Sadari betul bahwa sebagai manusia kita terlahir tanpa kebermilikan apa-apa. Setiap tahapan kehidupan kita jalani dengan kemurahan hati-Nya dan kesungguhan proses yang kita jalani. Â Adapun hasil yang kita raih dan dapatkan adalah suatu bentuk pengabulan doa yang dipanjatkan oleh kita dan orang-orang di sekeliling kita, termasuk orang tua.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kenikmatan yang kita rasakan hari ini berasal dari jerih payah banyak orang, yang terkadang tidak bisa kita sebutkan satu-persatu jasanya. Maka menjadi sombong dan angkuh adalah sifat yang paling tercela. Karena dari awal kehidupan kita di dunia, sejak dilahirkan, kita tidak membawa apa-apa. Bahkan ketika meninggalkan dunia ini kita tetap tidak membawa apa-apa selain amal baik kita selama di dunia.
Lalu dengan cara apa, kita sebagai manusia dapat senantiasa beribadah dengan konsisten dan qanaah?
Ibadah yang fluktuatif pada diri seorang manusia dapat dianggap sebagai suatu kewajaran. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dengan akal dan nafsu yang dapat membawanya pada puncak kebenaran dan sewaktu-waktu membawanya pada lembah kesalahan. Manusia bukanlah nabi, yang diciptakan dengan segala kesempurnaan. Kesalahan pada diri manusia justru dapat membawanya semakin dekat pada Sang Pencipta dalam meraih puncak kebenaran.
Disamping ibadah wajib rukun islam dan rukun iman, sebagai seorang muslim kita diwajibkan untuk senantiasa bersyukur sebagai bentuk ibadah yang tidak pernah putus. Dengan cara bersyukur Allah SWT akan menambah nikmat kita. Sebaliknya, jika kita kurang bersyukur, maka Allah SWT akan mencabut nikmat kita. Naudzubillah.
Bisa kita bayangkan jika sebagai seorang manusia yang utuh, nikmat kita untuk bernapas dicabut oleh-Nya. Lalu bagaimana dengan nikmat sehat dan nikmat yang tak terhitung lainnya. "Jika kau menghitung nikmat-Ku, maka sesungguhnya kau tidak dapat menghitungnya".
Pagi ini, dengan segala kenikmatan yang telah Allah SWT berikan, saya diingatkan oleh kejadian kecil.
***
Laki-laki dengan seragam putih abu itu adalah anak kedua dari pasangan suami istri yang tak lain adalah tetangga depan rumah saya. Mereka dikaruniai 4 orang anak, tiga lainnya adalah anak perempuan. Pagi tadi teriakkan pertengkaran antara anak dan ibu itu cukup membuat hati saya serasa ditampar.
Awalnya anak laki-laki itu telah siap dengan seragam sekolahnya, kemudian rutinitas selanjutnya adalah 'meminta' bekal untuk pergi ke sekolah. Uang jajannya diberikan per hari, bukan per minggu ataupun per bulan. Seketika intonasi suara yang tinggi mengagetkan telinga saya ketika ibunya memarahi anak laki-laki itu, tanda menolak permintaan anaknya untuk dimintai bekal. Kalian tahu berapa rupiah yang dipinta oleh anak laki-laki itu? Lima ribu rupiah. (Hanya) lima ribu rupiah. Seingat saya sekolah tempatnya belajar itu harus ditempuh menggunakan angkutan umum. Jika dihitung, dua kali naik angkot dia akan mengeluarkan uang sekitar 2-3 ribu rupiah. Terbayang berapa sisa bekal yang digunakannya untuk sekedar jajan cemilan.
Saya mengetahui betul keadaan tetangga saya ini. Dikatakan mampu mungkin tidak, tapi dikatakan tidak mampu pada kenyataannya mereka mampu. Tapi mengapa sampai hati menolak memberikan uang pada anaknya sendiri? Baiklah. Mungkin kebetulan ibunya sedang tidak ada uang sama sekali. Sehingga kemarahan menjadi bayaran untuk permintaan anaknya hingga urung pergi ke sekolah.
***
Mengapa saya serasa ditampar dengan cerita tadi? Saya sadari betul uang 5 ribu rupiah setara dengan bekal adik saya yang masih duduk di SD kelas 2. Itupun adik saya kadang meminta uang lagi jika hendak pergi sekolah agama. Dan 5 Â ribu setara dengan uang yang biasa saya keluarkan hanya untuk jajan mie ayam atau makanan lainnya yang sekali waktu habis.
Astagfirullahaldzim. Tidakkah saya mensyukuri apa yang saya nikmati sekarang? Segala fasilitas yang diberikan oleh orang tua sehingga saya bisa menyelesaikan bangku kuliah di rantau orang selama kurang lebih 4 tahun dengan biaya yang tidak sedikit.
Semoga ini menjadi cerminan bagi diri kita yang setiap harinya diwarnai dengan keluh kesah. Mari berdoa semoga Allah SWT senantiasa mengampuni atas kekufuran nikmat yang tidak kita rasakan, dan senantiasa memperkaya rasa syukur kita atas semua limpahan karunia dan rahmat dari-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur. Aamiin Ya Rabbalalamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H