Mohon tunggu...
Simalango Sidihoni
Simalango Sidihoni Mohon Tunggu... -

samosir pangururan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Senja, Langit, dan Senyuman

3 Januari 2015   16:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:54 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya aku tertawa, pada lelucon tersedih yang pernah ada.
Kau pasti bercanda!
Mencampakkanku akan jadi dosa terbesar sejagad raya, versi otak seorang wanita.

Mungkin kita berbeda, sesuai takdir semesta. Siapa yang menciptakan kotak ini sejak mula?
Tidak lagi mencari cela, tidak pula mengukur dalamnya makna pada warna hazel bola mata.

Sejak kapan anda menjadi begitu perasa? Tidak pernah percaya pada gemini bermuka dua.
Mencari-cari bintang ke-enam pada cassiopeia, ada? Tidak, karena rasinya hanya akan ada lima.

Dimana akan ada cahaya abadi di dunia? Bersujudlah pada senja, lelahmu hanya akan percuma, mentari memang harus menghilang setelahnya.
Sejak suatu ketika terjadi ketetapan kata, redup sudah sinar ribuan kunang-kunang di taman hati yang kucipta.

Berakhir bagiku, berarti selamanya.
Mungkin ini karma. Tak apa, setidaknya bagiku pernah tersita segalanya.

Selamat datang selamat tinggal...

(Beberapa karya membuatku sulit bernafas dan berkata-kata, beberapa membuatku tak bisa tidur dan menerka-nerka, saat beberapa membuatku berkepribadian ganda.
Diva. Bodhi. Ester. Zahra. I love them. SO. MUCH. Dewi Lestari akan selalu menjadi salah seorang yang mampu menciptakan mozaik aneh dalam fantasiku. Aku sedih, bahagia, jatuh cinta, dalam satu kedipan mata. Kali ini aku banyak bicara, ini pribadiku yang mana?

Keping 40 - Aku membenci Storm, sekaligus mengutuknya. Terlalu terbuai dengan rasa bahagia, tidak ada yang abadi, aku baru menyadarinya. Rasanya ingin kembali pada kesederhanaan kasih dalam terjemahan Empret pada Etra)

asap rokok terbang melayang

terbang meroket merajut sebuah kematian

jika senja sudah tiba hingar bingar ibu kota pun mulai terasa

orang orang seolah berdiam menikmati secangkir kopi dan sebagian diantaranya ada yang masih bergelut melawan kejamnya senja yang tidak mau toleransi untuk berhenti sejenak demi mendapatkan seonggok beras untuk anak anaknya yang menunggu penuh harap di gubuk yang mereka bangun dengan cinta

bersambung..............!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun