Mohon tunggu...
Silvia Widyasari
Silvia Widyasari Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis apa saja dari dan untuk kemanusiaan, mencoba memanusiakan manusia, untuk mengembalikan jiwa dan nurani manusia-manusia yang terkadang lupa. Karena manusia hanya manusia, makhluk Tuhan yang selalu perlu diingatkan agar tidak lupa, terlupa, atau saling melupakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kota Lupa Jati Diri

19 Maret 2014   08:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:45 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Lupa Jati Diri

Mungkin seluruh kota sudah gila. Mungkin memang tak ada harapan lagi untuknya tetap bertahan di kota ini. Merana, wanita belum genap dua puluh taun yang tinggal di antara keramaian kota Beciba. Sebuah kota yang sekarang sedang marak masuk ke media massa. Mulai dari koran , televisi, sampai satelit internasional pun menangkap keganjilan yang terjadi di kota ini. Di berbagai situs jejaring sosial, perkara soal kota aneh ini sudah menjadi trending topic sejak setahun yang lalu.

Amnesia, salah satu nama gangguan mental yang sering terjadi karena adanya trauma pada lobus interior pada otak manusia normal. Gangguan yang menyebabkan si penderita lupa akan banyak hal dalam hidupnya, bahkan pada dirinya sendiri sekalipun.

“Aku siapa?”

“Aku siapa?”

“Aku siapa?”

Pertanyaan yang selalu dan selalu terdengar antar penduduk di kota itu. Mereka tidak peduli yang lainnya siapa. Mereka hanya peduli, “siapa mereka?”

Berbagai spekulasi digelundungkan dari otak-otak manusia yang tinggal di kota Beciba. Seluruh penduduknya mengalami penyakit yang sama, sehingga menarik perhatian banyak pendatang atau pelancong yang terhasut oleh rasa keingintahuannya. Terdorong kuat oleh rasa penasaran, akhirnya kota Becibe sring dipenuhi oleh turis lokal maupun internasional. Para peliput berita tak kunjung usai datang dan pergi untuk sekedar menyampaikan perkembangan yang terjadi di kota itu. Walaupun tiada harapan yang terkabulkan dari setiap doa yang terlontar untuk dikembalikannya ingatan semua warga Beciba, yang dipanjatkan oleh orang waras yang berasal dari kota lainnya. Tidak ada perkembangan.

Anehnya, hanya Merana yang ingat semua. Merana, gadis belum genap dua puluh tahun. Gadis satu-satunya yang tidak tertimpa penyakit aneh tersebut. Merana lah satu-satunya “juru kunci” yang menjadi tenar karena dikejar-kejar semua manusia normal, dari pencari berita, hingga pelancong penasaran belaka.

Sudah berpuluh dokter, profesor, hingga ilmuwan bertadangan tanpa diminta ke kota ini. Mereka tidak kunjung menemukan dasar penyebab terjadinya hal yang nyaris tak masuk akal ini. Kecuali Merana, ia tidak amnesia, berbeda dari jutaan manusia lain yang terlahir di kota besar ini. Merana diteliti sedemikian rupa, apa yang menyebabkan ia tetap normal. Tapi tetap tidak ditemukan perbedaan apa-apa antara Merana dan penduduk lainnya. Kecuali kesadaran diri yang ia tetap miliki.

Awalnya Merana amat menikmati kondisinya itu. Dia ingin sekali menjadi pemain film. Ia ingin masuk televisi dan koran, bahkan menjadi bahan pembicaraan seantero jagat raya. Keinginannya pun terkabul. Walau terkenal bukan karena dirinya.

Awalnya Merana menikmati ketenaran mendadaknya tersebut. Sangat. Namun berselang setengah tahun, dia mulai bosan dengan segala pertanyaan yang datang bertubi-tubi menimpa dirinya. Semua mata tertuju padanya. Semua tanda tanya datang padanya, mengetuk  pintu rumahnya tanpa permisi, menggedor jendela kamarnya tanpa tahu waktu, bahkan membisikinya dari setiap inci lubang di kamar tidurnya tanpa sadar diri. Dia jengah. Dia ingin pindah.

Namun seluruh orang seperti tampak sedang berkonspirasi. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang menerima kehadirannya di kota lain. Bahkan di desa lain. Atau bahkan hingga di pedalaman hutan sekalipun.

Pernah sekali ia mencoba melarikan diri ke dalam hutan, ia berlari sekencang-kencangnya menuju hutan rimba, dengan harapan ia akan aman sentosa, damai sejahtera, bebas mata-mata dan mulut-mulut kelaparan padanya. Namun seluruh isi hutan, tarzan, hingga manusia goa yang tinggal di pedalaman itu mengusirnya. Ia tidak diterima dimana-mana. Kecuali Beciba. Kota kelahirannya. Kota yang awalnya ia cintai, namun sekarang amat membuatnya gatal dan ingin mati.

Merana pun pernah mencoba ingin mati. Dengan segala bentuk kebosanannya terhadap rasa dikejar-kejar semua orang, namun tidak ada satupun dari mereka yang menanyakan tentang dirinya, melainkan menanyakan orang lain pada dirinya  tersebut, ia dengan berani memutuskan ingin mati. Tapi dunia sepertinya berkonspirasi menjaga Merana sebaik-baiknya. Ia bagai bayi yang masih merah. Ditimang-timang, disayang dan diperhatian sedemikian rupa. Dijaga keselamatannya dari segala ancaman besar dan kecil yang sekiranya dapat membahayakan dirinya. Sehingga segala usaha yang dia lakukan untuk bunuh diripun gagal.

Pernah suatu  hari, Merana mencoba menjatuhkan tubuh kurusnya dari atas gedung berlantai dua puluh tujuh. Sesampainya di bawah, bukan surga atau neraka yang ia temui. Atau bahkan sakaratul mautpun tidak ia rasakan. Ia membuka mata dengan aman. Tubuhnya terombang-ambing oleh terpal tebal yang besar. Menyelamatkan nyawa Merana terlepas dari raganya. Pernah juga Merana mencoba hendak bunuh diri dengan mengiris nadinya, namun ternyata pisau di rumahnya mendadak semua hilang. Padahal baru satu menit yang lalu masih ada di depan matanya. Tampaknya para makhluk halus ikut bersekongkol menjaga Merana dimanapun ia berada. Meranapun hanya mampu menangis awalnya.

Waktu terus bergulir. Bagai bola salju, semua hal aneh di kotanya itu semakin membuatnya aneh. Merana tidak aneh. Ia hanya gadis manis, pendiam dan lembut tutur kata serta perilakunya. Merana sedang mengemban pendidikan kelas teratas di sekolahnya. Sebentar lagi ia lulus, lalu akan menjadi seorang koki di luar kota. Itu cita-citanya. Merana ingin menjadi koki. Meracik berbagai bahan makanan untuk diramu jadi satu, menjadikannya olahan masakan yang menggetarkan lidah hingga ke jiwa. Alih-alih menjadi koki, Merana hanya menjadi sumur. Sumur yang ditimba airnya untuk dimanfaatkan orang lain. Yang terus digali hingga dalam, untuk mendapat kualitas air terjernih dan tanpa lumut atau tanah liat.

Merana yang tinggal di sebuah rumah sederhana bersama kedua orang tuanya, hanya mampu menangis setiap malamnya. Ia memiliki banyak tempat untuk bercerita, membagi semua keluh kesahnya. Merana memiliki semua manusia, bahkan makhluk di dunia fana ini untuk sekedar menumpahkan segala uneg-uneg yang mengganjal dalam sukmanya. Di dalam jiwa terdalam, ada batu besar mengganjal, tak terlepaskan. Karena tidak ada satupun dari makhluk-makhluk haus berita itu, benar-benar peduli padanya. Tangisannya tampak tidak diperdulikan. Karena tidak ada sangkut pautnya dengan keadaan kota amnesia yang aneh ini. Karena semua orang yang memperhatikan keselamatan dan kesehatannya hanya peduli pada perkembangan dari kotanya. Bukan pada Merana. Merana amat tertekan.

Dengan segala macam bentuk tuntutan, pertanyaan, dan desakan dari orang luar dirinya, dengan segala bentuk kekuatan mental yang ia tempa selama hampir setahun ini, Merana lambat-laun berubah. Merana mulai gila. Ia dengan wujud yang sama, masih manis dan tampak rapuh, perlahan berubah mengerikan. Perkataannya menjadi kasar. Seperti tidak pernah diajarkanetika atau tata krama selama sekolahnya terdahulu. Namun mungkin hal itu terjadi karena semenjak ia menjadi “presiden” dadakan di kotanya tersebut, ia berhenti sekolah. Walaupun ia masih ingin belajar. Masih ingin banyak belajar, namun dunia tak lagi sama. Dunia tidak mengizinkannya sekolah.

“Sialan betul manusia-manusia  haus berita itu!” Gerutu Merana.

Bukan sekali dua kali Merana menggerutu seperti itu. Itu salah satu ucapan kekecewaannya yang masih terhitung lembut. Kadang ia melontarkan gerutu-gerutu yang tak jelas juntrungannya. Tidak ada di kamus manapun kata kasarnya itu.

“Gobrok!”

“Kamprol!”

“Ngasu!”

Beberapa umpatan aneh dari bibir gadis manis bernama Merana tersebut.

Walau tampak kasar, namun sebenarnya Merana tertekan. Kekasarannya tersebut mungkin adalah titik tertinggi dari kebosanannya. Bentuk pemberontakan dari dalam dirinya. Rupa dari penat yang selama ini ia pendam dalam hati, hingga membuncah, mengubah gadis lugu yang lembut itu, menjadi sejenis makhkluk lain yang tidak bisa dimengerti perwujudannya. Diubah oleh sikap dan perkataan kasarnya.

Bagaimana tidak, setahun sudah berlalu. Kota Beciba masih dengan keadaan yang sama. Merana makin gila. Semua orang dari luar kota, baik turis maupun pencari berita, datang dan pergi merasa iba. Mereka datang membawa segala macam hal keduniawian. Mulai dari makanan enak, makanan mewah yang dahulu tidak pernah ia cicipi, mobil berharga sepuluh kali lipat dari harga rumahnya, bahkan emas permata pun banyak ia miliki. Tapi anehnya, ia tidak mengerti, untuk apa mereka memberikannya semua itu? Bila tidak  bisa ia manfaatkan untuk membeli kebebasannya?

Merana tidak mendapat restu dunia, untuk pindah rumah, ataupun untuk piknik ke belahan lain dunia. Ketika wujudnya terlihat keluar barang sejengkal dari tanah kelahirannya, maka dengan penuh kasih sayang dan perhatian, orang-orang akan dengan gesit mengantarkannya kembali ke rumahnya, ke kota tempat tinggalnya. Ia hanya diperbolehkan berkeliaran dengan bebas di sekitar kota yang berpenduduk lebih dari empat juta jiwa itu.

Harusnya kota besar dan megah itu tidak akan pernah membuatnya jengah. Harusnya kota megapolitan itu cukup menimang-nimangnya dengan berbagai media. Karena orang-orang amnesia di kota Beciba itu hanya hilang ingatan akan jati dirinya. Tidak amnesia untuk bekerja. Itulah mengapa kota Beciba terus tumbuh dan semakin tumbuh. Terkenal di dunia, menjadi pusat segala kota paling mutakhir oleh segala macam perkembangan pesat, serta keunikannya. Semua orang giat bekerja, tanpa ingat siapa jati dirinya. Dan tak ada yang bisa menyembuhkan hal itu. Tampaknya hanya Merana yang ingat bekerja, dan masih terpatri dengan lekat, jati dirinya. Namun dengan kondisi merana dan otak jengah hilang cinta dan arah.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun