Dengan kenyataan seperti itu, timbul pertanyaan besar yang mengganjal bagi kita yang dibesarkan di lingkungan pesantren: Apakah gerakan literasi di pesantren sudah benar-benar berada di jalan yang semestinya? Dengan berat hati, mungkin kita akan mengakui bahwa gerakan literasi di pesantren masih sangat kurang.Â
Dalam sehari, berapa persen santri yang membaca sumber bacaan berkualitas di luar buku pelajaran? Meskipun ada dalam skala persen, itupun hanya sekian persen, tidak bisa menduduki skala mayoritas. Berapa jumlah santri yang pergi ke perpustakaan untuk menambah wawasan dan pengetahuannya? Pasti bisa dihitung dengan jari. Sedikit pahit memang, tapi bagaimanapun, itulah kenyataannya.
Berangkat dari kenyataan pahit itu, mari kita merenungkan ungkapan dari Joseph Brodsky," Membakar buku adalah kejahatan. Tapi ada hal yang lebih jahat dari itu, yakni tidak membaca buku". Tak berlebihan jika Joseph mengungkapkan seperti itu, karena minat baca yang rendah berpengaruh pada semakin gelapnya masa depan bangsa. Kebodohan merajalela. Kemiskinan tak kunjung dicarikan solusinya. Kejahatan pun menjadi alternatif terakhir yang ditempuh untuk memenuhi apa saja.
Santri yang hanya berkutat dengan dunia salafnya saja, perlu mulai membuka mata akan dunia. Mereka harus mulai berfikir untuk membangun masa depan bangsa. Untuk memulai langkah itu, maka buku adalah salah satu langkah kecil yang bisa dilakukan bersama, karena buku adalah jendela dunia. Dengan buku, santri akan selangkah lebih maju.Â
Mereka tak hanya akan memberi kontribusi besar bagi pesantrennya, tapi juga untuk masyarakat pada umumnya. Buku membuat santri mampu mengikuti zaman dan memiliki wawasan yang luas akan masa depan. Tak perlu jauh-jauh dulu, tak usah sibuk berfikir untuk menghasilkan buku, mulailah dulu dengan membiasakan membaca. Setidaknya minimal satu buku atau dua buku setiap harinya.Â
Saat otak sudah berjibun dengan wawasan dan pengalaman, maka menulis adalah pelampiasan terbaik untuk membuat otak tetap segar dan bekerja normal. Otak akan tetap berjalan stabil saat ide kita tertuang pada tempat yang seharusnya.
Santri-santri yang melek buku, yang melek dunia literasi, akan menjadi pembaharu (mujaddid), pencerah, dan agen perubahan. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, para santri bisa menyebarkan ilmu dan kebaikan bagi sesama dan tentunya akan jadi ladang amal baginya.Â
Perkembangan globalisasi pun akan menjadi perhatian para santri. Daya kritis terhadap berbagai permasalahan sosial dan kemampuannya untuk memberikan solusi menjadi nilai lebih yang berpengaruh besar terhadap dunia sosial.Â
Santri bukan hanya bisa membaca dan menelaah kitab-kitab karya para ulama besar, tetapi juga mampu menuliskan ide-idenya untuk dibaca oleh masyarakat karena sejatinya santri tidak hanya mengemban misi lokal nasional, tetapi juga diharapkan mampu merespons tren modernitas dan globalisasi di masa depan. Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H