Mohon tunggu...
Silva Asti Ananta
Silva Asti Ananta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan

Hanya saya yang tahu diri saya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN 12%: Kelas menengah kebawah akan menderita?

14 Desember 2024   10:38 Diperbarui: 14 Desember 2024   12:32 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN  dari 11% menjadi 12% yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, menuai reaksi beragam di Masyarakat terutama kalangan  menengah ke bawah. PPN 12% juga menjadi trending topic di platform X alias Twitter.  Meskipun kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan mendukung pembangunan infrastruktur, namun kebijakan-kebijakan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap melemahnya daya beli masyarakat. PPN  merupakan  pajak  yang dikenakan  atas  setiap  pertambahan  nilai  barang  atau  jasa dalam  peredarannya  dari produsen  ke  konsumen (Rahmah,  2022). Artikel ini akan membahas berbagai aspek  kebijakan ini dan dampaknya terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah.

Kenaikan Pajak pertambahan nilai merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dalam menghadapi tantangan perekonomian global dan meningkatnya kebutuhan keuangan. Terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi  Perpajakan yang disahkan pada tahun 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025 masih sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Meski tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain, namun keputusan  menaikkan tarif menjadi 12% dilakukan karena banyak pihak yang terdampak oleh situasi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi COVID-19.

Tujuan utama  kenaikan PPN adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah guna mendukung program pembangunan seperti infrastruktur dan pelayanan publik. Namun, penting untuk mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan-kebijakan ini, terutama terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan seperti kelas menengah kebawah. Kelas menengah  bawah di Indonesia sudah menghadapi berbagai tantangan ekonomi sebelum kenaikan PPN  diumumkan. Daya beli mereka menurun terutama akibat melonjaknya harga bahan pokok seperti Beras, Gula, Daging, Telur dll. Peningkatan tarif PPN dapat memperburuk situasi saat ini dengan meningkatkan harga barang dan jasa secara keseluruhan.

Sebagai contoh, jika sebuah barang seharga Rp 100.000 dikenakan PPN 11%, konsumen akan membayar Rp 111.000. Namun, dengan kenaikan PPN menjadi 12%, harga barang tersebut akan meningkat menjadi Rp 112.000. Meskipun selisihnya terlihat kecil, dalam skala besar dan pada berbagai jenis barang, dampaknya bisa sangat signifikan bagi anggaran rumah tangga kelas menengah ke bawah.

Kenaikan PPN akan berdampak langsung pada pengeluaran rumah tangga. Kelas menengah ke bawah biasanya menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, transportasi, dan perumahan. Dengan adanya kenaikan harga akibat PPN yang lebih tinggi, mereka mungkin terpaksa mengurangi pengeluaran untuk barang-barang non-pokok atau mencari alternatif yang lebih murah.

Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup karena mereka harus memilih produk dengan kualitas lebih rendah demi menjaga anggaran tetap seimbang. Misalnya, keluarga yang sebelumnya dapat membeli bahan makanan segar mungkin beralih ke produk olahan yang lebih murah namun kurang bergizi.

Kelas menengah kebawah di Indonesia sudah sejak lama menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Tingginya biaya hidup, inflasi yang tidak terkendali, serta upah yang tidak sebanding dengan kenaikan harga barang, membuat mereka sangat rentan terhadap kebijakan seperti PPN yang naik. Mereka umumnya menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, perumahan, dan pendidikan. Setiap kenaikan harga barang dan jasa, meskipun tampak kecil, langsung menggerus daya beli mereka.

Selain itu, meskipun ada upaya pemerintah untuk memberikan kompensasi dalam bentuk bantuan sosial atau subsidi, distribusi bantuan tersebut seringkali tidak merata. Tidak semua masyarakat kelas menengah kebawah bisa mengakses atau mendapatkan bantuan yang tepat waktu dan sesuai kebutuhan. Dengan demikian, meskipun pemerintah berusaha untuk meringankan beban, banyak pihak yang merasa tidak terbantu secara maksimal.

Kenaikan tarif PPN juga berpotensi memicu inflasi lebih lanjut. Inflasi adalah peningkatan umum dalam harga barang dan jasa dalam suatu ekonomi selama periode waktu tertentu. Ketika pemerintah menaikkan pajak seperti PPN, produsen dan pengecer cenderung meneruskan biaya tambahan tersebut kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi.

Inflasi yang tinggi dapat menciptakan siklus berbahaya di mana daya beli masyarakat semakin menurun, menyebabkan pengurangan konsumsi, dan akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan stagnasi ekonomi yang sulit dipulihkan.

Usaha kecil dan menengah (UKM) juga akan merasakan dampak dari kenaikan PPN. Banyak UKM bergantung pada konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai sumber utama pendapatan mereka. Dengan daya beli yang menurun akibat kenaikan pajak, penjualan produk UKM dapat mengalami penurunan drastis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun