Sejak eskalasi konflik antara Hamas dan Israel di wilayah Gaza menjelma menjadi tragedi kemanusiaan, seruan boikot dari konsumen dalam negeri terhadap produk atau merek yang terafiliasi dengan negara Israel semakin mengemuka.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Dalam fatwa tersebut, MUI mengimbau atau merekomendasikan masyarakat Muslim untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk pendukung Israel.
Fatwa MUI sejalan dengan fenomena gerakan sosial global bernama Boycott, Divestment, and Sanction (BDS) yang bermakna boikot, divestasi, dan sanksi yang muncul sejak 2005. Gerakan ini tidak hanya mengarah pada produk barang atau jasa, tetapi juga ranah budaya dengan tujuan menekan Israel dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Lambat laun, gerakan sosial BDS menyebar dan menarik simpati beragam pihak dari sejumlah negara. Pada konflik Israel-Palestina kali ini, para aktivis BDS dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, kembali menghidupkan kampanye aksi boikot melalui kanal-kanal media sosial.
Popularitas gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) pun makin meningkat tak cuma di Indonesia, tetapi di beberapa negara lain. BDS adalah gerakan boikot (penolakan) dari konsumen guna meyakinkan para pelaku perdagangan di seluruh dunia untuk berhenti menjual produk asal Israel.
Apakah gerakan boikot Israel di Indonesia berdampak signifikan pada situasi di Gaza?
Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) Indonesia, yang kini memiliki 2.592 pengikut di Instagram, turut mendorong aksi boikot tersebut dengan merilis daftar perusahaan-perusahaan mana saja yang menjadi target.
BDS Indonesia membagi daftar itu menjadi dua kategori: perusahaan yang menjadi target boikot utama dan perusahaan-perusahaan yang diberi tekanan sosial.
Pegiat dari BDS Indonesia, Giri Taufik, menjelaskan bahwa organisasi tersebut sudah berdiri sejak 2021 dan merupakan bagian dari gerakan global BDS yang diinisiasi oleh aktivis Palestina, Omar Barghouti.
Ia menyatakan bahwa tujuan utama dari gerakan boikot tersebut adalah memberi tekanan pada perusahaan-perusahaan yang ‘komplisit’ dalam serangan Israel terhadap Palestina.
"Strategi boikot itu untuk memberikan rasa akuntabilitas bahwa perusahaan-perusahaan ini bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Israel," ujar Giri kepada BBC News Indonesia.
PT Rekso Nasional Food, perusahaan induk McDonald's Indonesia - salah satu perusahaan yang masuk ke dalam daftar perusahaan BDS Indonesia - mengatakan bahwa mereka "sangat prihatin melihat eskalasi konflik baru-baru ini di Timur Tengah".
Meta Rostiawati, Associate Director of Communications McDonald's Indonesia juga menegaskan bahwa PT Rekso Nasional Food adalah perusahaan swasta nasional, yang dimiliki oleh pengusaha Indonesia dengan jumlah karyawan lebih dari 16.000 pekerja lokal.
“McDonald’s Indonesia merupakan entitas yang beroperasi secara independen dan tidak terafiliasi dengan kegiatan operasional maupun keputusan McDonald’s di negara lain, termasuk McDonald’s Israel,” tulis Meta dalam keterangan tertulis.
BBC News Indonesia telah menghubungi Nestle Indonesia lewat Direktur Corporate Affairs Nestle Indonesia Sufintri Rahayu, namun hingga berita ini diterbitkan, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.
Melansir dari The Jerusalem Post, Israel membantah bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka. Justru, mereka menyebutkan jika hal itu hanya akan "menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya."
Organisasi non-profit berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution, menyatakan bahwa gerakan BDS tidak akan secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel. Sebab, sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang "intermediet" atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.
Selain itu, sekitar 50% dari ekspor Israel adalah barang "diferensiasi" atau barang yang tidak dapat digantikan, seperti chip komputer khusus.
Namun, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang "intermediet" mengalami penurunan tajam dari 2014 hingga 2016 sehingga menimbulkan kerugian sekitar US$ 6 miliar atau sekitar Rp 94,16 triliun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H