Mohon tunggu...
Silvester Deniharsidi
Silvester Deniharsidi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Labuan Bajo

Tertarik pada isu-isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membangun Demokrasi Dengan Merawat Toleransi

9 Mei 2022   20:39 Diperbarui: 9 Mei 2022   20:44 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki keanekaragaman (multikultural) dalam berbagai latar belakang rakyatnya seperti; suku, etnis, agama dan golongan. Keanekaragaman itu telah ada sejak dahulu kala, sebelum membentuk negara yang kita sebut saat itu ''Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam catatan sejarah bangsa ini, keragaman tersebut telah menjadi landasan lahirnya dasar negara Pancasila yang merupakan filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak ada keragaman, kemungkina Soekarno juga tidak dapat merumusakan dasar negara itu dengan Pancasila. Dan di dalam Pancasila itulah diukir semboyan bangsa ''BHINEKA TUNGGAL IKA''. 

Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, keanekaragaman itu kembali mengalami goncangan. Keanekaragaman tidak lagi dipandang sebagai "kemajemukan dalam kesatuan" tetapi kemajemukan itu malah dipandang sebagai perbedaan yang saling bertentangan. Perbedaan agama adalah aspek yang selalu dan banyak mendapat tantangan. Setiap persoalan yang dilatar belakangi perbedaan agama memiliki dampak yang sangat serius, bahkan seringkali menimbulkan korban jiwa.

Dalam realitanya, perbedaan agama sebenarnya bukanlah suatu hal yang dipermasalahkan, namun hal yang membuat perbedaan itu menjadi konflik adalah karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu seperti politik dan ekonomi. Dalam konflik kepentingan tersebut agama dijadikan sebagai alat atau media untuk mendapatkan kepentingan itu. Misalnya, dalam politik kekuasaan, isu agama seringkali dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan. Begitu pula dalam kepentingan ekonomi. Orang sering memanfaatkan, dengan cara pandang yang sesat, melihat orang dengan agama tertentu lebih kaya ketimbang warga yang beragama lain. Dengan alasan ini, masyarakat mudah dimobilisasi untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi melalui media sosial seperti; facebook, whatsApp, twitter, youtube, telegram, dll telah salah dimanfaatkan. Media-media seperti itu telah digunakan oleh orang-orang tertentu dengan kepentingannya masing-masing menyebarkan pandangan-pandangan kebencian. Merekas saling menyerang satu dengan yang lain. Ajaran agama yang sherausnya diamalkan untuk mencapai kedamian dan keselamatan dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk membenci ajaran dan umat agama lain. Orang yang beragama, sepertinya hanya mementingkan teks ajarannya bukan amalannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ajaran agama itu berbeda-beda merupakan sesuatu yang an sich. Tugas para pengikutnya adalah belajar memahami ajarannya dengan menggunakan akalnya, untuk menemukan makna dari kebenaran agama tersebut yang dapat diamalkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari. Masih ada umat-umat beragama yang terjebak dengan ajaran tekstual bukan kontekstual. Cara seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang fundamentalisme. Setiap agama memiliki kelompok fundamentalisme masing-masing. 

Kelompok fundamentalisme adalah gejala umat beragama yang berusaha untuk menegakan ajaran-ajaran agamanya secara tekstual dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berpandangan, kehidupan realita sehari-hari sudah mengotori atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agamanya. Oleh karenanya, mereka berupaya keras agar realita kehidupan itu dikontrol dan diatur sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Keberadaan kelompok fundamentalisme ini tidak banyak tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan bernegara. Pemahaman agama kelompok fundamentalisme ini  berbeda dan bahkan bertentangan dengan pandangan umat beragama pada umumnya. 

Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa di Indonesia, orang masih kental beragama. Kesannya masalah di Indonesia bukan kekurangan, melainkan kelebihan ketuhanan. Tak ada hari dimana media tidak membawa berita yang berkaiyan dengan agama dan orang-orang berketuhanan Masalah di Indonesia yang menjadi masalah bukan ketuhanan, melainkan bagaimana ketuhanan itu dihayati dengan tidak bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab (Frans Magnis Suseni; Menalar Tuhan, hal. 13).  

Membangun kehidupan demokrasi di Indonesia sangat penting dimulai dengan membangun sikap toleransi. Sejarah konflik yang dilatar belakangi agama telah mengajarkan banyak hal kepada kita semua. Sikap intoleransi merupakan sumber terjadinya konflik antar umat beragama dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memyembuhkan kembali segala luka yang ada. Kita semua tentu tidak menghendaki masalah seperti ini terus terjadi di dalam kehidupan bernegara dan kehidupan sehari-hari kita.

Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda. 

Mengapa kita perlu mengedepankan sikap toleransi terhadap perbedaan agama itu? Hal ini bisa didekati dari tiga perspektif yakni secara praktis, teoritis dan konstitusional. Secara praktis, dalam kehidupan yang nyata, bahwa setiap orang mempunyai kepercayaannya sendiri-sendiri. Sebelum agama itu ada, manusia hidup dalam berbagai kepercayaan yang berbeda-beda. Ada yang percaya kepada anismisme dan ada yang percaya kepada dewa-dewa. Semuanya itu berangkat dari prinsip bahwa manusia itu adalah mahluk yang memiliki akal budi yang dengan bebas untuk memikirkan apa yang diyakininya.

 Sedangkan secara teoritis, toleransi diperlukan berkaitan dengan upaya mewujudkan suatu kehidupan yang baru, yang harmonis, yang damai dalam ruang lingkup yang lebih luas. Situasi itu akan terwujud kalau semua masyarakat berpartisiasi bersama, memberikan kontribusi secara positif, dan yang tidak lagi berlandaskan pada dogma agamanya atau ajarannya tetapi bergantung pada moral dan kebajikan para anggota masyarakat itu sendiri.

 Secara konstitusional, berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD 945 mengatakan; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu''. Negara telah menjamin warga NKRI untuk memilih agama atau kepercayaan yang dianutnya. Negara menjamin setiap warga negaranya beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaanya itu. Secara legitimasi, dengan diaturnya kebebasan beragama dan beribadat yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2), maka bukan hanya negara saja yang harus bertanggung jawab tetapi rakyat juga turut serta untuk menjamin kebebasan beragama dan beribadat itu terjadi.

Membangun Karakter Toleransi. 

Toleransi haruslah menjadi karakter warga seluruh umat NKRI. Untuk mewujudkan karakter tersebut, perlu ada pola yang harus dirancang untuk adanya proses keberlanjutan. Generasi muda saat ini merupakan embrio kehidupan toleransi ke depan. Sikap toleransi perlu ditanamakan. Kadang kita terjebak dalam pola formalisme menanamkan sikap toleransi itu. Kehidupan toleransi sesungguhnya adalah terlibat dalam kehidupan yang nyata, yang dijalankan dalam interaksi harian. Misalnya, kita membuka diri untuk mencari dan mau bergaul, mau menjalin hubungan persahabatan dengan mereka beragama lain dalam sikap saling menerima dan mengharagai. Disananalah kita akan akan temukan makna dari toleransi itu sesungguhnya. Tanpa terlibat dalam kehidupan yang kontekstual, kita hanya akan memaknai toleransi sebagai pajangan yang digunakan jika dibutuhkan, kemudian disimpan kembali jika tidak dibutuhkan.

Hal yang sangat penting adalah perlunya satuan pendidikan khususnya di tingkat dasar sebagai institusi strategis untuk membangun karakter toleransi sejak dini. Negara perlu memperhatikan pendidikan karakter toleransi ini secara serius. Anak-anak sejak dini mulai diperkenalkan dengan kemajemukan beragama. Agama sebagai salah satu sumber moral dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan karakter toleransi. Sebagai bangsa yang majemuk, toleransi itu tidak dipandang sebagai sikap sementara atau sikap yang dibuat dengan tujuan untuk aman  dan tidak terjadi konflik dalam jangka waktu sesaat. Toleransi haruslah menjadi karakter bangsa karnanya pekerjaan terbesar bangsa dan negara saat ini adalah bagaimana membentuk karakter toleransi kepada semua warga dari generasi generasi ke generasi. Dengan karakter toleransi yang kuat dan mengakar, orang tidak lagi mudah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekenomi sesaat.  

Selain itu, penegakan hukum terhadap orang-orang yang menyebarkan kebencian kepada agama-agama tertentu perlu ditegakan. Tanpa penegakan hukum, orang-orang yang menyebarkan kebencian itu semakin kuat dan akan semakin banyak orang yang terpengaruh.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun