Â
     Riuh suara kerumunan pegawai kantor mulai memecahkan lamunanku di pagi ini, namun gagal. Di sudut ruangan, aku bungkam, memadukan fraksi-fraksi kenangan di masa lampau yang parau. Aku menyeruput kopi Robusta Sidomulyo kesukaanku dengan hangat hingga memori 16 tahun itu menyeruak kepermukaan. Segulung memoriku dengan Bapak terangkat menjadi reka adegan yang aku rindukan sekaligus mengiris inti hatiku secara perlahan.
 ***
Sidomulyo, 2002 Â Â Â Â Â
       Ialah Apri. Laki-laki kecil berusia 11 tahun sedang berlarian memasuki areal perkebunan. Kulitnya hitam nyaris legam akibat sering berjemur sambal berburu hama kutu putih disekitar pohon kopi. Dibesarkan bersama seorang adik yang 5 tahun lebih muda darinya oleh kedua orang tua yang sering ia panggil dengan sebutan Bapak dan Ibuk. Bapak hanya seorang petani kopi rakyat dengan luas areal perkebunan sekitar 0,3 ha, kopi yang dibudidayakan adalah jenis kopi robusta, Robusta Sidomulyo, diadaptasi dari nama kampung, begitu orang-orang menyebutnya. Ibuk hanya seorang guru harian di sebuah  SD dekat perkebunan.
      Areal perkebunan itu memiliki luas yang berhektar-hektar dengan beberapa kepala keluarga pemilik areal tersebut. Bapaklah yang memiliki luas lahan yang paling kecil, namun hasil panennya merupakan salah satu yang paling baik. Pada suatu hari, beberpa laki-laki dengan tubuh tegap dan berpakaian rapi menghampiri Bapak. Mereka melakukan perbincangan hingga perdebatan yang cukup serius. Apri mengintip dari balik tirai kamar, menangkap mimik wajah Bapak tidak sedang baik-baik saja. Berulang kali laki-laki bertubuh tegap itu melakukan negosiasi dengan Bapak, namun Bapak mengarahkan mereka untuk kembali kemari beberapa waktu lagi.
      Berhari-hari Apri menerka, ternyata laki-laki bertubuh tegap itu merupakan utusan dari perusahaan konstruksi di Ibukota. Mereka menghampiri kampung karena ingin membeli seluruh lahan kopi yang ada disini. Sontak Bapak menolak dengan keras, diikuti oleh sebagian besar petani. Tak rela. Membeli seluruh lahan berarti mengusir kami dari kampong halaman sendiri, karena otomatis mereka juga membeli bangunan-bangunan yang ada di sekitar kebun. Tak mau. Bapak berada di garda depan penentang tawaran ini. Namun ada saja beberapa orang yang sudah lelah menjadi petani menerima saja tawaran ini. Bapak tak dapat berbuat apa-apa lagi selain menerima keputusan mereka yang mungkin sudah dipertimbangkan dengan matang.
      Alasan Bapak bepengang teguh mempertahankan kebunnya adalah karena besar rasa cinta terhadap kopi-kopinya. Kopi Robusta Sidomulyo, kopi asli Indonesia, asli kampong Sidomulyo. Bapak memiliki keyakinan bila suatu saat nanti, komoditas kopi dapat menunjang kehidupan masyarakat Indonesia, menambah devisa negara, dan menjadi produk primadona masyarakat Indonesia.
      Mendekati hari dimana pergusuran kebun dilakukan, beberapa petani yang awalnya menentang mulai tergiur akan tawaran perusahaan konstruksi. Uang puluhan juta menjadi jaminan petani yang menjual kebunnya agar tetap dapat hidup sejahtera. Bapak tidak dapat mengelak. Negosiasi masih intensif dilakukan hingga akhirnya hanya Bapak laki-laki terakhir yang bertahan melawan segala bentuk tawaran, mulai dari rumah, pekerjaan tetap dan penghidupan lainnya. Ibuk mulai getir. Khawatir dengan keputusan Bapak. Apri hanya dapat terpaku sambil menatap langit-langit, kebun tempatnya bermain sambil belajar akan lenyap dalam hitungan hari. Perih.
      Saat hari penggusuran itu tiba, tinggallah kebun Bapak yang berdiri dengan gagahnya. Namun naas. Saat Bapak ingin keluar rumah untuk memantau kebun. Sebuah parang tergeletak sembarangan hingga mengenai kaki Bapak yang tak memakai alas kaki. Ternyata semua itu akibat ulah penggusur kebun yang muak dengan Bapak. Akibatnya Bapak mengalami pendarahan hebat. Dibawa kerumah sakit dengan suara ambulans yang memekakkan telinga. Menambah getir hati Ibuk, Apri, dan Adiknya yang masih kecil. Bapak terserang tetanus. Seminggu kemudian pahlawan Kopi Sidomulyo sudah berpulang, direngkuh Sang Kuasa.
      Pilu. Apri sedih berkepanjangan. Sedih karena kebun kopi terbabat habis dan kini Bapak yang senantiasa teguh akan pendiriannya sudah tak adalagi di dunia. Ibuk terancam tak memiliki pekerjaan karena SD tempat Ibuk bekerja amat strategis dengan lokasi penggusuran sehingga kemungkinan besar juga akan ikut tergusur. Ibuk bingung bukan kepalang. Namun ia tak akan rela memberikan lahan kebun untuk perusahaan bengis itu. Dan ternyata benar, beberapa hari setelah kepergian Bapak, SD tempat ibuk juga ikut tergusur. Ibuk kehilangan pekerjaannya.
      Setelah mempertimbangkan matang-matang, Ibuk akhirnya pun juga menjual kebun peninggalan Bapak dengan penuh penyesalan. Ibuk berjanji pada Apri dan Adiknya bahwa beliau akan membudidayakan kembali Kopi Sidomulyo di tempat yang baru. Apri kalut. Geram. Ia ingin berontak menolak seluruh kejadian yang telah menempa dirinya, namun tak bisa. Apri menjadi benci sekali dengan seluruh perusahaan konstruksi, di usianya yang amat belia itu.
      Apri, Ibuk dan Adiknya berhijrah menuju kampung di pinggir kota. Sudah tidak ada lagi lahan kebun, daun hijau bulat telur, ceri buah kopi yang ranum, dan wangi semerbak dari bunga kopi. Ia menghabiskan masa SMP dan SMAnya disana. Ia tumbuh menjadi laki-laki yang cerdas, teguh akan pendirian, dan seorang pemimpin yang bijak, sama seperti mendiang Bapaknya. Semakin lama kecintaannya terhadap pertanian semakin tinggi. Ia takjub akan hebatnya pertanian di Indonesia yang memiliki lahan yang luas untuk mengisi perut seperempat milyar warga. Namun kadang ia miris, melihat besarnya potensi lahan, Indonesia ternyata masih impor beberapa bahan pertanian dari luar negeri. Ironi. Pertanian Indonesia juga masih sebatas produksi, belum menginjak ke dalam pengolahan. Harga jual komoditas rendah. Petani semakin miskin, padahal bertani semakin sulit mengingat perubahan iklim yang hebat. Saati tu pula, Apri tahu kemana ia harus melangkahkan kakinya setelah masa SMA usai.
      Apri melanjutkan kuliah di suatu universitas negeri. Fakultas pertanian menjadi tempat peraduannya dalam mencari ilmu. Ia menggeluti program studi Agribisnis dengan harapan dapat memaksimalkan produksi pertanian bukan hanya berupa produk primer tapi juga produk olahan, karena dengan begitu nilai tambah produk pertanian Indonesia akan semakin tinggi. Ia ingin sekali menyejahterakan petani. Ia tak ingin ada lagi orang-orang seperti Bapak yang mati-matian membela pertanian, menentang perubahan lahan pertanian menjadi bangunan. Kecintaannya terhadap kopi seakan menurun dari Bapak. Saat ini di kebun kecilnya di dekat rumah ia membudidayakan bibit kopi robusta Sidomulyo yang ia beli di dekat kampungnya dulu. Ternyata petani-petani yang dulunya menyetujui penggusuran areal kebun kopi rakyat saat ini menyesal dan kembali menanam kopi melihat peluang usaha kopi semakin tinggi di pasaran.
      Dalam bangku perkuliahan Apri sangat berprestasi dan kerap mengikuti beberapa organisasi.. Di luar kampus ia mengikuti organisasi pemberdayaan petani kopi. Ia kerap kali melakukan penyuluhan bagaimana melakukan pengolahan kopi yang benar karena hasil panen kopi bila dibandingkan dengan kopi yang sudah diolah memiliki jarak harga jual yang cukup besar. Apri memiliki ambisi jika beberapa tahun kedepan Indonesia harus mampu ekspor kopi bukan hanya dalam wujud biji melainkan juga produk bubuk kopi.
      Apri lulus dua bulan lebih cepat. Pekerjaan menghampiri. Perusahaan sana sini datang menjemput Apri. Akhirnya ia memilih bekerja di salah satu perusahaan ekspor kopi. Di sana ia menemukan fakta bahwa tingkat ekspor negara Indonesia semakin tahun semakin tinggi. Tingkat kebutuhan negara lain akan pasokan dari kopi Indonesia semakin meningkat. Dari sini Apri paham bahwa segala yang Bapak perjuangkan tidak sia-sia. Jika tidak ada orang seperti Bapak, mungkin tidak ada lagi yang akan memotivasi petani. Dan perkataan Bapak benar, saat ini kopi Indonesia sedang menginjak masa gemilaunya. Ekspor terus dijalankan tanpa henti sehingga membuat Indonesia masuk ke lima besar pengekspor kopi terbesar di dunia.
***
Jakarta, 2018 Â
      Sekelebat adegan di kepalaku sudah menyelesaikan jam tayangnya. Segelintir memori itu membawaku menjadi Apri yang seperti saat ini. Dari Bapak aku belajar, setiap gemuruh yang telah kau lawan dengan teguh tidak akan membuatmu kecewa meski harus berlinang air mata. Dampak dari perlawanan tersebut mungkin tidak akan kau rasakan saat ini, bisa datang pada diri sendiri atau pihak lain yang terhubung denganmu.
     Ambisiku kini telah tercapai, dari hasil jerih payahku akhirnya aku mampu membeli lahan kebun untuk Ibuk lalu ditanami kopi kembali, kopi Robusta Sidomulyo, janji Ibuk kepada Bapak. Aku pun mampu membangun perusahan olahan kopi sendiri. Perusahaanku kerap melakukan ekspor keluar negeri, dengan harapan devisa negara dapat bertambah melalui bisnis semacam ini.
     Terimakasih, Bapak.
*****
Sumber gambar: Pinterest
Cerita hanya fiksi belaka, jika terdapat kesamaan nama dan tempat harap maklum.
Cerpen karya Silvia Mayningrum ditulis tanggal 23 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H