Mohon tunggu...
Silva Oktaviana Suwandi
Silva Oktaviana Suwandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya seorang mahasiswi Hubungan Internasional di Universitas lslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya merupakan mahasiswi Hubungan Internasional semester 6 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya memiliki minat dalam hal politik, ekonomi, hukum, dan politik dalam negeri maupun luar negeri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Laut China Selatan dan Upaya Indonesia dalam Mempertahankan Kedaulatan di Laut Natuna

23 Mei 2024   20:13 Diperbarui: 23 Mei 2024   20:24 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Laut China Selatan merupakan wilayah perairan laut dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi yang strategis karena menjadi jalur  perdagangan dunia yang menghubungkan dua samudera. LCS juga memiliki cadangan gas alam dan minyak bumi di kepulauan Spratly dan Paracel mencapai 105 miliar barel, serta memiliki banyak keanekaragaman hayati sehingga menjadi sengketa bagi enam negara, antara lain China, Taiwan, Brunei Darussalam, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Bahkan, menurut Badan Informasi Energi Amerika Selatan cadangan gas alam dan minyak di LCS terbanyak ketujuh di dunia. 

Klaim yang dilakukan oleh keenam negara tersebut atas wilayah teritorial dan kepemilikan terumbu karang serta kekayaan alam di dalamnya. Atas dasar kepentingan nasional masing-masing, terjadinya klaim tumpang tindih di Laut China Selatan sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan.

Konflik Laut China Selatan merupakan sengketa wilayah laut yang berbatasan dengan beberapa negara yang hingga kini masih menjadi persoalan bagi negara-negara di sekitar kawasan tersebut. Berikut merupakan negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, antara lain Vietnam di sisi barat, Filipina, Malaysia dan Brunei di sisi timur, Indonesia dan Malaysia di sisi selatan, serta RRC dan Taiwan di sisi utara. Konflik LCS sangat kompleks karena negara-negara di atas melakukan klaim teritorial yang tumpang tindih di wilayah perairan tersebut. 

Klaim tersebut didasari pada kepentingan nasional setiap negara sekaligus kepentingan strategis bagi perdagangan dan keamanan wilayah perairan. Konflik ini semakin memanas karena adanya klaim sepihak oleh China dengan konsep sembilan garis putus-putus atau nine dash line dengan alasan sejarah masa lalu China yang tidak berlandaskan hukum internasional apapun. Indonesia bukan merupakan salah satu negara yang melakukan klaim terhadap Laut China Selatan, namun karena peta terbaru China tahun 2009 terkait nine dash line memotong sebagian wilayah perairan Laut Natuna Utara Indonesia. 

Laut Natuna masuk ke dalam 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sehingga Indonesia memiliki kepentingan di dalamnya termasuk memiliki hak dalam memberi izin negara lain yang berkepentingan di dalamnya. Hal tersebut menjadi sebuah ancaman bagi Indonesia sehingga  stabilitas keamanan  dan  ekonomi Indonesia terganggu.

AGRESIVITAS CHINA DI KAWASAN LCS

Nine dash line yang kini menjadi ten dash line pada tahun 2023 lalu merupakan garis khayalan yang dibuat oleh China yang tidak berdasarkan United Nation Convention on the Law of the Sea 1982. UNCLOS merupakan Konvensi Hukum Laut PBB yang mengatur mengenai perairan teritorial termasuk ZEE dan landas kontinen. 

Negara-negara yang mengklaim LCS telah meratifikasi UNCLOS 1982 termasuk juga Indonesia. Indonesia melakukan berbagai upaya guna mempertahankan kepentingan nasionalnya di wilayah yang sedang disengketakan yaitu Laut Natuna. Agresivitas China dalam konflik LCS semakin memperkeruh hubungan negara-negara terkait dengan adanya proyek reklamasi pulau-pulau buatan di wilayah LCS. 

Bahkan pulau tersebut dikhususkan untuk mendukung keperluan militer China dengan membangun infrastruktur seperti dermaga, pos penjagaan, hingga landasan udara untuk pesawat-pesawat militer. Indonesia juga memiliki konflik dengan China terkait Traditional Fishing Ground dimana pihak pemerintah China meminta Indonesia untuk tidak menangkap nelayan China yang beraktivitas di zona Traditional Fishing Ground. Berdasarkan Pasal 51 UNCLOS, Traditional Fishing Ground harus didasari oleh perjanjian bilateral seperti yang dilakukan Indonesia dengan Malaysia. 

China menerapkan konsep Traditional Fishing Ground berlandaskan nine dash line yang mereka buat. Selain itu, Filipina pernah menggugat China ke International Court Justice (ICJ) tahun 2013 dan baru diterima tahun 2015. Hasil dari gugatan tersebut bahwa China tidak memiliki hak ZEE di kepulauan spratly dan pulau buatan lainnya karena pada dasarnya pulau buatan tidak memiliki hak ZEE. Dalam gugatan tersebut, Indonesia turut mendukung sebagai bentuk ketidakberpihakan terhadap China. Tidak hanya bagi negara-negara yang bersengketa, China juga dianggap mengancam kedaulatan Indonesia.

LANGKAH INDONESIA DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSINYA DI LAUT NATUNA

Kedaulatan merupakan hal yang mutlak dan hakiki dari suatu negara serta prinsip dasar yang harus dihormati oleh setiap negara di dunia. Kedaulatan mempresentasikan kekuasaan dari suatu negara dalam melakukan otoritas di wilayahnya. Batas wilayah suatu negara merupakan bentuk dari kedaulatan negara sehingga negara bebas mengekplorasi sumber daya alam yang terdapat di wilayahnya. 

Beberapa langkah yang dapat dilakukan Indonesia untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya di wilayah perairan Laut Natuna. Pertama, Indonesia harus melangsungkan diplomacy border dengan negara-negara sekitar sehingga jelas mengenai batas wilayah sekaligus hak eksplorasi SDA di wilayah masing-masing. Kedua, meningkatkan kegiatan eksplorasi sumber energy minyak dan gas alam di perairan Laut Natuna. 

Kegiatan eksplorasi tersebut membantu Indonesia menunjukkan eksistensinya di wilayah perbatasan tersebut. Ketiga, meningkatkan pertahanan militer di wilayah perbatasan karena China mulai agresif dengan mendirikan pangkalan-pangkalan militer di pulau-pulau buatannya. Langkah tersebut sebagai bentuk kesiapsiagaan Indonesia dalam pertahanan Laut Natuna, apabila jalur diplomasi tidak dapat ditempuh.

PERAN AKTIF INDONESIA MELALUI KEKETUAAN ASEAN 2023

Ancaman di Laut China Selatan tidak mampu diselesaikan oleh satu negara saja, melainkan perlunya kerjasama negara-negara yang bersangkutan ataupun melalui organisasi internasional seperti ASEAN. Pihak China beberapa kali menolak dialog yang difasilitasi oleh organisasi internasional dan memilih untuk mengambil langkah penyelesaian secara bilateral. Salah satu contoh yaitu menolak gugatan Filipina tahun 2013 dan menganggap campur tangan ICJ hanya memperkeruh keadaan. Indonesia berperan aktif melalui bilateral maupun regional di ASEAN.  

Melalui keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023, ASEAN dan China berhasil menyepakati kerangka Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan yang ditargetkan selesai dalam tiga tahun yaitu pada tahun 2025 mendatang. Sebagaimana kebijakan luar negeri Indonesia yaitu “Bebas Aktif” dimana Indonesia akan selalu mengedepankan jalur diplomasi preventif dan prinsip kedaulatan suatu negara. Walaupun upaya diplomasi sudah dilakukan sejak dahulu, namun memerlukan waktu yang lama. Setiap negara memiliki kepentingan masing-masing dan berupaya untuk menyatukan berbagai kepentingan tersebut agar selaras dengan tujuan bersama.

Indonesia tidak terlibat secara langsung sengketa wilayah LCS, namun dirugikan atas klaim nine dash line dan ten dash line yang tumpang tindih dengan Laut Natuna. Sedari dahulu, Indonesia telah mengambil peran sebagai negara mediator dalam konflik LCS. Indonesia pernah menginisiasikan lokakarya the Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea yang menghasilkan Declaration of the Conduct of the Parties in South China Sea pada tahun 2002. 

Namun, setelah peta baru nine dash line tahun 2009 yang tumpang tindih dengan Laut Natuna, Indonesia merasa terancam. Oleh karenanya, Indonesia melakukan berbagai upaya untuk memperkuat dan mempertahankan wilayah Laut Natuna. Selain upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia baik secara langsung dengan China maupun melalui forum internasional, Indonesia juga melakukan upaya pertahanan melalui penguatan militer di wilayah tersebut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun