Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Anak Ber-IQ Tinggi Bukanlah Robot

6 Februari 2016   12:45 Diperbarui: 6 Februari 2016   13:09 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada suatu kejadian yang membuat saya tercengang oleh tindakan orang tua terhadap anaknya yang ber-IQ tinggi, dan ternyata sebagian guru-guru nya pun menyetujui tindakan orang tua nya, yang sedikit memaksakan si anak tersebut, salah satu tindakannya adalah bermain si anak dibatasi sekali, dan setiap hari harus belajar, mengarahkan jurusan kuliah si anak tersebut.

Orang tua anak tersebut sebenarnya sudah mengetahui bakatnya di bidang seni yaitu menggambar, tapi obsesi si orang tua terhadap anaknya adalah menjadi sebuah dokter yang notabene si anak sangat menentang pilihan itu, tapi si anak tau kebatasannya dalam menentang orang tua nya, sehingga dia menerima saja apa yang orang tuanya inginkan, dan disinilah terbukti bahwa orang tua adalah peran penting terhadap masa depan anaknya.

Anak mempunyai IQ di atas rata-rata, malah diperalat seperti robot, di suruh belajar terus menerus dan diharapkan bisa ikut olimpiade sains sehingga bisa membanggakan sekolahnya, apakah orang yang pintar dan berhasil dalam olimpiade sains hanya orang ber-IQ tinggi saja, bagaimana jika si anak tidak minat di bidang eksak dan malah lebih suka dibidang non eksakta.

Disinilah kita mesti memilah bahwa anak ber-IQ tinggi tidak hanya pintar di bidang eksakta, tapi dibidang-bidang non eksakta pun mungkin dia lebih pintar, dan jangan sampai kejadiannya seperti William James Sidis, seseorang ber-IQ tinggi yang mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan bisa menerjemahkan dengan cepat sekali, tetapi dia akhirnya berlari jauh dari kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain, dan akhirnya meninggal dalam keadaan menganggur, terasing dan amat miskin.

Kendala anak ber-IQ tinggi cenderung cepat bosan dengan sistem pendidikan yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah di indonesia, dan disitulah terkadang anak ber-IQ tinggi dibilang nakal karena suka mengabaikan guru yang sedang mengajar, dan disinilah terlihat bahwa si anak tidak mendapatkan apa yang dia inginkan atau malah si anak sudah menguasai semua yang dijelaskan guru-gurunya sehingga bosan, itulah yang membuat sulitnya mendidik anak ber-IQ tinggi.

Menurut saya anak ber-IQ tinggi semestinya dibebaskan memilih kemana arah hidupnya, walaupun tetap dalam pengawasan orang tuanya, peran orang tua juga mesti memperkenalkan semua bidang keilmuan di dunia ini, dimana si anak akan lebih leluasa memilih arah hidupnya kemana dan apa bidang kesukaannya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun