuan rendah, mutu produk dan kecepatan serta akurasi tinggi, jumlah buruh sedikit, dan sebagainya. Membanggakan, tetapi mengandung bom waktu bagi ekonomi dan pekerja.

Orang melihat pekerjaan kreatif bidang fesyen telah dimasuki komputer yang memiliki paket program menyerupai CAD (computer aided design). Hal serupa berlangsung dalam rekayasa teknik yang dulunya adalah kerajaan tenaga ahli. Tekan tombol, desain yang diinginkan diperoleh, yang dapat direproduksi tanpa tambahan biaya berarti. Robot-robot terkini mampu melakukan pekerjaan pelayanan, seperti dalam rumah tangga, kantor-kantor, pabrik manufaktur dan sebagainya. Data penjualan robot tahun 2010 baru sejumlah sedikit di atas seratus ribu satuan, dan tahun 2014 diperkirakan melebihi dua ratus ribu satuan. Cetak 3-D sungguh mengagumkan, sebab akan dapat mencetak hingga organ-organ tubuh selain barang materi keras. Tendensinya meningkat pesat pada tahun-tahun mendatang.

Seorang penulis isu bahaya robot, Martin Ford, menyebut ancaman itu tidak lagi terlalu lama. Hal serupa disuarakan oleh dua pakar manajemen MIT, Brynjolfsson dan McAfee yang senada dengan Ford menyebut efek vital kemajuan teknologi pada dunia kerja, tetapi belum melihat dampak negatif besar seperti perkiraan Ford. Baru-baru ini peramal krisis finansil tahun 2008, Roubini, memberi perkiraan pesimistis, sebab dia berkata dapat memicu keruntuhan ekonomi (Rise of the Machines: Downfall of the Economy?). Pernyataan itu mengingatkan orang pada Karl Marx, yang meramalkan kehancuran sistem ekonomi kapitalis dari dalam. Tanpa menyebut ide Marx, Martin Ford menghendaki sistem ekonomi yang melayani manusia. Ford juga mengangkat isu vital proses otomatisasi-robotisasi berupa penurunan tingkat pendidikan pekerja yang dibutuhkan, deskilling. Sebab pelayan mesin otomatis tidak perlu keahlian sehingga mengurangi lapangan pekerjaan orang universiter. Sungguh berita buruk bagi dunia pendidikan tinggi pada umumnya.

Kemajuan Teknologi Membunuh Lapangan Pekerjaan.

Sampai batas tertentu peningkatkan efisiensi produksi bermanfaat bagi manusia, walaupun di dalam prosesnya dapat merugikan sekelompok pekerja. Demikianlah kemunculan televisi layar LCD, tenaga ahli tabung TV kehilangan pekerjaan. Analog setelah sistem EFI (electronic fuel injection) muncul, montir ahli karburator jadi penganggur. Dulu di Jakarta ada sekolah sekretaris terkenal, dengan permintaan tinggi, tetapi setelah penggunaan pengolah kata Word meluas jumlah kebutuhan sekretaris menurun. Efisiensi meningkat tetapi diikuti penurunan kebutuhan tenaga kerja terkait dan PHK tak terhindarkan. Ini adalah kemajuan yang menyengsarakan (impoverishing advancement).

Baru-baru ini, Jeff Cox wartawan CNBC menulis berita pengurangan cabang-cabang bank serta tenaga kerjanya, akibat penggunaan model Diebold bank yang akan serba elektronis dan e-banking. Sistem baru itu menyerupai ATM, dengan pelayanan jauh lebih luas. Inilah prospek baru perbankan, yang pasti masuk ke Indonesia, analog dengan ATM.

Ketimpangan Meningkat, Turunkan Pertumbuhan Ekonomi

Peningkatan efisiensi produksi turunkan biaya satuan, turunkan kebutuhan tenaga kerja, lalu tingkatkan keuntungan perusahaan. Mula-mula terjadi peningkatan penghasilan dan kekayaan pengusaha. Tetapi akan menurunkan penghasilan masyarakat non-pengusaha. Makin tinggi efisiensi akibat penggunaan semua teknologi otomatis terkait kemajuan komputer yang bersifat eksponensial sesuai hukum Moore, makin tinggi pengangguran. Penghasilan dan kekayaan makin terpusat pada pengusaha yang jumlahnya dapat mengecil, sedang penghasilan massa rakyat yang makin banyak justru mengecil, dengan akibat menurunkan permintaan terus menerus. Produksi makin sedikit terjual, perusahaan makin rugi sehingga kehancuran ekonomi seperti dinyatakan Roubini di atas tidak dapat terhindarkan.

Menurut penelitian Frey dan Osborne tahun 2013, 47 persen total pekerjaan di AS berisiko tergusur otomatisasi. Analog, lembaga think-tank Bruegel di Belgia tahun 2014 menyebut 51 persen pekerjaan di Jerman terancam oleh robot dalam 20 tahun, Romania 62 persen, Polandia, Bulgaria dan Yunani 56 persen. Perkiraan merisaukan sebab memicu pengangguran massal. Beberapa pengamat menyebut bahwa pemulihan ekonomi di berbagai negara tanpa daya serap tenaga kerja memadai diduga terkait otomatisasi.

Bagaimana dengan Indonesia? Ketimpangan meningkat sejak tahun 2004-2013, walaupun pertumbuhan ekonomi mendekati 6 persen. Apa yang salah? Ketimpangan dapat menjadi penyebab daya serap tenaga kerja rendah juga. Koefisien Gini penghasilan 0,41 sedang kekayaan 0,76 termasuk tinggi. Semoga Pak JKW ingat janji kampanye hilangkan ketimpangan. Merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun