Mohon tunggu...
Silvester Deniharsidi
Silvester Deniharsidi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Labuan Bajo

Tertarik pada isu-isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Flores Geothermal Island, Tantangan Ketersediaan Listrik di Flores

21 April 2022   10:51 Diperbarui: 26 April 2022   16:46 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia selalu mencari inovasi agar kebutuhan energi terus mencukupi. Sejak tahun 2017, misalnya, Pemerintah menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi atau Flores Geothermal Island.

Manusia terus belajar mendapatkan sumber energi. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia selalu mencari inovasi agar kebutuhan energi terus mencukupi.  

Sumber energi konvensional yang sering digunakan oleh manusia  adalah biomass yang dibentuk dalam bentuk kayu, rumput dan kotoran. 

Namun, penggunaan energi yang berbahan biomass itu tidak mencukupi kebutuhan energi manusia yang terus berkembang.

Untuk memenuhi kebutuhan energinya, manusia menemukan sumber energi yang terkandung di dalam perut bumi seperti gas, minyak bumi dan batu bara, yang masuk dalam kategori energi fosil. Penemuan energi fosil membawa keuntungan yang sangat besar bagi kecukupan dan pilihan energi bagi kebutuhan manusia. 

Penggunaan gas, minyak dan batu bara tumbuh sangat tinggi sampai dengan saat ini. Namun manusia di era sekarang  mulai menyadari, penggunaan energi fosil seperti gas, minyak dan batu bara dalam jangka waktu  panjang   membawa dampak buruk terhadap lingkungan kehidupan manusia itu sendiri.

Dampak buruk penggunaan energi fosil adalah pertama terjadinya efek gas rumah kaca. Penggunaan energi fosil  menghasilkan  limbah karbon dioksida yang merupakan senyawa kimia salah satu pemicu terjadinya efek gas rumah kaca. 

Secara alami, sinar matahari yang masuk ke bumi akan dipantulkan kembali oleh bumi dan atmosfer keluar dari atmosfer. Namun proses alami itu terhambat, karena panas bumi terperangkap oles gas emisi seperti karbon dioksida pada atmosfer. Gas emisi tersebut kebanyakan berasal dari asap kendaraan dan pabrik serta kebakaran hutan.

Kedua, menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran air.  Misalnya batu bara yang proses ekstraksinya harus dilakukan pengupasan dan menyisakan kubangan-kubangan, seperti yang terjadi di Kalimantaan saat ini menimbulkan dampak buruk terhadap bentangan alam, penurunan kesuburan tanah, terjadinya ancanaman terhadap keanekaragaman hayati, penurunan kualitas air dan udara. 

Selain itu, penggunaan energi fosil telah menghasilkan limbah dalam bentuk karbon dioksida, oksidan nitrogen dan metana menyebabkan terjadinya polusi udara dan mengganggu atmosfir bumi.  

Dengan dampak-dampak buruk tersebut, negara-negara di dunia berusaha mencari energi alternative untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Dunia saat ini mendorong penggunaan energi hijau (green energy) ramah lingkungan karena tidak mencemari atau menambah polutan. 

Energi hijau dipandang memiliki keunggulan antara lain dari aspek ketersediaan cukup melimpah, dapat diperoleh dengan biaya yang seimbang, penggunaannya mengurangi atau menghilangkan emisi gas rumah kaca dan dapat diisi ulang. Energi hijau ini dapat diperoleh dari sumber yang ramah lingkungan seperti  sinar matahari, angin, air, panas bumi dan bioenergi.

Tantangan Pemanfaatan Energi Panas Bumi di Flores

Tantangan terbesar pengelolaan energi panas bumi di Pulau Flores saat ini adalah adanya penolakan sebagian masyarakat di lokasi sumber panas bumi. Alasan penolakan pada umumnya didasari adanya pemahaman bahwa  pemanfaatan panas bumi akan merusak lingkungan, mengandung gas beracun hidrogen sulfida (H2S), dan mengganggu air permukaan. 

Alasan-alasan penolakan tersebut dapat diterima karena masih banyak masyarakat yang belum memahami proses pengelolaan energi panas bumi dan beberapa wilayah pengelolaan panas bumi telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat setempat. 

Misalnya kejadian kebocoran pada  Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikerjakan PT Sorik Marapi Geothermal Plant (SMGP). 

Akibatnya, lima orang warga Mandailing Natal, Sumatera Utara meninggal dunia diduga akibat gas beracun dari kebocoran tersebut, serta puluhan warga harus dilarikan ke puskesmas. Kejadian tersebut menimbulkan, penggunaan energi panas bumi masih belum menjamin kenyamanan bagi masyarakat.

Pemanfaatan energi panas bumi tidak dapat disangkal akan tetap ada gangguan terhadap lingkungan sekitar, namun dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi gangguan itu bersifat sementara. 

Isu-isu yang terkait dengan pengelolaan panas bumi adalah gangguan terhadap lingkungan sekitar (flora dan fauna), gangguan terhadap atmosphere (polusi udara, suara, air hujan) daerah kawasan hutan akan berkurang dan terganggu (polusi tanah, erosi, stabilitas tanah berkurang) dan kualitas air di lingkungan sekitarnya berubah, dan gangguan terhadap masyarakat. 

Gangguan terhadap lingkungan disebabkan karena adanya emisi karbon dioksida (C02). Emisi CO2 dari pembangkit panas bumi, meskipun tidak nol, namun sangat rendah dibandingkan pembangkit energi lain yang menggunakan energi fosil. Dampak proyek pengembangan geothermal umumnya sangat terlokalisir dan terkonsentrasi pada saat konstruksi serta mitigasi dapat dengan mudah diterapkan.

Terhadap fungsi hutan, Abimanyu (2010) menegaskan, tudingan bahwa kegiatan pengelolaan panas bumi akan menimbulkan kerusakan hutan sangat tidak berdasar mengingat kelangsungan pemanfaatan panas bumi juga sangat tergantung pada terjaganya kondisi hutan. 

Hutan sebagai daerah tangkapan hujan akan menyimpan air (meteoric water) dengan baik sebelum masuk kedalam reservoir atau dengan kata lain hutan berfungsi menghambatan air hujan sehingga tidak menjadi run-off water yang akan mengalir ke sungai. 

Oleh karena energi panas bumi yang ramah lingkungan dan terbaharukan inilah maka perlu dicarikan suatu pola pengembangan di dalam kawasan hutan sehingga menghasilkan sinergi yang saling menguntungkan.

Begitu pula kekuatiran terhadap lahan-lahan yang digunakan dalam melakukan eksplorasi panas bumi. Dalam tehnis pelaksanaan pada saat pembersihan dan persiapan lahan, akan ada langkah-langkah untuk pencegahan erosi dan tanah longsor. 

Pada area yang curam, akan dibuat dinding penahan tanah/bronjong (retaining wall) atau ditanami dengan tanaman yang dapat menahan erosi. 

Pembukaan lahan tidak boleh melebihi batas area proyek yang akan digunakan, dan apabila kegiatan telah selesai maka akan dilakukan revegetasi (penenaman kembali dengan tanaman, vegetasi lokal segera setelah kegiatan selesai. Revegetasi atau penanaman kembali dengan tanaman atau vegetasi akan segera dilakukan setelah lahan tidak digunakan dan menggunakan top soil/tanah pucuk yang disimpan dan digunakan kembali saat revegetasi.

Terkait dengan isu gangguan terhadap air permukaan juga tidak punya dasar . Kedalaman pengeboran eskplorasi mencapai 1.500 – 2.500 meter di bawah permukaan tanah. Pengeboran panas bumi jauh di bawah level air tanah yang dimanfaatkan oleh kehidupan masyarakat.  

Kedalaman air tanah pada umumnya adalah kurang dari 200 meter. Dengan demikian, pengeboran eksplorasi tidak akan mengganggu mata air sebagai sumber bagi penduduk setempat. Proyek tidak memakai air dari mata air karena tidak cukup debitnya untuk keperluan pengeboran.

Gangguan terhadap kualitas udara adalah berupa debu dihasilkan dari kegiatan konstruksi, dan dan gangguan dari emisi gas buang dari kendaraan maupun peralatan yang digunakan selama kegiatan konstruksi dan pengeboran. 

Untuk meminimalkan dampak kualitas udara, maka telah disiapkan langkah-langkah mitigasi yang harus dilakukan oleh pelaksana dalam melaksanakan pekerjaan di lapangan. Mitigasi yang dilakukan adalah penyiraman jalan tanah, penggunaan Kendaraan yang sudah lolos uji emisi gas buang dan memastikan adanya servis berkala untuk memastikan mesin-mesin yang digunakan memenuhi standar emisi yang ditetapkan. 

Pemilihan kendaraan dengan mempertimbangkan dampaknya pada total emisi gas buang. Memastikan bahwa mesin-mesin di proyek tidak dinyalakan bilamana tidak diperlukan. Melakukan monitoring udara secara teratur dan berkala. Mengurangi ketinggian pada saat meletakkan material untuk mengurangi debu yang dihasilkan.

Terkait dengan adanya potensi bahaya timbulnya gas hidrogen sulfida (H2S) pada saat kegiatan pengeboran sumur eksplorasi maupun kegiatan uji sumur (well testing), yang paling berpotensi terkena bahaya adanya H2S adalah pekerja di lokasi pengeboran (terdekat dengan sumber H2S). 

Mitigasi dapat dilakukan dengan melakukan evakuasi sementara dengan prosedur tanggap darurat yang sudah dipersiapkan. Akan ada pelatihan/simulasi bersama masyarakat mempersiapkan apabila menghadapi situasi darurat .

Kandungan CO2 dan H2S pada energi panas bumi sangat rendah bila dibandingkan dengan minyak dan batubara. Untuk meminimalkan dampak H2S, pada area well pad, pelaksana  akan memasang alat deteksi H2S dimana alarm berbunyi apabila terdeteksi ada konsentrasi H2S di udara yang melebihi ambang batas. 

Proses evakuasi dilakukan dengan memindahkan sementara pekerja ke titik kumpul (muster point) yang ditetapkan sesuai prosedur tanggap darurat sampai kondisi dinyatakan aman untuk kembali.

 Mitigasi untuk H2S dengan penggunaan kipas besar (blower) untuk menghembuskan keluaran H2S dari sumbernya sehingga ter-disperse. Peralatan ini akan disediakan oleh kontraktor drilling. Selain dipasang alarm, dipasang rambu-rambu penghalang termasuk balon/bendera angin (wind socks) juga akan dipasang untuk membantu melihat arah angin.

Karena emisinya yang rendah, energi panasbumi memiliki kesempatan untuk memanfaatkan Clean Development Mechanism (CDM) produk Kyoto Protocol. Mekanisme ini menetapkan bahwa negara maju harus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 5.2% terhadap emisi tahun 1990, dapat melalui pembelian energi bersih dari negara berkembang yang proyeknya dibangun diatas tahun 2000. 

Juga pada tanggal 22 April 2016, 195 negara telah menandatangangi Paris Agreement oleh 195 negara. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Indonesia telah menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut.

Peluang Pemanfaatan Energi Panas Bumi Di Flores 

Rasio elektrifikasi di NTT paling rendah secara nasional yang hanyaa mencapai 85, 84% dari elektrifikasi nasional sebesar 98,89 %. Selama ini energi listrik yang ada mengandalkan energi fosil (batu bara). Data tersebut menunjukan, masih ada wilayah, khususnya warga yang tinggal di pedesaan belum dapat menikmati listrik. 

Warga pedesaan yang belum dapat mengakses energi listrik, pada umumnya menggunakan pelita, panel surya, lampu semprong dan mesin generator yang hanya digunakan untuk kebutuhan penerangan. 

Masyarakat yang sudah menikmati listrik pun masih belum bebas dari masalah. Seringkali terjadi listrik mati-hidup. Penggunaan energi listrik yang bersumber bahan bakar batu bara di beberapa kota di Flores juga belum mencukupi pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat Flores pada umumnya.

Ketersediaan energi listrik merupakan suatu kebutuhan dasar saat ini karena penggunaan listrik bisa untuk melakukan kegiatan seperti pompa irigasi, industri pedesaan, bengkel, peralatan pertanian, pendidikan dan sebagainya yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk dan meningkatkan kemampuan/keahlian masyarakat. 

Kekurangan energi tersebut membawa dampak lambannya pertumbuhan ekonomi masyarakat yang akhirnya masyarakat tersebut sulit keluar dari garis kemiskinan. Masyarakat yang kekurangan listrik hidup dalam dengan keterbatasan. Produktivitas kerja sangat rendah. 

Mereka akan kalah bersaing. Misalnya, seorang tukang meubeler di desa, yang mengerjakan meja dan kursi dengan tenaga, akan kalah bersaing dengan tukang yang sudah bekerja dengan menggunakan teknologi karena tersedianya energi listrik. 

Pulau Flores merupakan salah satu pulau di NTT yang terdiri dari sembilan kabupaten yakni; Flores Timur, Sika, Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat, yang tentu saja menghadapi masalah kekurangan energi listrik. 

Untuk mengatasi kekurangan energi di Pulau Flores, Pemerintah melalui Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) mendorong penggunaan sumber daya energi yang ada di pulau Flores itu sendiri. Salah satu sumber daya energi yang melimpah di Pulau Flores adalah panas bumi.

Sejak tahun 2017, Pemerintah menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi atau Flores Geothermal Island, melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268. Tujuannya untuk melakukan pemerataan pembangunan dalam rangka kemandirian dan ketahanan energi. 

Penetapan ini sangatlah mendasar karena Flores memiliki sumber daya panas bumi yang melimpah. Dari data Kementrian ESDM menunjukan Flores memiliki sumber daya sebesar 929,5 MW yang sumbernya merata di setiap kabupaten seperti di Sokoria, Mataloko, Ulumbu dan Wae Sano-Manggarai Barat. 

Dari sumber daya panas bumi yang tersedia, kapasitas terpasang panas bumi baru 12,5 MW (Ulumbu 10 MW, Mataloko 2,5 MW) + sedang dibangun Sokoria 5 MW.

Pemanfaatan sumber energi panas bumi di Flores dapat dipandang sebagai pilihan yang sesuai dengan kondisi Pulau Flores karena beberapa alasan. Pertama, energi panas bumi yang tersedia sangat melimpah. Semua kabupaten di Pulau Flores memiliki sumber energi panas bumi. Kedua, di era kepemimpinan Jokowidodo, Pemerintah telah memberi perhatian yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Flores. 

Hal ini tentu momentum yang sangat besar agar Pulau Flores dapat keluar dari masalah kekurangan energi listrik. Peluang ini harus dimanfaatkan dengan baik. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. 

Kita tidak pernah tahu, setelah kepemimpinan Presiden Jokowidodo. Beruntung kalau pemimpin selanjutnya memberikan perhatian yang sama. Kalau sebaliknya, hal ini akan membawa kerugian besar bagi kemajuan di Pulau Flores itu sendiri.

Ketiga, pemanfaatan energi panas bumi sangat cocok dengan kondisi di Pulau Flores yang memiliki panorama alam yang indah. Pulau Flores saat ini adalah salah satu destinasi unggul untuk pariwisata yang mengandalkan pada keindahan alam. 

Untuk menjaga lingkungan tersebut, maka pilihan penggunaan energinya  adalah  energi yang ramah lingkungan. Keempat, pemanfaatan energi listrik yang menggunakan panas bumi akan membangun kemandirian ketersediaan tenaga listrik di Flores. 

Sumber energi listrik di Pulau Flores yang masing menggunakan energi fosil akan mengalami berbagai hambatan seperti masalah transportasi bahan baku yang datangnya dari luar Pulau Flores. 

Jika pasokan bahan baku tersebut terhambat, hal ini akan menyebabkan penggunaan listrik di rumah-rumah akan terganggu pula seperti terjadinya pemadaman bergilir dan sering terjadi listrik hidup mati.

Adapun kekuatiran-keuatiran terhadap gangguan pada lingkungan, hutan dan sosial kemasyarakatan, baik yang tehnis maupun sosial  menjadi bahan untuk mengawal proses pemanfaatan panas bumi agar tetap menjaga kelestarian lingkungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. 

Kekuatiran tersebut sebaiknya menjadi peluang yang harus dikomunikasikan melalui proses dialog secara terbuka antara masyarakat, Pemerintah dan pelaksana. 

Sumber: dihimpun dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun