Mohon tunggu...
Silvha Darmayani
Silvha Darmayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Andalas

Everything will be fine

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Duka Juni-Agustus

16 Agustus 2021   10:17 Diperbarui: 22 Oktober 2021   18:50 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

1. Perbincangan Dua Merpati yang hendak Terbang.

(Perihal kesedihan yang tersirat dan bermakam di rentang Juni-Agustus)

Siang di bandul depan rumah dengan dua jendela kusam. Dua merpati bermenung mengumpul kerisauan,

dari sorot mata merpati nampak hitam dari dekat. putih-putih hilang timbul saat ditilik dari jauh.

Kedua merpati saling menatap, berpikir-pikir apa yang mau disampaikan.

Satu merpati memilih bergeming. Hanya linang di matanya yang lamur, membias di genangan air yang menetes dari ujung daun rambutan, keduanya bersamaan bersamaan jatuh menimpa tanah, air dari rambutan juga air mata merpati. Angin datang dari selatan menerbangkan air itu, membawa ke langit, seperti menyelipkan pesan. Tapi tidak ada yang bisa memafhumi, apa yang sebetulnya tersirat di hati merpati, dan mengapa air matanya tidak diizinkan menyentuh tanah bumi, tapi pantas di langit tinggi.

Merpati yang satu lagi, terdiam. Mematut-matut, lama. Lama sekali. Seperti tahu akan maksud merpati temannya. Semula merpati itu menengadah ke langit, ada pilu di matanya. Waktu seperti bergerak cepat di sana. Sehari terasa seratus hari lamanya. Hingga merpati kembali menurunkan tatapannya ke bawah.

Sebelum kedua merpati selesai berbincang dalam diam, hujan turun dengan lebat. Kedua merpati mengepakkan sayap, begitu pula senyumnya. Tapi ada tangis, yang tidak terlihat, ditutupi hujan deras. Sebelum matahari tersungkur di kaki barat langit, kedua merpati mengulur waktu-menghitung mundur, bergantian-siapa lebih dulu.

Sehembus dengan angin yang datang dari utara, merpati pertama terbang pula pertama. Sehembus angin barat, merpati kedua menyusul temannya. Merpati tersenyum, dari atas awan-awan putih kedua merpati menjatuhkan air mata. Air hujan yang turun bergantian, bukan hujan yang sesungguhnya. Tapi tangis kedua merpati, tangis terakhir. Tangis bahagia sebab akan pulang ke rumahnya.

Riau, Agustus 2021


2. Sebelum Bakda Subuh

(kepada Alan dan Almh. Ibu L, ibu yang kami cintai, namun lebih dicintai Tuhan. Pulang pada bulan Juni)

Lan. Setiap pagi bakda subuh kau bersiap-siap mengisi keranjang bambu.

Menumpuk ubi kayu, sayur bayam, kangkung, untuk dijajakan bersama ibu di pasar.

Lan. Sebelum sekolah, kau sering terdiam di dinding kamar kusam. Kau melihat dunia seperti emas untuk orang lain, tapi dunia kau seperti loyang usang.

Setiap pagi, kau harus mengusap dada, menarik nafas yang banyak terbuang, daripada terhembusnya. Kau dulukan percayamu, besok sinar mentari akan tergantung di depan rumahmu. Intinya pelangi akan muncul di sana.

Lan, kau kadangkala iri, memeluk lelah kau sendiri, tapi tak dirasakan orang lain seusiamu.

Dan kembali ke pagi bakda subuh, kau letakkan ibumu di pintu pertama hatimu. Kau temani dia, berjaja sayur saban paginya. Meski di saban malam, ia menyurukkan wajahnya, menangis tak bersuara memikirkan nasib kau dan anak-anaknya untuk hari esok.

Lan. Kau sekalipun tidak membantah, bila tak ada bagian jajan ke sekolah, bagi kau menelan sisa nasi pagi kemarin, sudah lebih membuat kau kenyang hingga malam.

Lan, kau begitu dewasa dari usia kau yang sangat muda untuk mengerti hal yang cukup rumit dan pelik kau pahami sendirian.

Lan, pada satu hari kemarin. Sebelum kokok ayam menyuruh subuh membangunkan manusia, sebelum bakda subuh memerintahkan kau dan ibumu pergi mengulang nasib seperti biasa. Tuhan berencana lain.

Dari atas langit gerimis menitik kasar di atap rumah kau yang hitam arang. Tersedu-sedu, seperti suara orang menangis. Kau terdiam, saat kau cari suara itu tidak ada pelakunya. Kecuali di sela-sela awan. Ketika seekor merpati terkurung hujan, bukan terkurung, lebih tepatnya memperhatikan kau dari kejauhan.

Kau lihat merpati itu melihatmu. Saat air mata merpati lebat turun membasahi perkarangan rumahmu, kau juga ingin menangis sebab tak sanggup-sesak memerang di dadamu. Tapi kau lawan. Terus berusaha kau lawan. Kau manusia paling kuat yang kulihat hari itu, Lan.

Saat kau berbalik meninggalkan luar rumah yang bergelinangan air mata merpati, kau dapati satu orang yang membuat kau lebih tak kuat menahan tangismu lagi.

Lan, ketika malam sebelum bakda subuh. Ibumu sudah lebih dulu menyiapkan sayur, ubi-ubi dari kebun, dan berpesan memindah alihkan kepemilikannya pada orang lain. Ibumu tidak berangkat bersamamu malam itu. Ia pergi sendirian, menuju pasar baru, pasar yang paling jauh dan diketahui oleh siapapun. Tapi Tuhan mengizinkan ibumu pergi lebih dulu. Ke sana, berjualan di sana, juga tinggal di sana. Selamanya.

Riau, Agustus 2021


3. Berpindah Rumah

(Kepada Zikra, dan alm Ibu Y. Ibu kami yang paling tegar, dan telah berpulang)

Zik, tak kutahu seberapa tegar hatimu berdiri di lapangan padang tak berumput.

Siang matahari begitu panas membumihanguskan tubuhmu, kau berpeluh-tapi tak pernah mengeluh-terus melenguh menantang segala ketakutan.

 Di samping kanan kau mengendong adikmu yang masih kecil dan polos, memanggil-manggil ibunya. Di kiri kakak laki-lakimu berdiri dengan sebelah kakinya yang tersisa. Menangisi ayahnya yang pergi merantau tanpa berkabar kapan akan pulang.

Zik, tak kutahu apa yang membesarkan hatimu, hati adik perempuanmu, juga hati kakak laki-lakimu. Kalian keras kepala, menunggu ayah yang tak mau lagi berkirim surat, dan kalian tetap keras kepala menanti ibu yang sudah berpindah rumahnya.

Zik, tatkala kau melihat langit. Hujan selalu turun di sana, menghampirimu. Langit seperti tahu, kau merindukan kehangatan yang telah hilang dari segala penjuru. Kau menangis, saat satu titik air mengenai rambut hitam adik perempuanmu yang masih kecil, dan kau semakin tersedu saat tangis membahasi keseluruhan tubuh kakak laki-lakimu.

Zik, di atas langit kau tak henti mengalihkan pandang matamu, berlinang seperti mencipta sungai yang kau sendiri bermandikan airnya di sana.

Kau juga melihat satu merpati menyenyumi dari arah paling jauh, berbisik dengan lembut. Namun tidak satupun yang dapat mendengar, kecuali hanya kau, adik kau, juga kakak laki-lakimu.

"Sudah waktuku pulang. Dan kau takkan kubiarkan sendirian. Sebab yang jatuh dan mengalir dari langit bukanlah hujan. Tapi air mataku sendiri. Peluklah, rasakanlah, biar kau tak merasa sepi lagi."

Zik, kau tak henti-henti menatap langit tinggi, membiarkan hujan membasahi tubuhmu, tubuh adikmu, kakakmu.

Zik, jika kau dapat meminta langit menjadi lebih rendah untuk kau jarah. Dapat kupastikan, inginmu untuk selalu beranjangsana ke awan-awan putih, mencari kehangatan yang lindap dari tubuhmu. Sembari ingin memeluk merpati yang sekarang menatap di rumah baru.

Riau, Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun