Mohon tunggu...
Silvany Dianita
Silvany Dianita Mohon Tunggu... Psikolog - Pranata Humas Ahli Muda BPSDM Kemendagri dan Psikolog Klinis

When you care for yourself first, the world will also find your worthy of care.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pelecehan Seksual sebagai Kejahatan Kemanusiaan, Negara Harus Hadir!

3 Juli 2022   18:32 Diperbarui: 13 Juli 2022   13:44 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kasus pelecehan seksual di Malang | Sumber: Serghei Turcanu 

Maraknya kasus pelecehan seksual mewarnai pemberitaan di media sosial belakangan ini merupakan sebuah fenomena yang sangat miris. Kasus ini seolah seperti efek gunung es yang dianggap enteng sebelah mata dan terkesan dipermaklumkan. 

Perilaku melecehkan secara seksual merupakan suatu kejahatan kemanusiaan yang seharusnya tidak boleh ditolerir dan harus dicegah sejak dini.

Setiap lapisan masyarakat harus bertanggungjawab dalam menjaga generasi bangsa yang ke depannya menjadi tonggak perjuangan atas eksistensi keberlangsungan suatu negara. Betapa tidak, kasus pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. 

Seperti kasus yang dialami oleh seorang anak di Gresik beberapa waktu lalu, di mana seorang anak laki-laki dipaksa dicium oleh pria dewasa. 

Kasus berikutnya juga terjadi kepada seseorang perempuan penumpang Kereta Api Argo Lawu. Dan, tentunya banyak lagi kasus pelecehan seksual lainnya yang sangat memilukan. Lantas, bagaimana negara dan kita semua perlu menyikapinya?

Lemahnya Pemahaman Pelecehan Seksual

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) disebutkan sudah terjadi 11.345 kasus pelecehan seksual untuk tahun 2022, dan korban yang mengalami pelecehan adalah perempuan dengan temuan data sebesar 10.515 sedangkan 1.757 laki-laki. 

Merujuk lebih lanjut berdasarkan jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian, kebanyakan korban mengalami pelecehan seksual di rumah tangga dengan jumlah kasus mencapai 6.932, kemudian 2.476 pelecehan seksual terjadi di tempat lainnya, ketiga terbesar terjadi di tempat fasilitas umum sebesar 1.374, disusul dengan sekolah sebesar 391 kasus, dan tempat kerja sebesar 140 kasus.

Sementara Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat terdapat 4.500 aduan, di mana kasus Kekerasan Berbasis Gender (KGB) terhadap perempuan terjadi oleh pejabat publik, Aparatur Sipil Negara (ASN), tenaga medis, anggota TNI, dan anggota Polri.

Besarnya angka kasus tersebut, bukan hal remeh. Indonesia sudah semakin darurat atas persoalan pelecehan seksual bahkan kekerasan seksual. Dan, sebagian besar masyarakat bahkan aparatur penegak hukum masih memiliki pemahaman yang minim dalam menyikapi kondisi yang demikian.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), TPKS terdiri atas pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan strelisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Selain itu, bentuk TPKS lainnya meliputi perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, pencabulan terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan TPKS, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Freepik.com
Sumber: Freepik.com

Dan sebagai akibat TPKS dimaksud, maka pelaku akan dijerat secara tegas oleh negara. Kehadiran Undang-Undang TPKS yang baru saja disahkan dimaksud tentunya akan memihak kepada korban dan perlu memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual.

Kehadiran Undang-Undang TPKS perlu segera diimplementasikan kepada setiap lapisan, baik kepada masyarakat terlebih kepada penegak hukum.  

Angka pelecehan seksual di Indonesia sudah seharunya menjadi sorotan untuk terus ditekan dan dipertajam melalui jenis hukuman yang berat sebab dampak yang akan diterima oleh korban menimbulkan sejumlah masalah psikologis secara kronis dan tidak menutup kemungkinan akan seperti lingkaran roda yang tidak berkesudahan.

Bagaimana Penerapan TPKS?

1. Penyadaran Literasi atas TPKS

Menurut saya, pentingnya penerapan TPKS adalah melalui literasi terhadap pelecehan seksual itu sendiri. Saat ini, masih banyak masyarakat tidak memahami kondisi yang dialami di sekitarnya atau yang dia alami sendiri masuk sebagai ranah pelecehan seksual atau tidak.

Transfer informasi kepada masyarakat melalui berbagai saluran informasi digital yang mudah dan relatif dapat dijangkau oleh masyarakat perlu terus dilakukan oleh sejumlah para ahli dari tenaga medis, psikolog, psikiater, penegak hukum, lembaga legislatif, eksekutif, bahkan kepada masyarakat sendiri perlu benar-benar membuka diri bahwa pelecehan seksual bukan hal yang dianggap tabu dan perlu dikemukakan ke permukaan bukan sebagai dianggap fenomena gunung es.

2. Pencegahan, Lawan, dan Pulihkan Korban

Hal selanjutnya adalah langkah pencegahan, melakukan perlawanan, dan segera lakukan pemulihan terhadap korbannya .

Kegiatan pencegahan terhadap pelecehan seksual hal yang perlu dilakukan adalah mengenali segala bentuk pelecehan seksual itu sendiri. 

Diri kita pun perlu segera membuka diri atas segala informasi yang terjadi di sekitar kita, lakukan diskusi dan kegiatan-kegiatan yang memberikan sarana dan fungsi penanganan kekerasan seksual. 

Partisipasi aktif kita terhadap kegiatan pencegahan dapat memperkecil risiko terhadap bentuk-bentuk pelecehan seksual yang ada.

Hal berikutnya adalah lakukan perlawanan. Kasus pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, di ruang publik, sekolah, kampus, tempat kerja, bahkan di rumah sendiri. 

Bentuk pelecehan seksual sering kali juga dianggap "candaan" atau lelucon, melakukan siulan atau catcalling, memegang dan menyentuh anggota tubuh, godaan secara verbal, dan kondisi seksual lainnya. 

Kondisi demikian, jika posisi sebagai korban hal tegas yang perlu segera dilakukan adalah melakukan perlawanan terhadap si pelaku. 

Bentuk perlawanan yang dapat dilakukan adalah menegur langsung si pelaku, kuasai gerakan melumpuhkan lawan, berteriak minta tolong, rekam secara digital, bersikap tegas, dan laporkan kepada pihak berwajib agar pelaku segera ditindak.

Selanjutnya adalah lakukan pemulihan secara psikologis. Pemulihan sebagai langkah prioritasi yang perlu dilakukan untuk menangani kasus kekerasan seksual dan tentunya perlu disesuaikan dengan kebutuhan serta dilakukan oleh tenaga ahli yang mumpuni. 

Pemulihan terhadap kondisi psikologis dan kesehatannya adalah hak korban yang telah diatur dalam undang-undang. Para korban perlu benar-benar didampingi sampai dengan keadaan secara mental dan kesehatannya membaik.

3. Tegaskan Kehadiran Negara terhadap Korban!

Dalam pembuktian lebih lanjut  kejahatan seksual terhadap korban diharapkan dapat benar-benar dipahami oleh penegak hukum yang bersikap secara adil, arif, dan tidak bersikap diskriminatif kepada korban bahkan menyalahkan korban dan memberikan stigma negatif.

Negara melalui aparat penegak hukum dan lembaga peradilan harus benar-benar memperkuat sistem keadilannya dengan melakukan pengungkapan dan pembuktian kasus secara komprehensif agar tidak menganggap kasus pelecehan seksual sebagai kasus yang sederhana dan dapat diselesaikan secara damai atau kekeluargaan. 

Tidak jarang kita melihat kasus pelecehan seksual melalui berita menjadi sulit dibuktikan dikarenakan tidak adanya saksi. 

Tentunya, hal ini akan memberikan konsekuensi kepada korban yang akan merasa diabaikan haknya untuk memperoleh perlindungan dan keadilan sehingga tidak heran kasus kejahatan seksual selalu terus muncul ke permukaan tanpa kehadiran negara di dalamnya.

Simpulan

Saya secara pribadi dan sebagai profesi Psikolog merasa prihatin atas kondisi kejahatan seksual di Indonesia dan respon yang sering kali muncul ke permukaan. 

Kasus pelecehan seksual di Indonesia sering kali tidak berpihak kepada korban meskipun undang-undangnya sudah disahkan. 

Korban pelecehan seksual menjadi takut dan merasa tidak dilindungi oleh negara bahkan masyarakat di sekitarnya karena stigma yang melekat bahkan diskriminasi yang diterima. 

Minimnya literasi dan kesadaran setiap lapisan masyarakat dan penegak hukum menjadi kasus pelecehan seksual sebagai bongkahan es yang paling bawah.

Regulasi hukum harus diimplementasikan secara tegas dan akurat untuk melindungi para korban dan masalah pelecehan seksual bukan dianggap hal biasa namun diprioritaskan mengingat tidak menutup kemungkinan korban pun akan dapat menjadi pelaku di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun