Mohon tunggu...
Silva Oktaviana Suwandi
Silva Oktaviana Suwandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya seorang mahasiswi Hubungan Internasional di Universitas lslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya merupakan mahasiswi Hubungan Internasional semester 6 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya memiliki minat dalam hal politik, ekonomi, hukum, dan politik dalam negeri maupun luar negeri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Nuklir Korea Utara dan Dampak Geopolitiknya: Sejarah dan Strategi Pencegahan

14 September 2024   16:16 Diperbarui: 14 September 2024   16:23 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semenanjung Korea menghadapi ketegangan yang meningkat akibat ancaman nuklir. Korea Utara terus mengembangkan program nuklir dan rudal serta melakukan uji coba senjata secara rutin. Hal ini menjadi ancaman bagi stabilitas regional maupun global serta memicu kekhawatiran serius bagi Korea Selatan dan sekutunya. Korea Selatan merespon dengan memperkuat aliansi militernya, terutama dengan Amerika Serikat dan Jepang. 

Mereka fokus pada strategi penangkalan nuklir untuk mengimbangi ancaman dari utara. Situasi ini menciptakan ketidakstabilan di kawasan, memicu perlombaan senjata, dan meningkatkan risiko konflik. Upaya diplomasi dan negosiasi untuk denuklirisasi sering mengalami kebuntuan. Organisasi internasional terus berupaya mencari solusi damai, namun tetap adanya tantangan mengingat perbedaan kepentingan kedua Korea dan keterlibatan kekuatan global dalam dinamika kawasan.

Senjata nuklir dapat dipakai sebagai bargaining power, yaitu dimana suatu pihak memegang kendali dan dapat mempengaruhi pihak lain. Sering kali digunakan sebagai simbol status suatu negara, kekuatan militer, dan alat politik, sehingga senjata nuklir perlu diawasi serta dibatasi, salah satuya melalui perjanjian Non Proliferasi. Perkembangan nuklir Korea Utara mengancam perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea bahkan hingga ke Asia Timur, Asia Selatan, dan dunia internasional serta mencelakai perjanjian Non Proliferasi internasional.

SEJARAH PERKEMBANGAN NUKLIR KOREA UTARA

Korea Utara memiliki sejarah panjang dan kompleks terkait program nuklirnya. Negara tersebut awalnya menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), namun pada tahun 1993 memutuskan untuk menarik diri. Keputusan ini membuka jalan bagi kemajuan signifikan dalam pengembangan teknologi nuklir Korea Utara. 

Setahun kemudian, pada 1994, Amerika Serikat dan Korea Utara mencapai kesepakatan untuk membekukan fasilitas nuklir plutonium Korea Utara selama beberapa tahun. Perjanjian ini akhirnya gagal karena kecurigaan Amerika Serikat terhadap pengembangan program nuklir berbasis Uranium oleh Korea Utara.

Situasi semakin memanas ketika pada tahun 2002, Korea Utara kembali mengoperasikan fasilitas nuklir plutoniumnya. Menanggapi perkembangan ini, negara-negara di kawasan tersebut memulai upaya diplomatik kolektif yang dikenal sebagai "Six Party Talks" pada tahun 2003. 

Dialog ini melibatkan enam negara, antara lain Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang, Rusia, dan China. Dalam perkembangan yang menjanjikan, Korea Utara pada tahun 2005 menyetujui untuk mengakhiri program nuklirnya dengan imbalan bantuan energi dan jaminan keamanan. Namun, belum ada pertemuan kembali sejak Desember 2008 karena ketidaksepakatan di antara pihak-pihak yang terlibat.

Korea Utara telah melakukan serangkaian uji coba nuklir yang menandai perkembangan signifikan dalam program persenjataan nuklirnya. Dimulai dengan uji coba pertama pada tahun 2006, negara tersebut kemudian melanjutkan dengan uji coba kedua pada 2009 dan ketiga pada 12 Februari 2013. Intensitas uji coba meningkat pada tahun 2016 dengan dua kali percobaan, yaitu pada bulan Januari dan September. 

Puncaknya terjadi pada tahun 2017 ketika Korea Utara melakukan uji coba keenam sekaligus meluncurkan rudal balistik kelas ICBM yang mampu mencapai daratan Amerika Serikat, meningkatkan kekhawatiran global dan menjadikan Korea Utara sebagai ancaman langsung tidak hanya bagi kawasan Asia Timur tetapi juga bagi keamanan global.

Ketegangan di Semenanjung Korea semakin memanas akibat adanya tindakan agresif yang dilakukan Korea Utara. Pada Maret 2010, Korea Utara menyerang kapal angkatan laut Korea Selatan Cheonan. Kemudian pada November 2010, terjadi penembakan Pulau Yeonpyeong. Bersamaan dengan itu, pada 12 November 2010, terungkap adanya aktivitas pengembangan uranium di Yongbyon. 

Upaya diplomasi kembali dilakukan pada tahun 2012 ketika Amerika Serikat dan Korea Utara menyepakati moratorium uji coba nuklir dan peluncuran rudal. Namun, kesepakatan ini gagal setelah Korea Utara meluncurkan rudal jarak jauh pada 13 April dan mendeklarasikan diri sebagai "Nuclear State" pada 9 Maret.

Perkembangan kebijakan nuklir Korea Utara semakin tegas dengan penerapan kebijakan "Byungjin" pada 31 Maret, yang bertujuan mendorong pembangunan ekonomi dan kekuatan nuklir secara bersamaan. Hal ini diperkuat dengan pemberlakuan undang-undang tentang penguatan posisi negara bersenjata nuklir pada 1 April, dan penggabungan kebijakan Byungjin ke dalam peraturan Partai Pekerja Korea pada Mei 2016. 

Tahun 2018 membawa harapan baru dengan tercapainya beberapa kesepakatan antara Korea Selatan, AS, dan Korea Utara melalui tiga KTT antar-Korea dan KTT AS-Korea Utara pertama. Namun, KTT AS-Korea Utara kedua di Hanoi pada 27-28 Februari 2019 berakhir tanpa hasil signifikan. Sejak saat itu, Korea Utara menolak seruan perundingan denuklirisasi dari masyarakat internasional.

Pada tahun 2021, Korea Utara semakin menegaskan tujuannya untuk memperkuat kekuatan nuklir dan pertahanan. Mereka meningkatkan uji coba rudal, termasuk jenis hipersonik dan SLBM. Periode 2022-2023 ditandai dengan peningkatan drastis peluncuran rudal balistik. Lebih jauh lagi, Korea Utara meresmikan kebijakan nuklir yang lebih agresif dalam undang-undang dan konstitusi mereka, menunjukkan komitmen kuat terhadap program nuklir mereka.

DAMPAK GLOBAL DAN STRATEGI PENCEGAHAN: RESPONS TERHADAP ANCAMAN NUKLIR KOREA UTARA 

Ancaman nuklir di Semenanjung Korea telah menimbulkan gelombang dampak yang meluas hingga ke Asia Selatan dan Tenggara. Sebagai respons terhadap tindakan Korea Utara, negara-negara sekitar telah mengambil langkah-langkah strategis. India dan Pakistan telah melakukan uji coba rudal balistik, sementara Rusia dan China menyelenggarakan latihan militer bersama. Hal ini menunjukkan bahwa krisis keamanan di Semenanjung Korea memiliki implikasi geopolitik. 

Menghadapi situasi ini, Korea Selatan telah mengambil berbagai inisiatif dan langkah strategis untuk menghadapi ancaman ini. Salah satunya adalah dengan memperkuat aliansi jangka panjang melalui peningkatan kerja sama trilateral keamanan antara Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Selain itu, Korea Selatan juga menjalin kemitraan dengan organisasi internasional seperti United Nations Command (UNC) dan NATO.

Di sisi lain, Korea Utara terus mengembangkan kemampuan nuklir dan rudal balistiknya, bahkan mengerahkan 250 peluncur rudal balistik taktis baru di sepanjang Zona Demiliterisasi yang memisahkan kedua Korea. Korea Utara juga menjalin kemitraan strategis dengan Rusia, yang dinilai oleh Korea Selatan sebagai faktor destabilisasi di Semenanjung Korea dan seluruh kawasan Indo-Pasifik. Dalam merespons ancaman ini, Korea Selatan telah memfokuskan strateginya pada penguatan kemitraan dengan Amerika Serikat, terutama dalam hal pencegahan nuklir. 

Kedua negara telah mendirikan Nuclear Consultative Group (NCG) untuk menyelaraskan upaya perluasan pencegahan nuklir dan pada pertengahan 2024 mereka menerbitkan panduan bersama yang menjelaskan cara menerapkan pencegahan nuklir untuk menghadapi ancaman dari Korea Utara.

Selain itu, aliansi antara Korea Selatan dan Amerika Serikat juga bertujuan untuk mengintegrasikan kemampuan militer Korea Selatan dengan aset strategis AS. Melalui latihan militer seperti Freedom Edge yang mencakup operasi udara, siber, dan maritim, kemitraan antara Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat memiliki nilai strategis dalam melawan ancaman dari Korea Utara, China, dan Rusia. Upaya-upaya pencegahan lainnya termasuk latihan militer gabungan dan penempatan sistem pertahanan rudal seperti  Terminal High Altitude Area Defense (THAAD). 

Peningkatan kerja sama keamanan internasional, seperti kolaborasi erat Korea Selatan dengan UNC dan NATO, serta bergabungnya Jerman ke UNC menunjukkan dukungan global yang meningkat untuk pertahanan Korea Selatan. Kolaborasi ini diharapkan dapat memperkuat upaya Korea Selatan dalam menjaga keamanan dan perdamaian di wilayahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun