Pilkada DKI akhirnya selesai. Kita semua bisa menarik nafas lega. Kalau kata teman saya, lumayan sekarang timeline lumayan bersih dari posting kampanye. Bersih dari kecap-mengecap pendukung masing-masing calon. Bersih dari main cari-cari keburukan lawan, mulai dari yang benaran sampai yang ‘konon kabarnya’. Sekarang kita bisa balik lagi ke berita penting yang tertutup berita Pilkada seperti Jupe yang lagi sakit atau Dahlan Iskan yang dapat vonis 2 tahun.
Seperti biasanya, berbagai macam pengamat, mulai dari kelas talkshow politik sampai kelas kedai kopi mulai berteori. Menurut teori yang paling umum, Ahok kalah karena ia adalah kombinasi dari Cina dan Kristen, entah salah satu atau dua-duanya. Ada yang bilang, Ahok kalah karena buzzer alias perusuh bayaran di dunia maya yang buat orang yang tadinya simpatik jadi malah sakit hati. Ada lagi yang bilang mesin politik PDI-P yang tidak jalan, sehingga suara wong cilik tidak mengalir pada calon dukungan Mega. Ada juga yang menghubungkan Pilkada ini dengan Pilpres 2019. Teori favorit, terutama di kalangan yang lebih tradisional, adalah gaya sang calon sendiri yang kelewat serampangan sehingga tidak cocok buat mereka yang mencari sosok yang santun dari seorang pemimpin.
Sejujurnya, saya sendiri mulai tidak yakin. Kalau saya mau bilang ini isu SARA, kok rasanya saya ikut-ikutan alur cerita sinetron yang senang jadi korban lawan yang lalim (lihat nama saya. Latar belakang penulis sama dengan yang anda bayangkan). Tapi kalau saya bilang bukan, itu seperti pura-pura lupa dengan posts yang buat penuh timeline saya berbulan-bulan. Belum lagi saya bisa ditimpukin sama teman dan keluarga saya.
Untunglah pekerjaan saya itu peneliti. Daripada capek main tebak-tebakan, saya mau tanya begini: pemilih no. 2 itu modelnya seperti apa? Apakah kalau kita tahu latar belakang seseorang, kita bisa tebak apa pilihan dia? Kalau anda mau tahu, lembaga survei dan konsultan politik juga menerapkan teknik yang sama. Bedanya, mereka bisa bayar orang untuk keliling cari data, kalau saya cuma dengan nongkrong depan komputer dua hari saja. Makanya bayaran mereka mahal, sementara saya malah berdoa mudah-mudahan ada yang baca tulisan ini.
Secara umum, ada tiga faktor yang akan saya uji: Tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, dan agama. Saya akan bandingkan setiap faktor dengan perolehan suara no.2 di putaran pertama dan kedua di tiap kelurahan. Tingkat pendidikan diukur dari banyaknya pemilik gelar sedikitnya diploma. Ekonomi diukur dengan dua cara: (1) banyaknya rumah tangga penerima bantuan sosial dan (2) jumlah pengangguran dan pekerja lepas. Terakhir, agama dilihat dari jumlah penduduk yang bukan muslim, semua digabung jadi satu. Data diambil dari KPU, Pemda DKI. dan BPS.
Isu pendidikan ternyata tidak begitu penting. Walaupun terkonsentrasi pada wilayah kelas menengah di barat dan selatan Jakarta, tidak ada pola khusus yang terlihat. Ada sedikit keberpihakan pada Ahok, tapi dari 144 kelurahan dengan tingkat pendidikan diatas rata-rata, Anies mendapatkan 109, jadi sekitar 75%. Hasilnya juga sama dengan kelurahan yang dibawah rata-rata, walaupun selisih menangnya cenderung lebih besar. Secara keseluruhan, kelurahan juga terbagi 75-25 untuk Anies, jadi tingkat pendidikan hanya mencerminkan pola umum. Pengecualian di sini untuk daerah Kebayoran Baru: Wilayah mulai dari Blok A sampai Semanggi solid memihak no. 2 (lihat Peta 1).
Apa pelajaran dari sini? Menurut saya ada dua. Pertama, jangan percaya kalau ada yang bilang pilkada ini bukan tentang agama. Sudah mulai ada yang coba menulis ulang rangkaian pilkada ini dengan menempatkan Ahok kalah karena kata-katanya yang kasar DAN hanya kebetulan bukan muslim. Jelas sekali ini omong kosong. Saya sudah buktikan pada anda kalau pemilihan ini didasarkan isu agama dengan isu kelas sebagai pemeran pendukung. Tentunya ada yang ingin melepaskan pemenang dari image sebagai gubernur 212. Terutama untuk merangkul kaum lawan untuk persiapan pemilu 2019 dan syukur-syukur buat masa jabatan kedua. Saya bilang ini sama dengan bermain dua kaki: Ada yang mau dapat seluruh manfaat dari gerakan pendukungnya tapi mau menyamakan diri dengan bapak kebhinekaan. Kalau bisa begitu, Hary Tanoe bisa jadi presiden Indonesia tahun 2019 dengan platform hukum syariah. Ada yang berani taruhan?