Keterlibatan perempuan sangat penting dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) terutama dalam hal kesetaraan gender. Di Indonesia masih banyak anggapan bahwa pendidikan diutamakan untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk kaum perempuan dinomorduakan.
Kesenjangan pendidikan tersebut berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia. Tingkat pendidikan yang rendah pada perempuan memiliki resiko terjadinya pernikahan dini yang lebih tinggi dibandikan dengan perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. melakukan pernikahan dini.
Sebagian besar masyarakat masih terpaku pada paham patriarkis yaitu mempercayai bahwa kaum perempuan merupakan kaum yang lemah dan berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki, sehingga dalam lingkungan keluarga istri harus mengikuti apa yang dikatakan suami. Oleh karena itu, kesetaraan gender harus digalakkan supaya tidak terjadi lagi kesenjangan antara kaum perempuan dan kaum lakki-laki.
Mahasiswa KKN RDR 77 Kelompok 74 UIN Walisongo Semarang menggelar acara webinar kesertaraan gender bertajuk “Ketidakadilan Akses Pendidikan Bagi Perempuan dan Akibatnya dalam Perkawinan Anak” pada Sabtu (30/11/2021) yang dimulai pukul 09.00 hingga 12.00 WIB melalui platform Zoom Meeting.
Pembicara dalam webinar ini merupakan dosen UIN Walisongo yang aktif dalam lingkup kesetaraan gender, yaitu Ibu Elina Lestariyanti, M. Pd yang merupakan Founder Candu Buku dan Ibu Siti Rofiah, M.H, M.Si yang merupakan aktivis dan peneliti Elsa Semarang.
Webinar ini diikuti 40 peserta yang terdiri dari anggota KKN RDR 77 Kelompok 74 dan juga masyarakat umum. Webinar ini bertujuan untuk mengedukasi dan memupuk kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesetaraan gender, terutama dalam bidang pendidikan dan dampak perkawinan dini pada perempuan.
Ibu Elina menyatakan bahwa ketidakadilan gender merupakan ketidakadilan social. “Gender sebagai salah satu kategori sosial (ras, etnis, klas, agama, kemampuan fisik dan usia) berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial jika tidak ditumbuhkan sikap sensitif terhadap bentuk[1]bentuk diskriminasi sosial. Sikap deskriminatif dapat menghalangi aksen, partisipasi, control dan manfaat hak-hak dasar”, jelasnya.
“Gender timpang semua jadi rumpang. Indeks ketimpangan gender di Indonesia pada tahun 2020 sebesar 0,700. Ketimpangan gender ini akan berakibat pada beberapa aspek, yaitu akses pekerjaan, partipasi politik, pengambilan keputusan, akses informasi/pengetahuan, relasi social, pendidikan anak, jerat kemiskinan dan pernikahan dini.
Oleh karena itu, dibutuhkan peran dari berbagai pihak, yaitu pemerintah dalam memberikan dukungan kebijakan, masyarakat umum dalam meningkatkan kesadaran mengenai kesetaraan gender dan kaum perempuan sendiri dalam meyakini bahwa perempuan memiki kemampuan dan kompetensi yang sama dengan laki-laki”, imbuhnya.
Sementara itu, Ibu Rofiah menjabarakan mengenai ketimpangna gender, pendidikan dan perkawinan anak. Menurut beliau, persepsi yang bias gender terhadap akses pendidikan berdampak pada 3 hal, yaitu anak perempuan sebaiknya di rumah, anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi dan anak perempuan sebaiknya cepat dinikahkan.
Perkawinan dini dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu factor ekonomi dan pemahaman agama. Dalam bidang ekonomi, ekonomi keluarga yang lemah akan memicu pernikahan dini pada anak, anak perempuan dinikahkan untuk mengurangi beban keluarga. Sedangkan dalam bidang pemahaman agama, perempuan lebih baik dinikahkan pada usia dini untuk menghidari zina dan meningkatkan kualitas umat muslim.