Mohon tunggu...
Paul Simanjuntak
Paul Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Kerjaan sih mikir angka, tapi doyannya politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Labschool Tanpa Arief Rahman, Apa Bisa?

31 Juli 2016   12:47 Diperbarui: 31 Juli 2016   13:00 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Awal minggu ini grup chat alumni SMA saya ribut karena suatu berita. Konon kabarnya, Prof. Dr. Arief Rachman, seorang tokoh yang telah membentuk Labschool selama 30 tahun terakhir, kini sudah tidak lagi menjadi bagian dari kepengurusan Labschool UNJ. Hal ini dikonfirmasi sendiri Arief Rachman dan pengurus sekolah.

Menurut Karnadi, kepala Badan Pengurus Sekolah (BPS) Labschool, dikeluarkannya Arief Rachman (AR) dan Prof. Conny Setiawan dari struktur pengurus sekolah adalah karena masalah administratif. Setelah tidak menjabat lagi sebagai kepala sekolah SMA Jakarta (yang disebut Karnadi sebagai Unit Pelaksana Sekolah), jabatan yang dilepasnya pada tahun 2001, AR mendapat jabatan sebagai Penasehat Labschool. Posisi inilah yang kemudian terjegal masalah administrasi. 

Seperti diakui Karnadi, bentuk pengelolaan sekolah secara resmi mengalami reorganisasi pada tahun 2015, sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk penataan perguruan tinggi. Sayangnya, bentuk organisasi baru ini tidak mengenal lagi posisi tetap Penasehat. Lebih lagi, usia Prof. Arief Rachman yang telah melewati batas pensiun tidak memungkinkannya memegang jabatan permanen. Akibatnya adalah keputusan BPS untuk menunjuk AR sebagai ‘narasumber’. Untuk lebih lanjut, silahkan lihat disini.

Tidak heran keputusan ini membuat geger orang-orang yang berhubungan dengan Labschool. Melalui grup-grup chat, surat pernyataan AR memicu berbagai komentar. Pada media sosial seperti Facebook dan Twitter bertebaran pernyataan yang, langsung ataupun tidak, bernada kecewa terhadap keputusan ini. Dua artikel dari Tempo, (1) dan (2), turut meramaikan suara pasar (jangan-jangan penulisnya juga alumni). Bahkan sebuah petisi melalui change.org telah diedarkan dan menuntut untuk dikembalikannya status AR.

Saya kira celoteh-celoteh siswa Labschool, yang sekarang dan yang lalu, sudah cukup gaduh dan pesannya sudah jelas. Sudah jelas juga bahwa perubahan ini tidak akan berjalan dengan mudah dan pengurus sekolah, dengan tidak menjelaskan dari awal keputusan sensitif ini secara dan malah membiarkan AR mengambil langkah pertama, sudah membuat blunder komunikasi. Pada saat yang sama, yayasan tidak dapat mengambil kebijakan yang melawan aturan, lepas dari adil atau tidaknya aturan itu. Untuk itu, yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah sebagai berikut: Kemanakah arah Labschool selepas AR?

Jika anda telah nyasar pada tulisan ini dan belum mengenal sosok AR (kok bisa?), silahkan lihat disini dan disini. Mudah-mudahan anda mengerti bahwa sosok ini sangat dekat dengan Labschool. Menjadi kepala sekolah pada unit percobaan IKIP Jakarta sejak tahun 1985, AR telah meletakkan di atas dasar kedisiplinan nilai-nilai yang membentuk sekolah Labschool. Berbagai program sekolah yang dirintis olehnya telah menjadi ciri khas sekolah dan kenangan yang mendalam bagi siswa-siswa. Lebih dari itu, sosok AR telah menjadi panduan bagi nilai dan arah perkembangan sekolah selama ini.

Lekatnya sosok AR dengan Labschool UNJ ini terbentuk dari proses yang panjang dan tidak mudah. Tidak hanya bahwa ia menjadi kepala sekolah SMA selama 26 tahun dan guru untuk masa yang lebih panjang, AR juga telah memperjuangkan hak bagi siswa Labschool. Menghadapi kebijakan Orde Baru yang mengontrol ketat pendidikan agama di sekolah, ia memperjuangkan hak siswa Muslim untuk menjalankan ajaran agama sesuai keinginannya. TIdak hanya itu, setiap orang di Labschool pernah tahu masalah-masalah yang harus dihadapi AR akibat tindakannya. Menghadapi perubahan zaman, AR tetap memandu arah Labschool.

Orde Baru beserta pemimpinnya kini sudah tiada. Prof. Arief Rachman, di sisi lain, masih tetap eksis di Labschool UNJ. Disinilah nasib kedua musuh lama ini berpisah jalan. Namun perhatikanlah kata pepatah: Siapa yang tidak belajar dari sejarah akan mengulangi kesalahan yang sama. Orba dipenuhi dengan berbagai lembaga yang amat bergantung dari sokongan Bapak Pembangunan. Contoh yang paling dekat buat saya adalah organisasi kepanduan nasional Pramuka. 

Sebagai organisasi pendidikan, Pramuka dimanfaatkan sebagai lembaga pembinaan kaum muda hingga ke tiap sekolah. Namun, berbeda dari kawan sejawatnya, Pramuka Indonesia masih terjebak dalam praktik lama dan kehilangan momentum. Tanyakan anak sekarang, berapa yang masih aktif ikut Pramuka?

Tentunya tidak semua kisah ini berakhir buruk. Mari kita lihat apa yang terjadi dengan Golongan Karya, kendaraan ‘non-politik’ Orba selama 32 tahun. Alih-alih ikut menjadi rongsokan yang hanya dapat menjajakan nostalgia seperti di negara lain, lembaga ini dapat membebaskan diri dari bayang-bayang Jenderal Besar dan menyulap diri menjadi sebuah kekuatan yang modern. Biar gonjang-ganjing tahun ini terus mengguncang Beringin, ia tetap menolak kecenderungan kultus individu dan partai keluarga seperti lawan-lawannya. Golkar telah dibawa oleh rekan seangkatan AR untuk menjadi sebuah lembaga yang mandiri, kuat, dan berakar.

Mungkin anda bertanya, bisa-bisanya saya menyarankan sekolah bermisi mulia seperti Labschool untuk belajar dari sarang penyamun seperti Pohon Beringin. Apa anak ini tidak pernah diajari tentang puluhan tahun orde kegelapan? Kalau didaftar satu buku saja tidak cukup. Lagipula selama ini sekolah berjalan dengan mulus. Namun ketahuilah, wahai pembaca, tim bola yang paling elit pun akhirnya belajar dari musuhnya secara terpaksa. Saya mengakui bahwa Labschool selama ini telah memiliki resep yang sangat manjur. Namun, seperti raksasa Barcelona belajar tiki-taka dari tim kecil Ajax agar bisa menang, Labschool harus mau juga belajar untuk berubah.

Seperti Golkar mampu mandiri dari sosok Jenderal Besar, kunci dari semua ini adalah kemauan Labschool, sebagai organisasi yang didukung oleh guru, siswa, dan karyawan, untuk melepaskan diri dari tuntunan tangan Arief Rachman. Alih-alih meninggalkan nilai-nilai yang menjadi ditanamkan selama ini, sekolah harus mampu membuktikan bahwa semangat itu telah kuat mengakar dan mampu untuk tumbuh sendiri, dengan atau tanpa bimbingan AR.

 Seperti pohon yang telah mantap tertanam dapat menumbuhkan cabang-cabang baru, jika memang visi dan misi sekolah benar telah mendarah daging, ia dapat mengakomodir tantangan baru tanpa lepas dari akarnya. Kegagalan Labschool untuk menjaga keutuhan nilainya pada akhirnya adalah kegagalan AR sendiri sebagai pendidik.

Terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa Arief Rachman, sebagaimanapun hebat kepemimpinannya, adalah produk dari zaman yang berbeda. Pada waktunya, ia melawan tirani negara di tengah masyarakat yang belum tercerahkan. Tirani pada era demokrasi ini berasal dari kuatnya arus tren publik. Bapak Pembangunan pun akhirnya jatuh karena ia tidak lagi tanggap pada kekuatan ini. Perhatikan bahwa ini tidak sama dengan menyangkal warisan AR, seperti yang terlalu sering terjadi di negara ini. Hanya perlu diingat, sebagai manusia, AR pun hanya memiliki kemampuan dan waktu yang terbatas. Bersyukurlah bahwa ia rela berhenti selagi kepala mendongak tinggi. Karena itu, hanya satu pertanyaan yang tersisa: mampukah Labschool menjadi murid yang mandiri?

Penulis adalah mantan siswa Labschool

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun