(kepada Alan dan Almh. Ibu L, ibu yang kami cintai, namun lebih dicintai Tuhan. Pulang pada bulan Juni)
Lan. Setiap pagi bakda subuh kau bersiap-siap mengisi keranjang bambu.
Menumpuk ubi kayu, sayur bayam, kangkung, untuk dijajakan bersama ibu di pasar.
Lan. Sebelum sekolah, kau sering terdiam di dinding kamar kusam. Kau melihat dunia seperti emas untuk orang lain, tapi dunia kau seperti loyang usang.
Setiap pagi, kau harus mengusap dada, menarik nafas yang banyak terbuang, daripada terhembusnya. Kau dulukan percayamu, besok sinar mentari akan tergantung di depan rumahmu. Intinya pelangi akan muncul di sana.
Lan, kau kadangkala iri, memeluk lelah kau sendiri, tapi tak dirasakan orang lain seusiamu.
Dan kembali ke pagi bakda subuh, kau letakkan ibumu di pintu pertama hatimu. Kau temani dia, berjaja sayur saban paginya. Meski di saban malam, ia menyurukkan wajahnya, menangis tak bersuara memikirkan nasib kau dan anak-anaknya untuk hari esok.
Lan. Kau sekalipun tidak membantah, bila tak ada bagian jajan ke sekolah, bagi kau menelan sisa nasi pagi kemarin, sudah lebih membuat kau kenyang hingga malam.
Lan, kau begitu dewasa dari usia kau yang sangat muda untuk mengerti hal yang cukup rumit dan pelik kau pahami sendirian.
Lan, pada satu hari kemarin. Sebelum kokok ayam menyuruh subuh membangunkan manusia, sebelum bakda subuh memerintahkan kau dan ibumu pergi mengulang nasib seperti biasa. Tuhan berencana lain.
Dari atas langit gerimis menitik kasar di atap rumah kau yang hitam arang. Tersedu-sedu, seperti suara orang menangis. Kau terdiam, saat kau cari suara itu tidak ada pelakunya. Kecuali di sela-sela awan. Ketika seekor merpati terkurung hujan, bukan terkurung, lebih tepatnya memperhatikan kau dari kejauhan.