Eksistensi Sumbang Duo Baleh saat ini menjadi topik yang hampir terlupakan, maka dari itu saya tertarik untuk mengkaji, mengulas serta bermaksud mengingatkan kembali. Ibaratnya seperti air yang menitik di atas batu yang keras, cepat atau lambat permukaan batu itu akan terkikis habis, sama halnya dengan yang terjadi sekarang. Konsentrasi saya adalah perempuan Minang kontemporer, sebab perempuan  adalah simbol yang terhormat dan harus dijaga. Malu seorang perempuan idealnya adalah malu suku atau kaumnya itu sendiri.Â
Tidak dapat dielakkan, perilaku perempuan Minangkabau kontemporer mengalami pendegradasian, sadar atau tidak mengikuti tren-tren, fashion terbaru, life style, arus inilah yang mengikis nilai-nilai tradisional. Saat ditanyakan kepada perempuan Minang saat ini, banyak yang tidak mengetahui apa itu Sumbang Duo Baleh. Â
Bagaimana mungkin perempuan kontemporer mampu meletakkan dua belas sumbang sebagai batasan yang harus dihindari, sedangkan hakikat dan makna sumbang saja mereka abai dan tidak tahu menahu. Mereka hanya tahu sosial media dengan ragam aplikasinya seperti facebook, instagram, whatsapp, line, twitter karena telah menjadi ruang baru bagi kehidupan mereka.Â
Kehebatan teknologi inilah yang mendasari perubahan perilaku perempuan atau gadih Minang kontemporer, dan tidak bisa dipandang sebelah mata atau dibiarkan.
Beragam kasus Perempuan yang ditemukan, salah satunya dikutip dari Komnas Perempuan tentang penggerebekan perempuan yang dilacurkan (pedila) berinisial NN di sebuah hotel di Padang pada 26 Januari 2020 menjadi bahan pembicaraan publik dan media massa.Â
Menyikapi pemberitaan penggrebekan tersebut, Komnas Perempuan menilai bahwa tindakan penggerebekan NN merupakan bentuk feminisasi moral yang berakibat kriminalisasi pedila. Dalam feminisasi moral, perempuan dijadikan tonggak moral masyarakat yang mana terkadang cara berpakaian perempuan, pedila, tempat karaoke dan penjualan miras disasar sebagai ruang-ruang maksiat yang harus dibersihkan.Â
Berbagai kasus lain yang mengatasnamakan perempuan sudah tidak asing lagi terdengar di telinga, tentu hal ini harus ditangani secara bijak, karena jika tidak, akan berdampak pada perilaku yang menyimpang, pelecehan seksual, penyakit masyarakat, dan menenggelamkan entitas adat juga agama.Â
Lalu siapa yang disalahkan atas penyimpangan ini? Kita tidak bisa menjustifikasi bahwa kesalahan mutlak berasal dari perempuan itu sendiri, tapi kita melihat dari pihak terkait yang berperan dalam membentuk karakter perempuan, keluarga sebagai garda utama yang harus membentengi akhlak, baik atau buruknya seorang anak, mengontrol sikap dan tingkah laku, pergaulan juga lingkungannya.
Di Minangkabau sendiri ada tiga orang pemimpin yang memilki andil dalam sistem norma di tengah masyarakat, mengontrol perilaku sosial masyarakat, dikenal dengan Tungku Tigo Sajarangan. Tiga unsur itu adalah Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Masing-masing mempunyai fungsi berdasarkan status sosial mereka di tengah masyarakat.Â
Akan tetapi realitas sekarang menunjukkan sistem nilai yang telah beranjak, tidak lagi seperti dahulu yang bilamana seorang perempuan melakukan kesalahan, maka mamak-mamaknya (saudara laki-laki ibu) yang akan menunjukajarkan, menasehati, tapi kini, seolah-olah hanya angin lalu saja, dan berat melakukannya, mungkin karena merasa tidak pantas, perbedaan strata sosial, sehingga merasa tidak berwenang mengatur kemenakannya, dan membiarkan perilaku sumbang terus dilakukan.Â
Begitu juga dengan Alim Ulama dan Cadiak Pandai yang mesti lebih kuat lagi menjadi tiang penyangga sistem budaya Minangkabau. Membangkitkan kembali batang tarandam, juga Bundo Kanduang, sebagai limpapeh rumah gadang, yang memiliki peran krusial (penting) dalam memberikan pengajaran kepada perempuan-perempuan Minang, serta menghidupkan kembali dua belas sumbang yang kini memudar eksistensinya. Â