Kota Surabaya sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia pada perkembangannya banyak didiami oleh penduduk dari berbagai etnis. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda Kota Surabaya menjadi Kota Pelabuhan dan Kota Perdagangan yang menarik perhatian bagi para imigran asing untuk singga di Surabaya pada masa itu salah satu nya, yaitu Etnis Tionghoa.Â
Pada masa itu etnis Tionghoa menempati kawasan pecinan yang berada di sisi timur sungai kalimas hingga termasuk ke Jalan Kapasan. Kampung Kungfu merupakan salah satu dari pemukiman etnis Tionghoa yang berada di Jalan Kapasan. Kampung ini sangat dikenal pada masa kolonial karena upaya perlawanan yang dilakukan oleh penduduk etnis Tionghoa di Kampung tersebut terhadap Kolonial Belanda.
Kampung Kungfu ini berada di belakang Klenteng Boen Bio di Jalan Kapasan Dalam I, RT 02 RW 08, Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya. Kampung Kungfu ini dulunya merupakan kawasan hutan -- hutan yang banyak ditumbuhi oleh pohon Randu (kapas) hingga kemudian kawasan ini dikenal dengan nama Kapasan.Â
Menurut penuturan dari Suk Dony Djhung, yang merupakan seorang keturunan Tionghoa dan bertempat tinggal di Kampung Kungfu sejak kecil, pada awalnya di Kampung ini terdapat 2 orang Major yang berasal dari Tiongkok, yaitu The Eng Bian dan Tjoa Swie Bie keduanya sangat disegani dan sangat dipercaya oleh Belanda untuk mengurusi permukiman Kampung ini.Â
The Eng Bian dikenal sebagai seorang yang baik karena dia yang menyediakan penampungan bagi pendatang dari Tiongkok. Para pendatang dari Tiongkok yang menetap di Kampung ini rata -- rata memiliki keahlian akan bela diri kungfu hingga kampung ini bernama Kampung Kungfu, namun meski memiliki keahlian kungfu mereka menggunakannya untuk melawan orang -- orang Belanda yang mulai mengusik mereka selain itu mereka juga memiliki pedoman "Indonesia tetap Indonesia" hingga orang -- orang ini mendapat julukan "Buaya Kapasan" .Â
Pemerintah Belanda pada masa itu tidak mampu menaklukan Kampung Kungfu hingga membuat politik pecah belah menjadikan kawasan Kapasan sebagai kampung chinese. Selain memiliki keahlian Kungfu orang -- orang Tiongkok yang menetap di Kampung ini juga Jago dalam kesenian Barongsai.Â
Di Kampung Kungfu ini terdapat bangunan bersejarah, yaitu Balai Tong Yien We. Balai ini memiliki kedalam 2,5 meter pada masa Kolonial Belanda balai ini dijadikan oleh pejuang arek - arek suroboyo sebagai tempat penyitaan senjata - senjata Belanda, selain itu mereka yang terluka karena tembak atau sakit oleh orang - orang Tionghoa juga dibawa ke balai tong yien we untuk disembuhkan.Â
Pada masa sekarang balai ini menjadi area tertutup dan tanah sedalam 2,5 meter tersebut sudah tertimbun tanah selain itu di balai ini juga terdapat granat. Selain Balai Tong yien we, di Kampung Kungfu juga terdapat punden kapasan dalam yang merupakan suatu brntuk kepercayaan dari masyarakat setempat mengenai dayang dari kampung ini.
Masyarakat di Kampung Kungfu ini seiring berjalannya waktu mengalami perubahan dari segi agama. Agama yang dianut oleh masyarakat di Kampung Kungfu sangat beragam tidak hanya Konghucu melainkan juga Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dll. Meskipun terdapat keberagaman agama mereka saling menghormati dan menghargai antar sesama hal ini terlihat dari penuturan Suk Dony Djhung, bahwasanya selain merayakan kegiatan imlek mereka juga turut merayakan natalan dan hari raya idul fitri serta saling berbagi antar sesama.
Kampung Kungfu di Surabaya memiliki peran yang sangat penting dan multifaset bagi masyarakat sekitar. Selain menjadi pusat latihan seni bela diri, kampung ini berfungsi sebagai penjaga warisan budaya, pusat edukasi, daya tarik wisata, serta penggerak ekonomi lokal. Kampung Kungfu merupakan salah satu penjaga warisan budaya Tionghoa di Surabaya.Â