Mohon tunggu...
Silvany Dianita
Silvany Dianita Mohon Tunggu... Psikolog - I'm a Adult Clinical Psychologist

When you care for yourself first, the world will also find your worthy of care.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengenali Diri Lewat Overthinking: Perspektif dari The Anxious Generation pada Era Digital

3 Januari 2025   14:05 Diperbarui: 3 Januari 2025   14:15 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi dari Canva.com

Sementara itu, Viktor Frankl (2018), dalam bukunya Man's Search for Meaning menawarkan perspektif yang lebih filosofis terhadap overthinking. Frankl berpendapat bahwa tekanan dan tantangan hidup, yang sering memicu pikiran berlebihan, sebenarnya adalah peluang untuk menemukan makna hidup. Ia menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menemukan makna bahkan di tengah penderitaan atau tekanan yang besar.

Dalam konteks overthinking, Frankl melihatnya bukan sebagai musuh, melainkan sebagai proses introspeksi mendalam yang dapat mengarahkan individu pada pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup mereka. Dengan memahami emosi dan pikiran yang muncul selama overthinking, individu dapat memanfaatkan momen tersebut untuk mendefinisikan ulang tujuan dan makna hidup mereka.

Sedangkan, Susan David (2016)  penulis Emotional Agility, memberikan pendekatan praktis untuk menghadapi overthinking. Ia menyoroti bahwa kebiasaan berpikir berlebihan sering kali terjadi ketika individu merasa terjebak antara memenuhi harapan sosial dan mengikuti kebutuhan pribadi mereka. Dalam konteks media sosial, misalnya, seseorang mungkin merasa terdorong untuk menampilkan pencapaian tertentu agar diterima oleh lingkungannya. David menyarankan pendekatan yang lebih fleksibel dan penuh kasih terhadap diri sendiri. Alih-alih melawan pikiran yang berlebihan, individu disarankan untuk menerima pikiran tersebut tanpa menghakimi. Hal ini memungkinkan mereka untuk mendengarkan emosi yang muncul sebagai panduan dalam pengambilan keputusan yang lebih autentik, sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.

Namun, seperti yang disarankan oleh para ahli, overthinking dapat diarahkan untuk menjadi alat yang positif. Salah satu caranya adalah dengan mengenali pola-pola overthinking yang terjadi. Individu perlu mempraktikkan mindfulness untuk tetap fokus pada saat ini, alih-alih terjebak dalam pikiran tentang masa lalu atau masa depan. Mengurangi paparan terhadap pemicu seperti media sosial juga dapat membantu. Sebuah penelitian dari Journal of Social and Clinical Psychology (2018) menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari dapat mengurangi gejala kecemasan dan depresi, yang sering kali terkait dengan overthinking.

Dampak Overthinking pada Kesehatan Mental

Overthinking, jika tidak dikelola dengan baik, dapat membawa dampak serius pada kesehatan mental. Menurut Haidt (2024), mencatat bahwa kecenderungan untuk berpikir berlebihan sering kali berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan kecemasan, depresi, dan burnout.

Fenomena ini menjadi lebih relevan dalam era modern, di mana tekanan sosial dan ekspektasi dari lingkungan semakin meningkat. Individu yang terus-menerus memikirkan kegagalan masa lalu atau merasa tertekan oleh harapan yang tidak realistis cenderung mengalami kelelahan emosional yang berkepanjangan. Kecemasan, salah satu dampak utama overthinking, muncul ketika pikiran terus berputar pada skenario negatif yang belum tentu terjadi.

Sebagai contoh, seseorang yang merasa takut akan kegagalan mungkin akan terus-menerus membayangkan hasil buruk dari tindakan yang diambil. Menurut sebuah studi oleh National Institute of Mental Health (NIMH) (2018), individu dengan kecenderungan overthinking menunjukkan tingkat aktivitas otak yang lebih tinggi di area yang terkait dengan respons stres, seperti amigdala, sehingga membuat tubuh terus-menerus berada dalam kondisi "fight or flight."

Depresi juga sering kali menjadi konsekuensi dari overthinking. Ketika seseorang terlalu fokus pada hal-hal negatif atau merasa gagal dalam memenuhi harapan tertentu, mereka cenderung mengalami perasaan putus asa. Susan Nolen-Hoeksema, dalam penelitiannya mengenai rumination, menjelaskan bahwa terlalu banyak memikirkan masalah tanpa tindakan nyata dapat meningkatkan risiko depresi. Hal ini karena pikiran negatif yang berulang memperkuat persepsi diri yang negatif, menciptakan lingkaran setan yang sulit diatasi.

Burnout adalah dampak lain yang signifikan dari overthinking, terutama dalam konteks pekerjaan. Seseorang yang terus-menerus merenungkan tanggung jawab, kekhawatiran akan performa, atau tekanan untuk memenuhi ekspektasi, dapat mengalami kelelahan mental dan fisik. Penting untuk membedakan antara refleksi produktif dan overthinking yang merugikan. Refleksi produktif adalah proses yang membantu individu belajar dari pengalaman mereka dan membuat keputusan yang lebih baik di masa depan. Sebaliknya, overthinking sering kali melibatkan pengulangan pikiran negatif tanpa solusi yang jelas. Dalam hal ini, mengenali kapan refleksi berubah menjadi overthinking adalah langkah awal yang penting untuk mencegah dampak buruknya.

Refleksi Diri: Membuat Overthinking Menjadi Produktif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun