Inovasi di dunia digital pada era Industri 5.0 terus berkembang tanpa henti, dengan berbagai teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), mengalami kemajuan yang sangat pesat. AI telah merevolusi cara kita bekerja, meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor. Namun, di balik pesona kecanggihan yang ditawarkan oleh teknologi ini, terdapat risiko yang sering diabaikan: manusia cenderung melupakan potensi dan perannya sebagai makhluk hidup yang cerdas. Banyak orang kini lebih mengandalkan AI daripada mengembangkan pemikiran dan kreativitas mereka sendiri.
Belakangan ini, penyimpangan dalam pemanfaatan AI semakin marak, seperti kasus penggunaan AI untuk pembuatan buku, penerapan AI dalam ujian masuk perguruan tinggi di salah satu universitas ternama di Indonesia, serta penggunaan teknologi deepfake untuk memanipulasi pidato pejabat penting. Namun, pada akhirnya, bukan teknologi yang harus disalahkan, manusialah yang perlu melakukan introspeksi atas kesalahan yang terjadi. Secangih-canggihnya AI, manusia bisa membuat keputusan sejauh mana ingin memanfaatkan AI tersebut. Kita yang memutuskan bagaimana menggunakan AI, apakah sebagai alat bantu untuk mendukung pemikiran kita atau sebagai jalan pintas untuk hal-hal yang seharusnya memerlukan usaha dan pemikiran mendalam.
Sebenarnya, penggunaan AI sah-sah saja untuk dilakukan, asal sesuai dengan etika dan moral penngunnaan teknologi. Kenyataannya, AI menjadi jalan keluar manusia yang malas dan tidak percaya pada kemampuan yang dimilikinya. Salah satu contoh nyata adalah ChatGPT, yang mampu menghasilkan teks copywriting yang terperinci dan terstruktur dalam hitungan detik. Proses yang biasanya membutuhkan waktu untuk berpikir dan menyusun kata-kata kini bisa diselesaikan secara instan. Namun, di sinilah letak dilema, apakah kita benar-benar menjadi lebih produktif, atau justru semakin bergantung pada AI hingga malas berpikir sendiri?
Ketergantungan berlebihan pada AI berpotensi membuat kita kehilangan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas yang seharusnya menjadi ciri khas manusia. Sentuhan manusia, yang melibatkan emosi, intuisi, dan pengalaman pribadi, tidak bisa direplikasi oleh mesin. AI mungkin bisa menyusun kata-kata dengan baik, tetapi tidak bisa memahami nuansa emosi atau konteks budaya yang mendalam. Manusia perlu mempertahankan peran aktif dalam setiap proses kreatif, bukan hanya menjadi pengguna pasif teknologi.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk menyadari bahwa meskipun AI menawarkan kemudahan dan efisiensi, peran manusia tetap tak tergantikan. Kita harus bijak dalam memanfaatkan teknologi ini agar tidak kehilangan jati diri dan kreativitas kita sebagai individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H