Mohon tunggu...
Silvia Rahmelia
Silvia Rahmelia Mohon Tunggu... Dosen - Silvia

part of Pancasila and Civic Education

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Serentak? Siapkah Kita? Mampukah Kita?

14 Desember 2015   17:09 Diperbarui: 14 Desember 2015   17:34 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan yang ideal akan tercapai melalui Demokrasi. Tak ada jalan lain daripada yang memungkinkan setiap manusia menggunakan hak-haknya.” (Pramoedya Ananta Toer)

Kredo sederhana dari Pramoedya mengingatkan kita pada hakikat sebagai negara demokrasi, yang harus memberikan hak sepenuhnya pada rakyat untuk memilih untuk menciptakan sebuah perkembangan yang ideal. Pemilihan kepada daerah serentak pada 9 Desember mendatang adalah ajang terbesar yang akan digelar Indonesia. Meski pilkada belum sepenuhnya digelar serentak di seluruh wilayah di tanah air, namun berdasarkan data yang dilansir Komisi Pemilihan Umum, jumlah taksiran telah merepresentasikan bahwa pemilih melampaui angka 50% dari jumlah daftar pemilih yang telah memberikan hak suaranya pada Pemilihan Presiden 2014 lalu. Jumlah 269 daerah yang menggelar pilkada pun telah melebihi 50% dari total 514 daerah di Indonesia. Demikian alasan mengapa pilkada serentak ini bisa dikatakan sebagai hajat besar di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tidak hanya itu, pilkada serentak sekaligus menjadi sejarah baru dalam sistem demokrasi Indonesia.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, pada Pasal 3 ayat (1) diuraikan bahwa pemilihan akan diadakan setiap lima tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pilkada serentak pada periode pertama akan dilaksanakan pada Desember mendatang, untuk pemilihan 269 kepala dan wakil kepala daerah yang meliputi 9 pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 224 pemilihan bupati dan wakil bupati, serta 36 pemilihan walikota dan wakil walikota. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, pilkada serentak dilakukan bertahap. Yakni tahap pertama pada 9 Desember 2015, tahap kedua Februari 2017, tahap ketiga pada Juni 2018, tahap keempat tahun 2020, tahap kelima tahun 2022, dan tahap kelima tahun 2023. "Jika semua tahapan itu berjalan tanpa hambatan dan sesuai rencana, Pilkada serentak secara nasional baru bisa dilaksanakan pada tahun 2027," ujar Husni Kamil Malik (Ketua Komisi Pemilihan Umum).

Kontestasi politik pada pilkada di penghujung 2015 ini tidak sedikit menghadirkan polemik di tengah masyarakat. Perseteruan dan sabotase marak terjadi antar para pendukung kandidat. Perusakan kendaraan, sabotase saat kampanye, hingga beredarnya uang palsu menjelang kampanye di Jambi mewarnai hajat politik kali ini. Ditambah lagi dengan kegamangan Mahkamah Konstitusi saat  memutuskan pemilihan dengan mekanisme “setuju” dan “tidak setuju” pada pasangan calon tunggal.

Sebagaimana kita ketahui pasangan calon tunggal di beberapa daerah yang akan menggelar pilkada sempat menjadi polemik karena mekanisme pemilihan yang dianggap tidak mencerminkan demokrasi yang utuh. Hakim MK memiliki pertimbangan bahwa mekanisme demikian lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan pasangan calon menang secara aklamasi tanpa meminta pendapat rakyat ketika pasangan calon tidak memiliki pesaing. Penekanan terhadap sifat 'demokratis' ini menjadi substansial karena merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.

Pilkada dalam Bingkai Pendidikan Politik

Pada hakikatnya pendidikan politik lahir dari kekhawatiran akan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan situasi politik yang berjalan. Sikap apatis terhadap politik membuat masyarakat kurang mampu membentuk persepsi dan membuat keputusan politik. Pendidikan politik lahir sebagai sarana untuk membentuk warga negara yang sadar dan bertanggung jawab terhadap situasi politik dan pemerintahan yang berjalan. Pendidikan politik juga bertujuan membentuk pola tingkah laku seseorang agar sesuai dengan tujuan politik yang diharapkan. Partisipasi politik yang bertanggung jawab merupakan tujuan akhir dari pendidikan politik. Disamping itu tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan politik juga menjadi luaran dari pendidikan politik di suatu negara.

Mencermati pilkada yang akan digelar beberapa pekan ke depan, rasanya erat kaitannya dengan pendidikan politik. Dikatakan demikian karena pilkada ini dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Menjadi perwujudan sistem demokrasi yang selama ini diagung-agungkan Indonesia. Menjadi alat sosialisasi politik demi meraup simpati masyarakat. Meski masih terkesan ‘cacat’ dikarenakan beberapa persoalan yang dianggap clear dan disepakati bersama, mau tidak mau pilkada akan tetap digelar.

Pertanggung jawaban politis sebagai warga negara bisa dimanifestasikan dengan keikutsertaan dalam pilkada. Sebab pada hakikatnya pilkada dalam bingkai pendidikan politik berbicara tentang bagaimana menghasilkan keputusan politis yang efektif, produktif, dan intuitif. Pertama, efektif  ketika membuat keputusan untuk memilih calon kepala daerah yang kredibel dalam problem solving, tidak hanya lip service belaka saat kampanye, memiliki visi misi, strategi politik yang cerdas, serta melaju pada koridor tujuan bersama yang dicita-citakan. Kedua, produktif dalam pengambilan keputusan. berorientasi pada perubahan positif, menghasilkan kebijakan yang bertujuan untuk kemaslahatan umat. Ketiga, intuitif berarti berdasarkan intuisi atau gerak hati nurani. Hal ini lebih cenderung smooth dan mengedepankan nilai-nilai transedental sebagai sesuatu yang abstrak. Bagaimana pemilih dapat menggerakan hati nuraninya untuk memilih pemimpin yang negarawan, pemimpin yang memiliki segenap kepentingan untuk rakyatnya. Karena biasanya hati nurani tidak dapat dibohongi. Sebesar apapun kekuatan politik yang ‘kotor’ mengaliri pikiran, namun jika dapat berpikir jernih dengan hati nurani, maka politik yang  carut marut sesungguhnya dapat menemukan jalan keluar berupa prinsip ideologis dan religius.

Bagaimana berjalannya pilkada serentak ini adalah cerminan seberapa dewasa kita menyikapi sistem demokrasi yang kita miliki, tidak ada upaya lain untuk membuat negeri ini lebih baik, selain bekerjasama membenahi segala sistem yang ada. Semoga setiap calon dan para pendukung dapat menunjukan sikap ksatria dalam pilkada, pelaksana dapat menjadikan pilkada serentak ini bersih dan sukses, serta masyarakat dan media yang harus tetap memberikan social control mengawal pilkada ini agar berjalan baik, sesuai dengan konstitusi. Sekalipun sulit kita bisa bersikap optimis untuk menyukseskan pilkada serentak ini sebagai pondasi demokrasi negeri ini. Mari bersama memperbaiki negeri ini dengan memilih pemimpin terbaik.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun