Berbicara cita-cita, dari saya kecil sampai sekarang sebesar ini cita-cita saya sudah banyak berubah-ubah. Waktu SD saya sangat ingin sekali menjadi seorang dokter. Dokter sepertinya cita-cita umum yang banyak diinginkan oleh anak seumuran saya saat itu. Ketika saya duduk di bangku SMP cita-cita saya berubah lagi, saya ingin sekali menjadi seorang sekretaris karena melihat di tv penampilan seorang sekretaris itu modis, cantik, keren sekali. Yang saya ingat ketika saya menceritakan keinginan saya menjadi sekretaris kepada Mama, Mama seperti tidak menyetujuinya. Tapi ia tak langsung menunjukkan ketidaksukaannya, Mama hanya memberitahu bagaimana "sekretaris" dari sisi yang ia tidak suka. Tadinya saya kekeh, tapi seiring berjalannya waktu saya mengerti dan cita-cita saya pun berubah. Begitupun saat saya sudah duduk di bangku SMA. Saya ingin sekali menjadi pengacara. Apalagi saya sering melihat di tv pengacara wanita yang di mata saya hebat adalah Elza Syarief. Beliau banyak sekali menangani kasus-kasus artis di Indonesia, ataupun kasus lainnya. Saya bangga melihatnya sebagai sosok wanita yang hebat, kompeten dengan jobnya. Mama sih setuju-setuju saja mengetahui cita-cita saya, tapi beliau dan kakak saya lebih suka saya memiliki cita-cita yang masih dalam jurusan IPA. Alasannya karena (1) dulu waktu Mama SMA, dia berhasil masuk SMA unggulan di Jakarta SMAN 14 Cililitan. Tapi ketika penjurusan ada hal yang benar-benar mendesak Mama untuk memilih jurusan IPS, padahal sebenarnya ia ingin sekali di jurusan IPA. (2) Kakak saya yang juga masuk SMA unggulan di Jakarta, SMAN 39 Cijantung, duduk di jurusan IPA dan lanjut kuliah di Universitas Indonesia Fakultas MIPA jurusan Fisika. Jadi dia juga ingin saya belajar IPA.
Memang waktu saya duduk di SMP dan SMA sampai kelas satu saya termasuk yang unggul dalam nilai Fisika. Itu juga kalau ada PR saya selalu minta diajarkan sama Kakak saya --sebelum kakak saya sibuk dengan pekerjaannya sekarang--. Tapi sebenarnya saya tidak berniat untuk berada di jurusan IPA. Akhirnya penjurusan pun tiba, sekolah juga menyarankan saya untuk mengambil jurusan IPA. Saya memang tidak cepat menghapal, saya juga tidak pandai hitung-hitungan, tapi nilai Matematika, Fisika, Kimia, Biologi saya jauh lebih tinggi daripada nilai Sosiologi, Sejarah, Kewarganegaraan. Itu yang semakin membuat saya harus duduk di jurusan IPA.
Pertama saya duduk di kelas 2 IPA2 ada hal yang membuat saya kerasan di kelas ini. Pernah waktu itu ada PR Fisika satu nomor, sekarang saya lupa tentang apa. Guru Fisika saya menyuruh mengerjakannya terlebih dahulu, melihat contoh. Karena saya sama sekali tidak mengerti walaupun sudah banyak coretan hitungan saya di kertas, tetap saya tidak bisa menyelesaikannya, akhirnya saya minta bantuan Kakak saya, dengan lancarnya dia mengerjakan soal itu meskipun terkadang mengalami kesulitan. Esok harinya saya bangga sekali membawa PR saya, ternyata teman-teman yang lain juga tidak bisa menyelasikannya, bahkan ketika guru saya membahasnya dia juga sedikit bingung, bukan karena beliau tidak kompeten dalam bidangnya, bahkan menurut saya beliau guru yang sangat pintar, mungkin soal ini saja yang membingungkan. Lalu saya memberitahukan saya sudah mengerjakan soal itu dibantu kakak saya, guru saya pun membacanya, dan menyuruh saya menyalinnya ke papan tulis. Beliau memiliki hati yang lapang sekali, menerima kalau saya muridnya bisa mengerjakan soal itu --tentunya dengan bantuan kakak saya--. Saya kagum dengan guru saya itu, Ibu Puji namanya. Lalu ketika pengambilan Rapor saya mendapatkan bingkisan dari guru saya Ibu Puji, berupa sebuah file atau yang juga sering disebut binder. Selain saya yang mendapat bingkisan itu ada lagi teman saya yang peringkat satu dan dua di kelas, saya di kelas hanya mendapat peringkat sepuluh besar.
Ketidak-niatan saya dengan jurusan IPA mempengaruhi nilai saya. Dari kelas 2 sampai kelas 3 nilai yang unggul adalah Bahasa Inggris, Bahasa Perancis, Bahasa Indonesia, dan nilai TIK (Ilmu Komputer)Â daripada nilai IPA saya. Karena saya tidak menyukai IPA, saya melampiaskan kesungguhan saya dalam pelajaran kebahasaan saya. Padahal dari kelas 2 sampai 3 saya sudah ikut bimbingan belajar di luar sekolah.
UN tiba, saya menghadapi dengan penuh keberanian meskipun tidak mantab hati. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris lancar, ketika jawaban Bahasa Inggris saya diperiksa, seharusnya Bahasa Inggris saya hanya salah dua. Tapi tidak dengan Fisika saya. Saya sama sekali tidak bisa mengerjakan hanya 4 soal yang saya yakin benar. Sisanya saya "lempar penghapus", teman-teman saya juga banyak yang menangis karena tidak bisa, tapi saya hanya bingung harus bersikap apa, saya hanya fokus dengan UN saya yang lain.
Pengumuman kelulusan tiba, sekolah saya dinyatakan LULUS 100%. Setidaknya kekhawatiran saya berkurang, tak peduli berapa pun nilai saya. Ternyata benar, nilai Fisika saya sama dengan nilai standar kelulusan yaitu 4,25 nyaris tidak lulus. Tapi nilai Bahasa Inggris saya yang tidak sesuai yang diperkirakan 9,-- ternyata hanya mendapat 7,70. Ada yang bilang nilainya dikatrol. Baguslah, setidaknya saya lulus. :D
UMB tiba kakak saya menyuruh saya mengambil jurusan IPA Geografi, Biologi, dan Sastra Indonesia. Kali ini Sastra menjadi pertimbangan karena melihat nilai Bahasa saya waktu SMA bagus. Tapi semua pilihan di UI, saya yang sudah tidak semangat belajar. Akhirnya tidak diterima. Akhirnya saat SNMPTN dengan sisa semangat belajar, saya diterima di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Saya mulai memikirkan cita-cita.
Bertemu dengan dosen-dosen. Ada seorang dosen yang membuat hati saya kepincut ingin menjadi dirinya, Elvi Susanti namanya. Ketika mengajar beliau sering membagi pengalaman dirinya yang menjadi wartawan kepada mahasiswanya. Saya kagum dengan ceritanya, apalagi ketika saya ke rumahnya, beliau menunjukkan foto-fotonya ketika ia menjadi seorang wartawan. Hati saya berkata "keren". Apalagi dengan beliau menjadi wartawan, ia bertemu dengan belahan jiwanya yang kini menjadi suaminya, Budi Putra. Ibu Elvi juga banyak menceritakan pertemuan Ibu dan Bapak. Ouuuh So sweet pokoknya. Cita-cita saya pun kembali. Yah, menjadi seorang wartawan seperti Ibu Elvi, lalu menjadi seorang dosen. Kali ini Mama dan Kakak saya mengikuti apa mau saya.