Mohon tunggu...
Paul Simanjuntak
Paul Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Kerjaan sih mikir angka, tapi doyannya politik

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apakah Benar Ekonomi Indonesia Hancur Setelah Jokowi Menjadi Presiden?

1 April 2015   05:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 9475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

31.3.2015

Kenaikan harga BBM untuk bulan April telah menyita perhatian publik. Kenaikan yang diumumkan secara resmi pada hari Sabtu (28.3) yang lalu dengan segera menjadi topik pembicaraan utama di berbagai saluran pada dunia maya. Kalau memang ini adalah strategi pengalihan isu dari pemerintah, maka hasilnya adalah sukses besar.

Pada saat yang sama, berkembanglah suatu isu baru di tengah masyarakat: Jokowi menghancurkan ekonomi Indonesia. Dimulai dari pelemahan (lagi) Rupiah terhadap Dollar AS (yang sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum Pemilu 2014), berkembang sentimen bahwa kehidupan sehari-hari benar-benar menjadi sesak setelah Jokowi menjadi presiden. Kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari menjelang kenaikan harga BBM memperkuat sentimen tersebut dalam bayangan masyarakat. Sebagai contoh:


  1. www.kaskus.co.id/thread/55161bc6138b463b6f8b456b/share-yuk-dampak-kelesuan-ekonomi-pada-kondisi-usaha-rl-agan-dan-sista-semua/ (link sudah mati sebenarnya, tapi menggambarkan
  2. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/03/28/nlx9t6-pemerintahan-jokowi-lebih-buruk-dari-soeharto
  3. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/27/222610026/Harga.BBM.Naik.Lagi.Pemerintah.Dinilai.Terapkan.Manajemen.Warkop

Terlepas dari jelas atau tidaknya pengamat kacangan kemarin sore, yang mengaku dari UGM tapi namanya tidak terdaftar (http://feb.ugm.ac.id/id/profil/dosen-dan-staf.html tidak memuat halaman Ichsadun Noorsy), kita tidak dapat memungkiri kalau memang tumbuh sarkasme sampai pada tahap yang pantas diliput oleh media nasional seperti di atas. Ditambah lagi demonstrasi histeris dari mahasiswa-mahasiswa yang tidak berpikir kritis, namun cukup menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu di beberapa pusat kota. Contoh:

Yang pantas menjadi pertanyaan sekarang adalah, benarkah bahwa ekonomi Indonesia jauh memburuk setelah Jokowi menjadi presiden? Menurut beberapa pihak (termasuk tukang jual obat seperti di atas), betul sekali. Sebagai contoh:

http://www.rtv.co.id/read/news/2571/rupiah-melemah-harga-elektronik-melambung

Link yang pertama (sebelum akhirnya dihapus), juga memuat puluhan komentar dari (orang yang mengaku dirinya) pengusaha yang usahanya menjadi lesu setelah pemilu. Banyak yang harus mengurangi pekerja, mengambil rugi, bahkan menutup usahanya. Jika memang benar adanya, maka kita harus menyimpulkan, Indonesia berada dalam kondisi gawat darurat dan fenomena 17 tahun yang lalu akan terulang kembali. Untuk memastikan ini, kita perlu melihat pola pada tingkat nasional.

Memang betul pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan. Seperti ditunjukkan dari grafik di bawah ini, pertumbuhanekonomi nasional melambat dari 6,2 % pada tahun 2012 menjadi 5,1 % pada tahun 2015. Dengan kata lain, ada beberapa ribu trilyun rupiah yang tidak berhasil didapatkan pada setahun terakhir.

[caption id="attachment_358508" align="aligncenter" width="397" caption="Pertumbuhan ekonomi Indonesia, sumber: worldbank.com"][/caption]

[caption id="attachment_358509" align="aligncenter" width="390" caption="Pertumbuhan ekonomi ASEAN, cokelat muda Malaysia, sumber: worldbank.com"]

14278388591096494214
14278388591096494214
[/caption]

Pada saat yang sama, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan di negara-negara ASEAN lainnya juga mengalami pola yang sama: perlambatan pertumbuhan sebesar kira-kira 1-1,5 %. Jadi ada faktor lain yang ikut bekerja. (Catatan: Bahwa Indonesia memulai dari posisi yang lebih rendah adalah sepenuhnya kesalahan sendiri, bukan kondisi umum). Jadi tidak benar kalau Presiden Jokowi menyebabkan secara langsung kelesuan ekonomi, namun kebetulan saja.

Tuduhan berikutnya adalah pelemahan Rupiah yang membuat importir, baik bahan konsumsi ataupun barang modal, menjadi kesulitan. Kenaikan harga Dollar ini membuat pedagang elektronik kesulitan, karena harga barang jualannya melonjak. Inilah perubahan harganya dalam setahun terakhir:

[caption id="attachment_358511" align="aligncenter" width="467" caption="Rupiah vs Dollar setahun terakhir, sumber:xe.com"]

1427838925323558238
1427838925323558238
[/caption]

Namun perhatikan dua grafik berikut. Pelemahan bukan hanya drasakan oleh Rupiah, namun juga oleh mata uang besar lainnya seperti Euro dan Dollar Australia. Seperti kasus sebelumya, pelemahan ini bukan merupakan anomali untuk Indonesia, namun merupakan kejadian global. Lebih lagi, kasus ini menunjukkan pendeknya ingatan publik Indonesia. Jika anda melihat lagi grafik Rupiah (dan melihat dalam 2 tahun ke belakang), tampaklah bahwa pelemahan sudah dimulai jauh di masa pemerintahan SBY. Kenapa tidak ada yang menyalahkan SBY?

[caption id="attachment_358519" align="aligncenter" width="467" caption="Dollar Australia vs Dollar AS, sumber:xe.com"]

1427839867743506598
1427839867743506598
[/caption]

[caption id="attachment_358520" align="aligncenter" width="467" caption="Euro vs Dollar AS, sumber:xe.com"]

14278399362109198429
14278399362109198429
[/caption]

Tuduhan lain yang sering dikeluarkan adalah bahwa harga bahan pokok naik gila-gilaan dan menjadi tidak terjangkau untuk sebagian besar orang, tidak hanya pada kenaikan yang ini, tapi sudah memanjang jauh sejak Jokowi dilantik. Contoh:

http://www.kaskus.co.id/post/551a91b498e31be16b8b456c#post551a91b498e31be16b8b456c

Kabar kenaikan sudah diketahui beberapa hari sebelum pengumuman resmi dan efeknya biasanya sudah dimulai lebih awal. Namun perlu dicermati bahwa kenaikan harga tidak seperti yang dilaporkan. Berikut data dari Kementrian Perdagangan untuk bulan Maret 2015:

[caption id="attachment_358521" align="aligncenter" width="600" caption="Bawang Maret 2015, sumber:kemendag.go.id"]

1427840009962977308
1427840009962977308
[/caption]

[caption id="attachment_358522" align="aligncenter" width="600" caption="Beras Maret 2015, sumber:kemendag.go.id"]

14278400701767453324
14278400701767453324
[/caption]

[caption id="attachment_358523" align="aligncenter" width="600" caption="Cabe Maret 2015, sumber:kemendag.go.id"]

14278401461336818568
14278401461336818568
[/caption]

[caption id="attachment_358524" align="aligncenter" width="600" caption="Telur Maret 2015, sumber:kemendag.go.id"]

1427840211731877084
1427840211731877084
[/caption]

Jika dilihat harga pada bulan Maret 2014 (setahun sebelumnya), telur, beras, dan cabe mengalami kenaikan sesuai laju inflasi. Yang berubah signifikan adalah bawang merah. Saya tidak bisa menjelaskan perubahan harga bawang (mungkin di Brebes sedang sering hujan), tapi yang saya mengerti, perubahan harga ‘gila-gilaan’ sejak Jokowi naik tidak dapat didukung oleh data. Yang menarik, harga-harga justru ‘menggila’ pada presiden sebelumya.

[caption id="attachment_358525" align="aligncenter" width="630" caption="Harga di masa SBY, sumber:bps.go.id"]

14278402602066327339
14278402602066327339
[/caption]

Apakah yang bisa kita tarik dari sini? Ada beberapa hal. Pertama, kita harus kritis terhadap opini yang beredar di berbagai saluran pendapat di sekitar kita. Jangan mudah terhasut oleh sesuatu yang belum tentu benar. Disinilah seharusnya mahasiswa mengambil peran yang aktif. Data-data yang saya gunakan tersedia gratis dari BPS, Kemendag, dan Bank Dunia. Mereka dapat ditemukan dengan sedikit ‘googling’, jadi kalau anda mengaku intelektual dan punya akses internet, tidak ada alasan untuk tidak riset sedikit sebelum beropini (termasuk pengamat kelas kambing macam Enny Sri Hartati). Musuh utama demokrasi adalah rakyat yang tidak membuka mata.

Kedua, kita harus sadar kalau Indonesia adalah bagian dari ekonomi dunia. Kejadian di satu tempat yang jauh seperti New York dapat mempengaruhi kehidupan kita. Jadi, jangalah seperti katak dalam tempurung yang dunianya terbatas oleh besar tempurungnya itu. Kalau memang sesuatu terjadi (baik atau tidak), kita harus sadar bahwa mungkin ada satu hal besar lain yang lebih besar terlibat di situ.

Terakhir, anda boleh percaya sama data yang saya kutip. Anda juga berhak untuk tidak percaya. Bukan urusan saya, seperti kata Jokowi. Yang penting, kalau anda yakin bahwa BPS dan Kemendag adalah tukang mengarang bebas yang tidak hidup dalam kenyataan, silahkan bawa data anda sendiri yang bisa dibuktikan didapatkan secara kredibel. Saya tunggu....he...he...he...

Update: Tulisan lanjutan tentang BBM vs harga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun