Tradisi dan keagamaan memiliki pola dan norma yang menghubungkan antar masyarakat. Tradisi yang berkaitan dengan ritual keagamaan dianggap lumrah selagi tidak menghilangkan eksistensi dari agama itu sendiri.
Didalam tradisi mengandung nilai-nilai untuk saling menghormati dan menjaga keharmonisan antar individu maupun masyarakat, salah satunya yaitu Megengan.Â
Megengan merupakan kata lain dari slametan, namun hanya dilakukan ketika akan memasuki bulan Ramadhan. Banyak para antropolog berpendapat bahwa slametan merupakan jantung di masyarakat Jawa. Geertz mengatakan bahwa, "di pusat keseluruhan sistem agama Jawa, terdapat suatu ritus yang sederhana, formal, jauh dari keramaian, dan dramatis, itu adalah slametan".
Menurut masyarakat Jawa, tradisi Megengan merupakan salah satu perayaan Islam dalam menyambut bulan Ramadhan yang telah dilakukan sejak lama dan berkembang sampai saat ini sekaligus bentuk ketaatan terhadap agama yang mereka yakini. Dalam Megengan masyarakat bergantian mendatangi tiap-tiap rumah setempat dalam wilayah RT.Â
Orang yang dipandang mampu memimpin doa menyampaikan sambutan menggunakan Bahasa Jawa halus yang menjelaskan maksud dari slametan tersebut kepada masyarakat. Disusul dengan doa-doa dalam Bahasa Arab yang mendoakan anggota keluarga tuan rumah yang telah wafat. Kemudian tuan rumah menyajikan jamuan seperti jajanan maupun makanan berat kepada tamu yang menghadiri Megengan dan menyajikan Sego Berkat untuk dibawa pulang.
Namun menurut Andrew Beatty, dia tidak menemukan seseorang yang menganggap Megengan merupakan ritus Islami. Sebagian masyarakat menganggap bahwa Megengan sangat berciri masyarakat Jawa dan merupakan tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun. Orang Jawa mengartikan Megengan adalah ngempet atau menahan, karena dalam melaksanakan ibadah puasa mereka menahan segala hawa nafsunya. Tradisi ini dilaksanakan untuk memohon kepada Allah SWT agar diberi kekuatan lahir batin dalam menjalankan ibadah puasa dan mengirim doa untuk para leluhur mereka di bulan Ramadhan.
Beberapa golongan mengatakan bahwa Megengan merupakan tradisi yang sesat karena tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan menyebut Megengan adalah Bid'ah. Namun Megengan merupakan wujud kegembiran masyarakat dalam memasuki bulan Ramadhan, dalam hadits yang artinya "Barang siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadlon, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka", apakah Megengan masih dianggap sesat?
Maka dari itu, para ulama membagi bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'nah (buruk). Jika Megengan termasuk bid'ah, maka tradisi ini masuk kedalam bid'ah hasanah karena masyarakat menganggap tradisi ini menciptakan keharmonisan sosial yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Jadi, tidak berarti semua yang tidak diajarkan oleh Rosulullah adalah hal buruk atau sesat.
Tradisi megengan dilakukan sekitar tanggal 20 sampai 29 pada bulan Sya'ban atau Ruwah sebelum bulan Ramadhan. Orang yang tidak mengikuti Megengan tidak akan mendapat dosa maupun musibah. Namun, karena Megengan merupakan tradisi yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan agama Islam dan sudah disepakati masyarakat, mereka tetap memegang teguh tradisi ini dan melaksanakan setiap tahun.
Megengan memiliki kaitan yang sangat erat dengan ziarah kubur, yaitu mendatangi makam leluhur yang bertujuan mengirim doa untuk leluhur agar diampuni segala dosanya. Namun, pada saat ini ziarah kubur mulai mengalami pergeseran. Masyarakat yang melaksanakan Megengan sudah jarang berziarah kubur dengan alasan mengirim doa dari rumah atau mushalla saja sudah cukup untuk mendoakan leluhur, sehingga tidak perlu datang ke makam.
Tradisi Megengan mungkin saja tidak hanya di masyarakat Jawa, namun juga beberapa daerah lainnya. Hanya saja penyebutan mereka dalam tradisi itu berbeda. Tradisi ini baiknya tetap dilaksanakan secara turun temurun di masa mendatang agar tidak punah, karena merupakan salah satu identitas masyarakat agama Jawa yang memiliki nilai dan norma didalamnya.
Selagi tradisi Megengan tidak bertentangan dengan agama Islam, tradisi ini dianggap baik dan menjadi bagian kehidupan dari suatu masyarakat atau golongan yang sama. Tradisi ini menuntun manusia untuk menjalani kehidupan di masyarakat sebagai wujud solidaritas sosial kultural yang harmonis.