"Dhuh Gustiku, Hyang Widhi! Jadikanlah sumping hamba ini menjadi ikan bader abang asisik kencana. Jadikanlah, oh jadikanlah!"
Akhirnya, sumping Ki Ageng Sengguruh benar-benar berubah menjadi ikan bader merah bersisik emas. Lalu ikan itu dilepas di Kedung Gayaran.
Sesampainya di istana kadipaten, Ki Ageng Sengguruh menghadap Adipati Nila Suwarna dan melaporkan bahwa ia telah mengetahui keberadaan ikan bader bersisik emas itu.
"Tempatnya di Kedung Gayaran, Gusti Adipati!" lapor Ki Ageng Sengguruh.
"Mengapa Paman Patih tidak menyuruh para punggawa untuk menangkapnya dan membawanya kemari?" tanya Adipati Nila Suwarna dengan nada kecewa.
"Ampun, Gusti! Tidak ada satu orang pun yang berani mengambil ikan tersebut. Ikan itu dipercaya sebagai ikan peliharaan dewa. Oleh karena itu, Gusti Adipati sendirilah yang harus mengambilnya," jelas Ki Ageng Sengguruh.
"Baiklah. Jika memang itu yang harus aku lakukan. Antarkan aku kesana sekarang juga, Paman!"
"Sendiko dhawuh, Gusti!"
Mereka berdua, ditemani oleh beberapa prajurit pengawal, segera berangkat ke Kedung Gayaran. Sesampainya di sana, Adipati Nila Suwarna melihat ikan bader bersisik emas berenang dengan gesitnya di dalam kedung. Sisik emasnya memantulkan kemilau cahaya matahari.
Adipati Nila Suwarna merasa sangat senang. Dengan membawa jaring, Adipati Nila Suwarna bergegas masuk ke dalam kedung dan menangkap ikan itu sendiri. Ikan bader merah itu berenang dengan sangat cepat kesana kemari. Berkali-kali Adipati berusaha menjaringnya, namun ikan tersebut berhasil lolos.
Adipati Nila Suwarna merasa kelelahan dan akhirnya ia tidak dapat menggerakkan badannya. Ki Ageng Sengguruh memerintahkan para prajurit untuk menolong Adipati Nila Suwarna. Namun semua terlambat! Adipati Nila Suwarna tenggelam di dalam kedung dan meninggal dunia.