Mohon tunggu...
Silva Ahmad F
Silva Ahmad F Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-Kata (WS Rendra. Depok, 22 April 1984)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Santri Literat: Kunci Kemajuan Bangsa

28 April 2019   07:15 Diperbarui: 28 April 2019   07:59 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang asli Indonesia, indigenos dan berakar kuat dalam masyarakat. Bisa dikatakan bahwa pesantren adalah wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional karena dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Idonesia itu sendiri (indigenos).

Pesantren, dalam perkembangannya, telah terbukti melahirkan sosok-sosok luar biasa dengan kontribusi karyanya yang menjadi rujukan dalam fann ilmu tertentu. Sebut saja Kiai Ihsan Jampes, Kediri yang menulis kitab Siraj at-Thalibin. Kitab beliau ini mencapai standar yang sangat tinggi dalam bidang penulisan kitab, dan dijadikan referensi utama di al-Azhar untuk memahami pikiran al-Ghazali terutama yang terdapat dalam kitabnya, Minhaj al-Abidin.

Jika kita mau menilik sejarah di zaman Walisanga, saat pesantren sudah mulai bermunculan, menulis juga merupakan salah satu aktivitas produktif yang dilakukan oleh para Wali dalam menyebarkan inspirasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Seperti yang disampaikan Ahmad Baso dalam pengantar buku Pesantren Studies 2a, "Para Wali Songo menulis dan menghasilkan karya. Mereka hadir di desa-desa (masyarakat) pada wawasan keislaman dan ke-Nusantara-an sekaligus. Kegiatan tulis-menulis adalah awal membangun peradaban tersebut. Selain untuk merawat tradisi yang sudah berkembang di kalangan masyarakat, juga untuk memelihara segenap potensi dan kekuatan peradaban bangsa ini. Peradaban ini dijaga dan dilestarikan melalui kegiatan kebudayaan dan kesastraan, dalam bentuk tulis-menulis, kemudian melahirkan sejumlah karya dan khazanah."

Di era milenial ini, telah banyak bermunculan tokoh-tokoh dari kalangan pesantren dengan berbagai karya tulis mereka yang telah dibukukan. Mulai dari penulis ilmu tafsir yang karyanya fenomenal macam Prof. Quraish Shihab dengan tafsir Al-Misbahnya, lalu pejuang feminisme yang gencar menghasilkan buku-buku yang memperjuangkan hak wanita macam KH. Husein Muhammad, penyair macam D. Zawawi Imron, hingga penulis novel best seller yang karyanya banyak dinanti kalangan muda macam Habiburrahman El-Shirazy dan A. Fuadi. Kesemua tokoh itu tak jauh dari latar belakang pesantren yang telah membesarkan mereka.

Tak hanya tokoh-tokoh besar, santri-santri yang masih menimba  ilmu di pesantren pun saat ini sudah mulai banyak yang menelurkan karya di dunia literasi. Bahkan banyak pula yang sudah dibukukan. Ada yang berupa bunga rampai dari sekumpulan karya santri. Ada pula yang hasil karya pribadi. 

Ambil saja contoh dari salah satu pesantren di daerah Jawa Barat bernama Al-Kasyaf. Semenjak berdiri pada tahun 2013, pesantren ini telah menghasilkan 231 buku dari para santri. Rata-rata santri bisa menulis 4 sampai 10 buku.

Contoh lain bisa didapatkan di pesantren Lirboyo yang terkenal dengan banyak karyanya, terhitung sudah ratusan buku yang sudah dibukukan hasil karya dari para santri. Di kelas, manajemen madrasah mewajibkan seluruh guru dan santri menulis pelajaran selain kitab fikih. Budaya menulis mereka sudah mengakar sangat kuat semenjak mereka masih nyantri karena gemblengan yang luar biasa. 

Ditambah lagi  ungkapan masyayikh yang semakin membakar semangat berkarya mereka: "Tinta ulama lebih berharga lebih berharga dari darah syuhada". Tak pelak jika santri Lirboyo mampu menghasilkan buku-buku berkualitas.

Namun, berkaitan dengan itu, meskipun pesantren dan buku seakan menjadi dua variabel kunci yang niscaya bagi majunya sebuah peradaban, ada kenyataan pahit yang masih mengakar kuat pada masyarakat kita hingga saat ini. 

Jangankan untuk menghasilkan buku, untuk sekedar membaca buku-buku berkualitas saja bangsa kita termasuk masyarakat dengan minat baca yang rendah di dunia. Dari 61 negara, Indonesia menempati peringkat ke-60 sebagaimana yang diungkapkan dalam studi bertajuk "Most Littered Nation in the World".

Dengan kenyataan seperti itu, timbul pertanyaan besar yang mengganjal bagi kita yang dibesarkan di lingkungan pesantren: Apakah gerakan literasi di pesantren sudah benar-benar berada di jalan yang semestinya? Dengan berat hati, mungkin kita akan mengakui bahwa gerakan literasi di pesantren masih sangat kurang. 

Dalam sehari, berapa persen santri yang membaca sumber bacaan berkualitas di luar buku pelajaran? Meskipun ada dalam skala persen, itupun hanya sekian persen, tidak bisa menduduki skala mayoritas. Berapa jumlah santri yang pergi ke perpustakaan untuk menambah wawasan dan pengetahuannya? Pasti bisa dihitung dengan jari. Sedikit pahit memang, tapi bagaimanapun, itulah kenyataannya.

Berangkat dari kenyataan pahit itu, mari kita merenungkan ungkapan dari Joseph Brodsky," Membakar buku adalah kejahatan. Tapi ada hal yang lebih jahat dari itu, yakni tidak membaca buku". Tak berlebihan jika Joseph mengungkapkan seperti itu, karena minat baca yang rendah berpengaruh pada semakin gelapnya masa depan bangsa. Kebodohan merajalela. Kemiskinan tak kunjung dicarikan solusinya. Kejahatan pun menjadi alternatif terakhir yang ditempuh untuk memenuhi apa saja.

Santri yang hanya berkutat dengan dunia salafnya saja, perlu mulai membuka mata akan dunia. Mereka harus mulai berfikir untuk membangun masa depan bangsa. Untuk memulai langkah itu, maka buku adalah salah satu langkah kecil yang bisa dilakukan bersama, karena buku adalah jendela dunia. Dengan buku, santri akan selangkah lebih maju. 

Mereka tak hanya akan memberi kontribusi besar bagi pesantrennya, tapi juga untuk masyarakat pada umumnya. Buku membuat santri mampu mengikuti zaman dan memiliki wawasan yang luas akan masa depan. Tak perlu jauh-jauh dulu, tak usah sibuk berfikir untuk menghasilkan buku, mulailah dulu dengan membiasakan membaca. Setidaknya minimal satu buku atau dua buku setiap harinya. 

Saat otak sudah berjibun dengan wawasan dan pengalaman, maka menulis adalah pelampiasan terbaik untuk membuat otak tetap segar dan bekerja normal. Otak akan tetap berjalan stabil saat ide kita tertuang pada tempat yang seharusnya.

Santri-santri yang melek buku, yang melek dunia literasi, akan menjadi pembaharu (mujaddid), pencerah, dan agen perubahan. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, para santri bisa menyebarkan ilmu dan kebaikan bagi sesama dan tentunya akan jadi ladang amal baginya. 

Perkembangan globalisasi pun akan menjadi perhatian para santri. Daya kritis terhadap berbagai permasalahan sosial dan kemampuannya untuk memberikan solusi menjadi nilai lebih yang berpengaruh besar terhadap dunia sosial. 

Santri bukan hanya bisa membaca dan menelaah kitab-kitab karya para ulama besar, tetapi juga mampu menuliskan ide-idenya untuk dibaca oleh masyarakat karena sejatinya santri tidak hanya mengemban misi lokal nasional, tetapi juga diharapkan mampu merespons tren modernitas dan globalisasi di masa depan. Wallahu a'lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun